Bab 09 : Kenangan

167 37 2
                                    


Lampu ruangan Raka masih menyala, padahal jarum jam telah menunjukkan pukul 8 malam.

Dua jam sebelumnya, formasi mereka masih lengkap, tetapi satu persatu pamit setelah melihat jam dinding. Raka tidak mungkin membagi pekerjaan tersebut kepada kedua anak buahnya karena menyangkut serah terima pekerjaan dengan Bos Besar.

"Sibuk banget, Mas. Dipanggil nggak jawab-jawab," sapa Heni dari balik kubikel sambil membawa secangkir minuman. "Mau kubuatan kopi?"

"Boleh."

Lima belas menit kemudian, Heni sudah duduk di tempat Zainal, menyodorkan secangkir kopi padanya. "Satu sendok kopi, setengah sendok gula. Pas."

"Terima kasih," balas Raka, meraih kopi dari tangan Heni. "Tumben jam segini belum pulang?"

"Lagi edit proposal buat Pak Paiman. Sebelum orangnya resign sudah harus beres. Tapi sudah selesai kok, terus lihat ruangan Mas Raka masih nyala jadinya ke sini."

Mereka sama-sama menyesap kopi dan tidak lagi ada percakapan setelahnya. Sampai akhirnya Heni pamit ke kubikelnya, dan Raka melanjutkan mengetik.

"Apa ini, Mas?" tanya Heni saat akan berlalu pergi karena ingin mengangkut cangkir kopi yang sudah Raka habiskan. Tangannya berhasil mengangkat amplop berwarna merah jambu.

"Undangan kawinan. Nggak tahu, kok masih dapat aja."

"Namanya juga jodoh. Nggak ada yang tahu kapan datangnya, kan? Bisa hari ini, bisa juga sepuluh tahun lagi."

"Gitu, ya," jawab Raka datar.

"Aku balik ke meja dulu ya Mas, terus pulang. Besok kalau nggak ada kerjaan bakalan repot," kelakar Heni.

"Hen!" panggil Raka.

"Ya...." Heni menghentikan langkahnya, menatap balik ke arah Raka.

"Kamu...."

"Jangan bilang kalau Mas Raka bisa lihat hantu. Tabok nih, ya!" potong Heni dengan muka masam.

"Bukan. Maksudku, minggu ini kamu ada acara atau nggak?"

Heni berpikir sejenak, sebelum menggeleng.

"Mau ikut aku ke nikahan temanku?" Bujuk Raka.

Tanpa pikir panjang, Heni mengangguk.

"Hari minggu aku jemput di rumah. Acaranya jam 11. Mau dijemput jam berapa?"

"Ngikut aja...."

"Oke." Raka seperti berpikir. "Aku jam 10 sudah sampek rumahmu."

Raka tersenyum lebar, menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal. Memanggil nama Heni kembali.

"Ada apa lagi?"

"Kalau mau, aku antar pulang. Tapi, tunggu lima belas menit?"

"Boleh."

#

Setelah memastikan komputer padam, berpesan kepada security untuk memeriksa lampu dan AC, Raka segera memberikan jempolnya kepada mesin absensi. Ia langsung memutar setir bundarnya meninggalkan parkir basement yang hampir sepi.

"Sudah makan, Hen?" tanya Raka. Pandangannya tidak berubah sedari keluar dari parkir mal. Fokus.

"Mas Raka lapar?"

Raka mengangguk. "Nasi goreng Pak Karno, mau?"

"Yang jual di depan kantor Radar?"

"Iya. Pernah ke sana?"

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang