Beberapa kali Septian ke Malang untuk urusan pekerjaan, beberapa kali pula ia mencurigai kedekatan antara Alika dan Raka. Apalagi, setelah perayaan anniversary mereka yang kelima. Ia sadar saat Alika memilih berbicara empat mata dengan Raka dan melemparkan Heni ke mejanya dengan kikuk. Pikiran buruk sepertinya mengikuti Septian kemana pun dia pergi setelah malam itu.Cemburu, mungkin salah satu tanda cinta.
Septian berusaha keras menekannya, tetapi setiap kali istrinya beramah tamah dengan laki-laki lain, rasa-rasanya dia tidak terima dan ingin mengunci Alika di rumah. Tidak membiarkannya berkeliaran. Namun, ia tidak ingin melakukannya karena terlalu cinta. Apalagi, saat menyadari kehadiran Raka di dalam kehidupan mereka yang sedikit mengubah kepribadian Alika yang serba cepat dalam segala hal, menjadi lebih santai. Terutama ketika berada di sisinya. Istrinya terasa lebih bersahabat.
Dan untuk pertama kalinya, Septian pergi ke Malang tanpa pemberitahuan. Menginap di hotel dan mencoba mengorek informasi agar hatinya tenang. Septian membayar seorang informan untuk membantunya.
Sehari di Malang, Septian merasa lega karena mendapat berita dari informan mengenai Alika yang berlaku seperti biasanya. Ia lebih banyak di rumah.
Hari kedua pun, Alika masih sama. Tidak terlalu banyak kegiatan mencurigakan.
Tepat di hari ketiga, saat Septian menyetir mobil sewaan dan berniat mengabarkan kepada Alika bahwa ia akan ke Malang besok, tiba-tiba saja Septian menghapus draft pesan yang tinggal menekan tanda send, maka pesan akan sampai saat tahu Alika keluar rumah.
Sedikit jauh di belakang mobil Alika, Septian mulai merasakan ketidaknyamanan saat mengintip jam pada layar ponselnya dan menunjukkan pukul sepuluh malam.
Ngapain Alika malam-malam keluar rumah?
Kecurigaan Septian benar-benar memuncak saat mobil Alika masuk ke parkiran hotel.
Tergerak dengan cepat, Septian menekan nomer telepon Alika langsung. Menghubunginya. Namun, tidak diangkat.
Belum sampai mencoba untuk kedua kalinya, sang informan mengirimkan sebuah pesan untuk Septian.
Bu Alika on the way hotel kartika, Pak.
Didera perasaan tidak enak, Septian memutar setir bundarnya menjauh. Ia dilema antara penasaran ingin membuka kedok istrinya atau tidak ingin terluka. Pilihan kedua menurutnya adalah pilihan paling bijak saat ini.
Lima belas menit kemudian, Septian menghubungi Alika kembali, tetap tetap tidak ada respon.
Bip....
Satu pesan dari informannya masuk.
Baru kali ini Septian berharap apa yang dipikirkannya selama ini salah. Pelan, setelah membuka matanya, Septian membaca pesan dari informan dengan dada berdebar.
Bu Alika bertemu dengan laki-laki, Pak. Saya kirim fotonya.
Deg....
Septian seperti menghitung dalam hati saat jarinya bersiap menyapu layar untuk memastikan siapa laki-laki yang dimaksud informannya.
Benar saja, sedetik setelah foto terbuka, Septian langsung membanting ponselnya di kursi penumpang. Pandangannya lurus. Giginya gemeretak. Tangannya menggenggam kuat setir bundar sebelum kakinya menginjak pedal gas dan berlalu tempat tersebut sejauh mungkin agar ia tidak bertindak nekat. Apalagi, sampai menghabisi nyawa seseorang.
"Kurang ajar kamu, Raka!"
#
Tidak ada balasan pesan. Telepon dari Alika pun tidak diangkat oleh Septian. Ia sudah terbang kembali ke Jakarta untuk menenangkan diri. Namun, hatinya semakin panas memikirkan semua hal.
Kepalanya sakit, makanya Septian butuh alkohol. Ia ingin melupakan semuanya dan berharap hatinya bisa menerima Alika kembali. Namun, sungguh sulit. Bahkan untuk bernapas pun ia harus melupakan segala hal.
Diliputi gundah, keadaan terasa begitu senyap dan mencekam, setelah terdengar bunyi pintu menutup dengan keras. Sampai-sampai, Mbok Nem yang berada di dapur dan sedang mempersiapkan minuman wedang jahe untuk tuannya, lari tunggang langgang menuju hadirnya suara keras tersebut dan berharap tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan saat berdiri memandang ruang tamu.
Seperti biasa, ia takut terjadi apa-apa setelah mendengar cek-cok cukup beringas kali ini.
Septian dan Alika saling berteriak. Saling mengumpat di ruang tamu. Mereka seperti meneriakkan masa lalu masing-masing. Menunjuk hidung sambil menyesakkan realita.
Setelah semua makian selesai, diakhiri suara benda terjatuh dan pecah, waktu seperti melambat.
"Nggak usah ke sini dulu, Mbok!" Suara Alika terdengar menggelegar dari ujung ruang tamu, sampai-sampai Mbok Nem menghentikan niatannya untuk mendekat dan hanya menatap lurus-lurus posisi Alika yang tersungkur dan mencoba berdiri dengan sisa-sisa tenaganya. "Aku nggak apa-apa... sudah, Mbok Nem balik ke dapur saja. Siapkan minuman yang aku minta tadi."
"Baik, Bu."
Kejadian yang berlangsung selama lima belas menit di ruang tengah sungguh mengguncang batin Alika. Ia bahkan belum sanggup berdiri dari lantai. Kakinya seolah kebas. Ia berjalan sempoyongan saat meraih ujung sofa paling dekat. Menarik napas panjang, memeriksa pelipisnya yang berdenyut dan matanya yang menjelajah serpihan vas bunga di lantai. Darah terlihat merembes dari salah satu sikunya meski Alika tidak merasakan sakit sedikit pun karena semuanya terasa melebihi sakit di hatinya.
Dikarenakan khawatir tidak mendapat kabar dari Septian, Alika menyusul ke Jakarta dan tiba sore hari dengan jalanan yang cenderung bersahabat sebelum Septian pulang dari kantor. Dia sengaja tidak berkabar lebih dulu kalau Alika sudah pulang ke rumah. Bahkan, Mbok Nem sempat dibuat bingung ketika membuka pintu rumah yang terbilang luas itu. Mendapati Alika tersenyum dari balik pintu saat melepas kacamata hitam besarnya dan memasangnya di pucuk kepala.
"Ibu kok nggak bilang-bilang kalau hari ini pulang. Kan bisa dijemput sama Prapto. Bisa saya siapkan juga makanan kesukaan Ibu. Opor ayam atau sayur bening." Omongan Mbok Nem terhenti saat melihat Prapto, sang supir pribadi Alika yang berbadan besar seperti tukang pukul, menjinjing koper majikannya dari balik taxi yang mengantarkannya pulang.
"Tuh, kan. Kamu pasti lupa jemput Ibu di bandara, ya?"
Prapto menggeleng, menampakkan ketidaksukaan atas tuduhan tidak beralasan itu. Namun, bubur-buru dihapusnya dari pikiran saat Alika memperlihatkan wajah sungkan. Sementara di pikiran Prapto, kalau saja Mbok Nem bukan yang dituakan di rumah dan mengenal baik orangtuanya, kemungkinan besar Prapto akan marah besar dan membalasnya langsung dengan makian, sama seperti ketika ditanya sudah mandi apa belum oleh teman-teman di kampungnya dulu.
"Nggak lupa, Mbok Nem. Bu Alika memang nggak ngabari. Permisi Bu Alika, saya bawa masuk kopernya."
"Taruh di kamar saya langsung, Prap," jawab Alika setelah Prapto mengangguk. Dan Alika berganti memandangi Mbok Nem yang masih berdiri di tempatnya, menunggu perintah. "Mbok Nem, tolong buatkan wedang jeruk. Kepala saya agak pusing naik pesawat tadi. Sepertinya, saya kurang tidur atau mungkin masuk angin. Kalau ada jahe, saya mau wedang jahe saja."
"Baik Bu, saya lihat di dapur dulu soalnya kemarin pas mau beli di tukang sayur, jahenya kosong. Mau saya siapkan makan juga biar perut Bu Alika enakan?"
"Nggak usah, Mbok. Nanti saja sekalian makan sama Bapak. Sebentar lagi dia pulang, jadi saya tunggu saja orangnya sambil tiduran sebentar biar pusingnya hilang."
Saat Mbok Nem pergi ke dapur dan mencari bahan untuk wedang jahe atau wedang jeruk, dan Prapto kembali ke pos jaga, keributan terjadi antara Septian dan Alika. Dan berhenti saat terdengar bunyi sesuatu yang pecah, menyusul kemudian bunyi pintu terbanting. Hening seolah menghentikan waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istana Pasir
Romantizm[Daftar Pendek The Wattys 2021] Janur kuning atau jalarane nur adalah perlambang memasuki bahtera rumah tangga. Kalau mau dikupas lebih dalam lagi, janur kuning bisa disebut sebagai mantra untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak diinginkan dalam suat...