Kredit Ekstra

292 35 6
                                    


Dua minggu paska operasi, Ziran sudah diperbolehkan pulang.

Di dalam kamar berisi suara-suara pelan dari Alika mengepak barang untuk dimasukannya dalam tas dan wadah, saat itulah Septian sedang sibuk mengurusi administrasi di bagian umum.

Ziran meminta Alika untuk mendekat. "Papa lihat, kalian lengket terus akhir-akhir ini. Ada apa?"

"Namanya juga suami istri, Pa." Alika meringis, menyadari bahwa selama ini Papanya mengawasi gerak-geriknya.

Kening Ziran mengerut. "Bagaimana dengan Raka?"

Alika terdiam. Tidak mengerti, kenapa pertanyaan tersebut tiba-tiba saja muncul.

"Kami sudah tidak ada apa-apa lagi, Pa. Raka sudah jadi masa lalu yang manis buat dikenang."

"Jujur sama Papa, Al. Nggak apa-apa kalau kamu masih sayang sama Raka. Papa akan bilang sama Septian. Papa akan jelaskan semuanya," terang Ziran, mencoba mengerti jalan pikiran putrinya.

"Jadi, selama ini Papa mikirin soal ini sampai drop?"

"Sedikit." Tawa Ziran merembes.

Alika merengut. "Iya. Aku bakalan jujur sama Papa. Aku dan Raka sudah tidak ada apa-apa lagi. Aku akan mulai semuanya dari awal sama Septian. Aku akan belajar mencintainya dengan tulus. Mungkin, aku memang pernah mengharapkan istana pasir buatan Raka, tetapi aku sadar tenyata aku jugalah yang jadi ombaknya. Mengempas semuanya hingga hancur. Sementara di sini, aku punya istana sesungguhnya, yang selama ini kutelantarkan dan tidak pernah menuntut banyak dariku. Lalu, apa namanya kalau bukan tidak tahu diri?"

"Papa minta maaf ya, Al. Atas semua perlakuan Papa...."

"Nggak perlu ada yang dimaafkan di sini, Pa. Semuanya sudah suratan takdir. Yang terpenting sekarang adalah Papa cepat sembuh. Harus sehat lagi. Besok kita balik ke Jakarta dulu ya, Pa. Kapan-kapan, kalau kangen sama Malang kita main ke sini."

Ziran mengangguk dan memeluk putrinya erat. Menarik napas panjang, sekaligus membuangnya, seolah dengan cara itu bisa menghilangkan segala penat yang ada di dalam dada.

Sementara Alika dan Ziran berpelukan, dari balik pintu kamar, Septian yang sudah menyelesaikan segala administrasi di bagian umum dan memutuskan untuk segera kembali ke kamar dan berniat membantu Alika beres-beres, hanya diam. Tidak sengaja mendengar percakapan keduanya.

Septian tersenyum lebar sekali saat mendengar perkataan Alika kepada Papanya bahwa ia adalah istananya.

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang