Bab 18 : Kebiasaan Menelan Ego

128 33 4
                                    


Pekat jalanan tergantikan cahaya lampu-lampu saat Raka pamit mengantar Heni pulang. Mobil atau sepeda motor yang biasanya memenuhi jalanan Patimura, juga tidak seramai biasanya. Memang, tempat tersebut menjadi lebih manusiawi saat anak kuliahan sedang libur di kota masing-masing dan kembali memanas saat mereka kembali ke Malang. Apalagi, ketika penerimaan mahasiswa baru dimulai, maka tumpukan manusia seolah memenuhi jalanan di malam hari.

Di dalam mobil, ditemani Sledgehammer milik Rihanna yang meraung mencoba memecah sunyi, sesekali tarikan napas Heni mengudara sampai Raka meneleng beberapa kali untuk memastikan, apakah Heni baik-baik saja.

"Kayaknya nggak bisa deh, Mas," kata Heni akhirnya, setelah menimbang apa yang ada di dalam kepalanya.

"Kenapa memangnya, Hen? Kan, lumayan juga uangnya. Menurutku, penawaran mereka bagus, kok. Bisa nego juga kalau kamu ngerasa kurang sama fee-nya? Kita tadi sudah bilang kalau soal ini belum close."

"Bukan soal uangnya," timpal Heni segera, telak menghentikan kalimat Raka.

"Iya, maaf. Tapi, kenapa harus ditolak Hen? Kok nggak dicoba dulu aja?"

"Aku nggak bisa kerjain banyak hal sekaligus, Mas Raka. Tahu sendiri kan, kalau si Bos Besar juga mau resign, otomatis kerjaan bakalan seabrek. Aku tolak sekarang saja ya, daripada nanti malah nggak enak kalau sudah dekat-dekat acara, malah aku nggak bisa konsentrasi buat ngerjainnya. Nama Mas Raka juga bakalan jelek."

"Bos Besar bukannya tinggal tunggu gong-nya, Hen?"

Tidak ada jawaban dari Heni, meski Raka menunggunya cukup lama. Ia tepekur memilah kalimat dalam kepalanya.

"Pikirkan sekali lagi, Hen. Kesempatan ini nggak bakal datang dua kali. Ini juga bisa buat kamu belajar. Pasti ada gunanya buat masa depanmu," imbuh Raka.

Heni terdiam dengan bibir mengerucut, memandangi Raka yang sedang menunggu jawaban darinya lagi dengan sabar. Bahkan, Raka menambahkan dosis senyuman di bibirnya agar Heni segera buka mulut.

Untuk kesekian kalinya, Heni dibuat bingung ketika berada di ujung percakapan antara Alika dan Septian.

Kali ini, mereka meminta bantuan kepadanya untuk memikirkan serta merancang promosi yang akan dilakukan untuk launching pembukaan tokonya nanti. Alika bahkan meyakinkan Raka untuk membantunya memikirkan cara yang tepat dan juga acara yang menarik untuk toko barunya nanti, dengan bayaran terbilang tinggi. Alika sempat menyanjung dan membahas tentang Raka yang suka mengambil casual di beberapa hotel sekaligus dan ikut ambil bagian di satu atau dua event organizer milik temannya, ketika liburan kuliah dulu. Septian pun ikut menimpali perkataan Alika dengan sepenuh hati bahwa hobi Raka yang seorang pekerja keras ternyata di luar prediksinya.

Meski beberapa kali Septian mengernyit saat Alika sedikit menggebu menjelaskan tentang sosok Raka dulu, sepertinya kesadaran untuk menepis segala anggapan buruk tentang hubungan antara Alika dan Raka, yang telah lalu, setelah Alika menjelaskan kalau ia dulu sama seperti Heni. Teman baik Raka.

Wajah Raka berubah kecut meski berlangsung sekian detik.

"Nggak ada yang namanya hubungan teman baik antara cowok single dan cewek single, Bu Alika!" Heni membatin saat mendengar penjelasan Alika.

Dengan sigap, Raka menawarkan Heni untuk membantu Alika karena ia tahu Heni memiliki kemampuan yang sama dengannya untuk hal event, selain ia juga pandai menggunakan komputer serta menjadi desain grafis terbaik yang dimiliki oleh kantor.

Sanjungan seperti itu, seharusnya bisa memuluskan kepercayaan diri Heni untuk mengambil kesempatan yang jarang datang. Namun, Alika sempat menolak secara halus. Mendapat penolakan seperti itu, Septian malah bersemangat.

Akhirnya, setelah terpancing dengan beberapa acara yang dijelaskan oleh Raka dan sempat ditangani oleh Heni, Septian mulai ikut membicarakan promosi yang tepat sampai dengan membicarakan harga, dan tetap saja Heni tidak dapat menjelaskan mengenai penolakannya tersebut, yang menurut Raka terlalu mengada-ada. Bahkan, ia menuduh Heni kurang percaya diri dengan kemampuannya dan Heni hanya bisa membalas dengan melemparkan pandangan menusuk kepada Raka, yang tidak terlalu ditanggapi ketika Heni masuk mobil dan ngambek di sepanjang perjalanan. Raka tetap diam, sampai akhirnya Heni buka mulut.

"Oke, bakal aku pikirkan sekali lagi, tapi nggak janji bakal diambil proyek ini," kata Heni dengan mengacungkan jari telunjuknya kepada Raka dan menariknya kembali ketika merasa bertindak tidak sopan karena belum juga menemukan jawaban yang tepat mengenai sesuatu yang masih mengganjal di dalam hatinya. Cemburu, mungkin pencetusnya.

"Nah, gitu dong. Semangat!"

"Mas, kamu tahu nggak, aku harus menelan pil pahit egoku sendiri buat bekerja sama dengan mantan pacarmu itu. Apa kamu buta?" Heni membatin, dan masih memandangi Raka yang tersenyum memperhatikannya.

"Ada apa, Hen?"

"Nggak ada apa-apa." Heni mengembalikan pandangannya kepada jalanan melalui kaca mobil. Berharap kebodohannya akan segera sirna. Kebodohan mencintai seseorang yang tidak mencintai kita balik adalah kebodohan paling hakiki yang pernah dilakukannya selama hidup. Dan yang lebih bodohnya lagi adalah Heni betah berkubang di dalamnya.

Makian dalam hatinya semakin membuat kepalanya pusing. Apalagi, saat mendengar Raka berceloteh mengenai masa lalu Alika dengan tawa renyah menyertai setiap penggalan kalimat yang menurutnya lucu.

Bodoh banget!

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang