Lamunan Alika buyar setelah mendengar pintu depan dibanting cukup keras. Bahkan Mbok Nem yang berada di dapur terlonjak mendengar pintu berdebam saat sibuk mencari jahe.Dengan cekatan, Alika berdiri meski punggungnya sedikit menegang karena pusing kepala yang tidak juga hilang, padahal ia sudah memejamkan matanya selama beberapa menit. Tidur selama beberapa menit itu pun tidak juga membantunya, apalagi ketika melihat Septian pulang dengan sempoyongan.
Tidak biasanya Septian terlihat lusuh sewaktu memasuki rumah. Dasinya melorot dengan tiga kancing kemeja bagian atas terbuka. Rambutnya berantakan. Dari bibirnya, terdengar senandung sambil berjalan serong ke kanan dan kiri.
Septian terkesiap mengamati Alika yang berdiri di ruang tamu. Dia melangkah besar-besar agar segera sampai di tempat Alika.
"Kamu mabuk? tanya Alika saat Septian mendekat. "Aku balik ke Jakarta siang tadi soalnya aku khawatir beberapa hari ini kamu nggak bisa dihubungi. Ada apa sama ponselmu?" Alika bertanya serius.
"Aku tahu sekarang, siapa Raka sebenarnya." Suara Septian sudah tidak lagi bersahabat. Pertanda bahwa Alika harus mundur teratur. Mengatur strategi agar tidak terlalu mencurigakan. Ia hanya bisa menunggu, mencoba memilah informasi apa yang harus ia pilih dalam batok kepalanya.
"Dia marketing yang bisa diandalkan di Malang, kan?" jawab Alika terasa seperti pernyataan.
Septian tertawa getir. "Kamu kira aku bodoh sampai nggak tahu apa yang kamu sembunyikan dariku selama ini. Pantas saja, kenapa kamu sampai sudi bolak-balik ke Malang, terus rencana buka toko baju segala, undang si bajingan itu ke ulang tahun pernikahan kita. Bullshit. Semua itu belum cukup? Kamu tambahin satu alasan lagi sambil jagain Papa sakit. Ternyata itu semua cuma buat kedok. Kamu main mata sama mantan pacarmu itu, kan!"
"Tutup mulutmu!"
Tanpa Alika sadari, tangan kanan Septian sudah mencengkeram pipinya dengan sekali raihan. Meski Alika meronta dan Septian tidak dalam keadaan stabil, cengkeraman tangan Septian tidak juga mampu dilepasnya dengan mudah. Alika tidak bisa bicara. Ia hanya bisa mencakar tangan Septian agar segera melepaskan cengkeramannya, tetapi tenaganya seperti tersedot habis memandangi sorot mata suaminya. Alika jelas tidak sepadan dengan tenaga Septian.
"Dasar sundal!" Septian geram. "Mau kamu apa?!"
Alika meronta dengan kalimat yang tidak terlalu jelas keluar dari bibirnya yang seperti dibekap. "L... lepaskan!"
Semakin Alika meronta, semakin erat pula cengkeraman tangan Septian. Saat Septian berniat melayangkan tangan kirinya ke udara, Alika menyadari bahwa nasibnya tamat hari ini.
Namun, Septian seperti tersadar selama beberapa detik sebelum tangannya melayang ke udara. Ia alihkan tenaganya kepada vas bunga kristal yang ada di dekatnya, setelah melepas cengkeramannya di pipi Alika. Yang Alika ingat, telinganya berdengung saat merosot ke lantai. Pecahan vas bunga memang hanya melukai sikunya. Untuk pertama kalinya, Alika benar-benar takut mati. Jadi, ia berusaha memejam saat tubuhnya terpelanting di lantai.
"Kamu kira aku tidak tahu kelakuan busukmu di luar sana." Alika mulai mendapati kesadarannya meski masih merosot di lantai. "Kamu merencanakan semua ini buat menjebakku. Yang harus kamu ingat Septian, kamu boleh memiliki tubuhku, tapi tidak dengan hatiku."
Rahang Septian mengeras, mendengar perkataan Alika yang menyakitkan. Ia beringsut dari tempatnya dan keluar dari rumah, membanting pintu sekali lagi dan meninggalkannya sendirian di lantai.
Gema yang ditimbulkan hantaman pintu sampai pula ke dasar hati Alika, dan membangunkan segala macam memori yang tersimpan jauh di lubuk hatinya dan sebenarnya tidak ingin diungkitnya kembali untuk waktu yang lama, meski susah untuk dilakukan.
Tidak ada penyesalan di wajah Alika, meski ia tahu utang keluarganya kepada keluarga Septian tidak akan mampu ia bayar selama hidup, meski Alika menyerahkan jantungnya sekali pun kepada Septian. Kebangkrutan usaha Papanya berlangsung sekaligus, utang di mana-mana, berselang-seling dengan hantaman depresi. Lalu, serangan jantung seolah menjadi rentetan kesialan bagi keluarga Alika, ditambah lagi ia harus memutuskan percintaannya bersama Raka dan berakhir di pelaminan dengan pria lain.
#
Secangkir wedang jahe yang dibuatkan Mbok Nem tidak sempat tersentuh. Setelah Alika cukup kuat berdiri, giliran koper yang sudah aman berada di dalam kamar, tidak lagi bisa diam lebih lama karena Alika menyeretnya kembali dengan tenaga penuh. Keluar dari kamarnya.
Langkah Alika berhenti sewaktu Mbok Nem menghampirinya.
"Mbok Nem, tolong panggilkan Prapto ke sini. Saya mau ke bandara sekarang juga."
"Tapi, Bu...."
"Cepat!"
"Baik, Bu. Tapi, Bu Alika mau ke mana?" tanya Mbok Nem sedikit kebingungan sebelum melangkah pergi.
"Aku mau balik ke Malang sekarang juga. Ada masalah yang harus diselesaikan. Masalah keluarga. Cepat panggilkan Prapto, nanti aku kemalaman sampai sana."
"Baik, Bu. Tunggu sebentar." Mbok Nem tergopoh-gopoh membuka pintu dan memanggil Prapto yang sedang berada di pos jaga dengan lantang dan tangan berkacak di pinggang hingga Prapto terkejut dan hampir saja terlepas rokok kretek yang sedang dipeganginya.
"Kalau saja bukan teman Emak di kampung, sudah kumaki dari dulu orang tua satu ini. Berisik terus dari tadi. Nggak suka lihat orang santai kayaknya," gerutu Prapto saat mematikan rokok kretek yang baru diisapnya tiga kali dan melangkah menuju asal muasal suara nyaring tersebut dengan wajah tidak ramah.
#
Saat menggunakan business class salah satu maskapai penerbangan pada jam-jam terakhir menuju Surabaya, Alika baru bisa melepaskan tangis tertahan sejak Prapto mengantarnya menuju bandara. Bahkan, Alika masih memaksakan diri untuk tertawa sewaktu memesan tiket kepada temannya, setengah mengancam karena temannya itu marah ketika Alika kembali ke Jakarta tetapi tidak pernah mengabarinya, dan berceloteh mengenai liburan mereka yang harus tertunda sampai waktu yang tidak dapat ditentukan karena sedang sibuk merawat Papanya.
Sebelum naik pesawat, Alika benar-benar menumpahkan air matanya dan tidak peduli lagi dengan sekitar. Ia mengingat-ingat karma apa yang pantas disematkan untuknya.
Saat Alika menangis, ada yang sempat meneleng, mencari isak tangis berasal. Ada pula yang tidak peduli dan memilih memejamkan matanya. Bahkan, ada yang menyindir untuk menyuruhnya diam.
"Aku benar-benar membutuhkanmu sekarang, Raka. Maafkan aku yang tidak tahu diri ini, yang masih meminta hal yang tidak seharusnya kamu kabulkan. Maafkan perempuan bodoh ini Raka, yang berani mengambil risiko dengan meninggalkanmu dulu."
Diraihnya ponsel dari dalam tas dan mengetik cepat pesan kepada Raka sebelum masuk ruang pemeriksaan untuk menjemputnya di Surabaya.
#
Tidak berapa lama Alika menunggu di bandara Juanda-Surabaya, Raka datang dengan tergopoh-gopoh.
Belum sampai Raka bertanya mengenai apa yang sedang terjadi, Alika sudah menghambur lebih dulu. Ia tidak peduli dengan banyak mata memandang. Alika langsung membenamkan wajahnya lebih dalam di dada Raka dan berharap Raka akan menepuk punggungnya pelan, menenangkan, tanpa banyak tanya. Dan Raka seperti mengerti suara hati Alika.
"Bawa aku bersamamu, Ka. Jangan tinggalin aku." Alika berkata seperti berbisik.
"Harusnya aku yang ngomong begitu." Raka mencoba menenangkan Alika dengan tertawa kecil.
"Kali ini aku janji tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku akan meninggalkan Septian buatmu."
"Jangan pernah berjanji waktu kamu sedih, Al."
Alika mendongak dan menggeleng kuat-kuat. "Aku cinta kamu, Ka."
Secepat kilat, Raka langsung mengunci kesakitan yang dulu pernah dirasakannya di dalam hati karena ia paham akan memutarkannya kembali jika dibiarkan. Malam ini, perasaan Raka membuncah, seolah menjadi seseorang yang paling diinginkan Alika. Goal dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istana Pasir
Storie d'amore[Daftar Pendek The Wattys 2021] Janur kuning atau jalarane nur adalah perlambang memasuki bahtera rumah tangga. Kalau mau dikupas lebih dalam lagi, janur kuning bisa disebut sebagai mantra untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak diinginkan dalam suat...