Bab 38 : Berbahagialah

166 28 13
                                    


Kafe Legi Pait menjadi tujuan mereka bertemu. Raka sengaja menunggu Alika di tempat tersebut sepulang dari berpamitan dengan teman-teman kantornya. Ia bahkan sudah menghabiskan tiga gelas cokelat panas dan dua piring pan cake. Lalu menyuruh pelayan membereskannya dulu sebelum Alika datang. Raka merasa butuh asupan sedikit lebih banyak makanan agar saat bertemu dengan Alika tidak terlihat pucat. Ia tidak ingin Alika khawatir, apalagi dengan melihat tampangnya yang seperti mayat hidup.

Selama hampir tiga jam berada di kafe Legi Pait dan seperti diselimuti perasaan tak enak, Raka hanya sanggup merangkai setiap kalimat yang ingin diucapkannya, sampai tiba kesempatan itu saat sebuah tangan menepuk bahunya pelan.

"Hi, Ka...."

Alika datang ke kafe Legi Pait dengan sapaan hangatnya, tidak selaras dengan wajahnya yang pucat dan tampak kelelahan membandul matanya yang sayu, meski ia memulas make up dan lipstick untuk menutupinya.

"Lama ya, nunggunya?"

Raka menggeleng. Lalu, mempersilakan Alika duduk di depannya, setelah sebelumnya Alika menolak dengan menggeser wajahnya. Raka gagal mencium pipi Alika.

"Aku kira kita nggak akan ketemu lagi, Al," setelah mengucapkannya, Raka memotong sendiri kalimatnya. Seperti teringat akan sesuatu. Sedikit menunduk, Raka mengeluarkan kalimat yang sudah dirangkainya. "Maaf ya Al, aku tidak bisa melindungimu. Aku memang pengecut. Tapi aku janji aku tidak akan mengulanginya. Aku akan terus berada di sisimu."

"Nggak apa-apa, Ka. Semuanya baik-baik saja."

"Syukurlah kalau begitu." Raka manarik napas lega.

Ada semacam kegelisahan di wajah Alika saat ia akan mengatakan sesuatu yang sepertinya tidak mudah keluar. Sejak tadi, sepertinya tersangkut di tenggorokannya. "Raka, bagaimana kalau kita berpisah."

Perasaan tidak enak yang sebelumnya melingkupi hati Raka, muncul ke permukaan. Ia tahu, akan ada peluang seperti ini untuk cerita cinta mereka, meski Raka tidak menginginkan semua itu terjadi.

"Kenapa, Al?" Suara Raka terdengar putus asa.

"Maaf, Ka. Aku benar-benar tidak bisa menepati janjiku lagi. Aku rasa kita sudah melangkah terlalu jauh dan aku tidak ingin menyakiti siapa pun lagi."

Raka menggenggam tangan Alika sedikit erat dan berkata dengan nada menenangkan. "Aku hapal betul dengan konsekuensinya, Al. Kita tahu apa yang harus kita lakukan buat hubungan ini. Kamu harus kuat menghadapinya. Kita bakalan melangkah sama-sama. Aku janji. Jalan kita sudah jauh, pantang buat kita mundur."

"Aku nggak ingin kita berdua hancur, Ka. Kalau kamu mau benci aku seumur hidupmu, aku rela."

Air mata Raka mulai turun. Tangannya sedikit gemetar. Ia merasa kalimat tersebut seperti terputar kembali di otaknya. "Bagaimana aku bisa membencimu, Al?"

"Kamu pasti bisa."

"Apa kamu mau menghukumku lagi? Kamu kan tahu, kalau sejak dulu kita sudah sama-sama menderita. Jadi, sudah sepantasnya kalau kita berbahagia."

Alika tidak menjawab pertanyaan Raka. Hanya ada tangis mengiringi desah napasnya. Ia tidak sanggup berkata-kata lagi. Dan menepis niatan Raka untuk menenangkannya dengan cara menggeser tempat duduknya, dan mencoba memeluknya.

"Stop it, Ka!"

"Aku nggak bisa berhenti, Al. Nggak ada jalan memutar di tempatku."

"Please...."

Tangis Alika terus membanjur. Bahkan, ia sepertinya tidak sanggup lagi berkata-kata. Raka paling benci kalau sampai membuat Alika menangis. Haram baginya berbuat seperti itu.

Dengan berat hati, Raka menawarkan sebuah jalan kepada Alika. Padahal, ia tahu di depan sana terdapat jurang. "Apa yang harus aku lakukan supaya kamu berhenti menangis?"

"Kabulkan permintaanku. Kita akhiri hubungan ini... selama-lamanya."

Raka diam cukup lama, menelaah, sebelum akhirnya menghapus air mata yang mengalir di pipi Alika. Ia mengangguk pelan, dan mencoba menekan sedalam mungkin amarah agar tidak muncul penyesalan.

Setelah dirasa cukup tenang, Alika berdiri dan berkata dengan satu tarikan napas. "Terima kasih sudah mencintaiku segitu dalamnya, Ka. Aku pamit. Selamat tinggal."

#

Sesampainya di mobil, Alika menangis sejadi-jadinya, meninggalkan Raka yang tidak mampu berbuat apa-apa selain melepaskan kembali cintanya untuk kedua kalinya.

Sembari menangis, Alika meratapi garis nasib yang sedang dipikulnya selama ini. Ia tersiksa ketika harus menggenggam cinta Raka yang menyejukkan, sementara hatinya tidak mampu menghilangkan nama Septian. Ketulusannya selama ini dalam menghadapinya, terutama untuk hal-hal yang dilakukannya kepada keluarganya, bukanlah perkara mudah untuk dilakukan oleh siapa pun yang mendendam, meski ia tahu Septian bukanlah manusia sempurna.

Jadi, setelah Dokter menyatakan bahwa Papanya telah melewati masa kritis, Alika langsung memeluk Septian. Lega. Rasa-rasanya, beban yang selama ini membelenggu seolah menghilang, apalagi mendengar tangis Septian. Meski lirih, tangis tersebut mampu melubangi telinga Alika yang dipenuhi oleh suara tangisnya sendiri.

"Tian..." Alika mendongak. Menatap wajah suaminya yang sedikit salah tingkah. "Maafkan kelakuanku selama ini. Kamu boleh marah. Kamu berhak marah."

"Nggak ada yang perlu dimaafkan, Al. Tapi, kalau kamu minta maaf, aku juga minta maaf atas segala kekeliruan yang kulakukan. Kita mulai semuanya dari awal ya, Al. Kasih aku kesempatan untuk memperbaikinya. Oke?"

Sedikit ragu, akhirnya Alika mengangguk. "Tapi aku boleh minta sesuatu sama kamu?"

"Apa itu?"

"Izinkan aku bertemu dengan Raka untuk terakhir kalinya. Aku ingin berpisah secara baik-baik. Setelah semuanya selesai, kita kembali ke Jakarta. Aku ingin Malang hanya dalam kenangan."

Tanpa ada keraguan sedikit pun, Septian mengangguk, memeluk erat istrinya. "Oke, tapi jangan lama-lama. Aku takut kangen."

Tawa kecil Alika sampai juga di telinga Septian. Ia mencoba untuk membuka tangannya lebar-lebar. Menerima Alika dengan segala konsekuensinya.

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang