Bab 19 : Menarik Perhatian Kembali

130 34 6
                                    


Suasana kantor cukup tenang setelah terjadi insiden, ketika penyewa bernama Bu Anik membawakan sekotak tahu petis dan menyuruh Intana membagikannya. Bahkan, Bu Anik mengancam tidak akan beranjak sebelum isi kotak berpindah ke atas piring.

Keraguan sirna dari wajah orang-orang saat Bu Anik memilih menemui Bos Besar dengan meminta izin kepada Raka, mengantarkannya masuk ruangan, setelah ikut memakan satu tahu petis dari dalam kotak.

Bagaimana mereka tidak ragu? Bu Anik bukan tipe orang yang ketika menyapa, menambahkan pemanis pada senyumannya karena ia termasuk pelit. Apalagi, ketika membicarakan kenaikan sewa.

Tentu saja, semua buaian tersebut hanyalah angin surga dan bertahan tidak kurang dari setengah jam. Bu Anik langsung kembali kepada habitatnya ketika keluar dari ruangan Bos Besar. Tanduknya terlihat tumbuh dari pucuk kepala saat mendekati Intana yang sedang berucap terima kasih.

"Kembalikan kotak makanan yang saya berikan ke kamu tadi," pinta Bu Anik tanpa senyuman.

"Maaf, Bu Anik. Ada apa?" tanya Intana.

"Sudah kamu makan ya, tahu yang saya kasih tadi?" Suara Bu Anik menggelegar sampai terdengar dari ruang belakang.

"Saya kira Ibu sudah memberikan ke kami dan Ibu malah suruh saya membagikannya ke orang-orang kantor."

"Kalian semua sama. Pantas saja kalau banyak yang bilang: Gampang sekali disogok sama makanan. Dasar nggak tahu diri. Nggak bos, nggak anak buah, nggak beres semua."

Intana terdiam.

"Maaf, Bu Anik." Raka berjalan dari tempatnya, mengarah kepada Intana. "Saya rasa, Ibu tidak perlu sampai berkata seperti itu."

"Saya kan sudah bilang, kalian semua sama. Lintah darat. Saya cuma minta waktu bayar mundur sampai akhir bulan karena saya lagi kesusahan. Bukannya kasih solusi, malah ceramah. Saya tidak perlu basa-basi sekarang. Pantas saja kalian tidak pernah bisa sukses. Asal kalian tahu, saya yang gaji kalian semua."

"Oh, jadi itu masalahnya." Intana membatin.

"Maaf menyela. Mungkin saya bisa bantu, Bu Anik?" tanya Raka, langsung mengambil alih kendali.

"Bantu apa?" balas Bu Anik dengan suara lantangnya.

"Ibu boleh duduk dulu, saya bantu pecahkan masalahnya," Raka berkata dengan lembut.

Keengganan di wajah Bu Anik mereda saat duduk di satu kursi di depan Raka. Sementara Intana kembali di depan komputer, menatap lekat Bu Anik sebelum membuang muka kepada Zainal yang terdiam menyaksikan pertunjukkan menarik di hadapannya, dan tidak menyentuh lagi tahu petis di piring. Satu tangan yang lain disembunyikannya di bawah meja, sedang memegang tahu dan siap dicocol petis.

"Apa solusinya?" Suara Bu Anik mulai melembut.

"Ibu apa sudah menyiapkan surat?"

"Saya tidak terbiasa bikin surat. Tidak bisa buat yang begitu-begitu."

"Baik, Bu Anik. Saya bantu ketikkan suratnya dulu, nanti Ibu tinggal baca dan tanda tangan. Untuk surat permohonan mundur bayarnya akan saya ajukan lagi ke manajemen. Nanti saya kabari hasilnya."

Reaksi yang diperlihatkan Bu Anik begitu manis, semanis ketika ia mengulurkan sekotak tahu petis kepada Intana dan berkata kepada Raka untuk mencobanya karena membeli langsung dari toko langganannya. "Boleh. Saya mau lihat dulu draft-nya."

"Tunggu sebentar, Bu."

Lima belas menit kemudian, termasuk sesi membaca huruf demi huruf yang dilakukan oleh Bu Anik, berakhir pada penandatanganan surat. Bu Anik pamit dengan senyuman. Ia menyapa kembali semua orang sebelum berlalu.

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang