Bab 25 : Sosok Lain Disodorkan

107 19 2
                                    


Alika membiarkan punggungnya yang tegang disangga oleh sofa yang dibelinya dari toko furniture terbesar di daerah Tangerang, sementara matanya terasa asing menjelajahi seisi rumah yang tidak lebih sepi dari hatinya, meski sudah bertahun-tahun tinggal di bawah atapnya.

Di ujung terjauh, dapur terlengkap mirip restoran terkenal, dikuasai oleh Mbok Nem dan anaknya yang sudah beranjak remaja, Siti. Kemungkinan besar, dipersiapkan oleh Mbok Nem untuk menggantikannya saat mendamba pensiun atau mengikuti jejak ibunya mengabdi kepada keluarga Setiantoko, adik dari Septian yang berada di Canada. Septian dan adiknya, Nanda, terlahir dari keluarga kaya raya. Bisnis mereka meliputi property, garmen, tour and travel, serta pabrik pakan ternak. 80 % peternak Indonesia tahu, beberapa pakan ternak tersukses yang mampu menghasilkan lele dumbo, ayam petelur dan pedaging, pernah memakan pakan ber-merk Nakam.

Hidup terkadang lucu, tidak jarang ironis.

Beberapa orang menginginkan hidup seperti Alika. Hidup bak di negeri dongeng yang semuanya tersedia hanya dengan menjentikkan jari. Semua itu juga pernah masuk di pikiran Alika, putri tunggal pebisnis yang karyanya tidak terlalu unggul di pasaran, meliputi bisnis restoran dan kafe. Entah siapa yang memulai, melalui perkenalan singkat saat Alika sekeluarga pergi ke Jakarta menghadiri pernikahan saudara jauh mereka. Mereka seperti dipertemukan oleh nasib baik.

Septian, sosok menjulang sedang memperhatikan Alika yang berdiri seperti bunga di antara rerumputan. Rambut Alika tergerai lurus sebahu. Tidak ada emas berlebih melilit leher, pergelangan tangan, atapun jarinya. Tetapi, ia tampak menarik mengenakan terusan pendek bermotif bunga kecil-kecil dan clutch keluaran rumah mode Italia kesukaannya. Jika mereka berdiri sejajar, Alika setinggi dada Septian. Serasi.

Septian datang ke pesta pernikahan saudara jauhnya mengenakan setelan jas milik Pluto berwarna biru tua, yang Alika paham harganya berada di kisaran dua digit dan hanya dibuat beberapa potong saja. Entah Septian mengenakannya karena Pluto ingin mensponsori, mengingat tubuh menjulang dengan otot tegap sangat memungkinkan jika dilirik oleh para desainer. Apalagi, beberapa kali profil Septian dimuat di majalah bisnis dan juga fashion, meski hadir sesekali.

"Sudah lulus kuliah di Amerikanya?" tanya Ziran―Ayahnya―bersama Alika yang mengekor.

"Sudah, Om. Baru balik Indonesia dua bulan yang lalu." Septian mengulurkan tangan, menyambut uluran tangan Ziran dan melirik ke arah Alika yang terdiam.

"Lagi sibuk apa sekarang?"

"Bantu-bantu Papa, Om. Sekalian, praktik ilmu yang didapat waktu kuliah biar berguna."

"Saya suka semangat mudanya, Mas Toko," kata Ziran mengarahkan pandangannya kepada Setiantoko, yang disambut gelak tawa oleh keduanya. "Seperti kita dulu. Terlalu bersemangat."

"Begitulah, Mas Ziran. Saya kadang sampai kewalahan sama semangatnya. Suka aneh-aneh. Masih baru, mau ubah strategi bisnis perusahaan yang menurut saya masih wajar kalau dijalankan. Untung saja cuma saya kasih wewenang untuk bagian promosi saja. Sekalian uji coba. Kadang saya agak takut sama anak saya sendiri. Sukanya trial and error."

"Maaf Pa, menurutku memang sudah ketinggalan zaman yang Papa lakukan sama perusahaan. Khususnya, bagian inovasi dan promosi. Nanti, semuanya bakalan pindah ke digital, di samping tentu saja masih memakai cara Papa yang lama. Mau nggak mau, Papa harus ikut. Jadi, sebelum kita ketinggalan zaman, kita sudah harus mulai. Nggak bakal ada yang dirugikan," terang Septian.

"Nak Septian sudah punya pacar?" Pertanyaan yang datang secara tiba-tiba dari mulut Ziran, langsung membungkam Septian yang mungkin saja akan menambahkan perkuliahan singkatnya, kalau tidak sedang terkejut dengan apa yang didengarnya.

Bukan saja Alika yang langsung memandangi Ziran, Septian serupa dengannya. Namun, ia mampu menguasai keadaan dengan tidak menunjukkan kekakuan di wajahnya, daripada Alika yang sedang bersiap menimpali perkataan Papanya.

"Papa apa-apaan, sih." Alika menyenggol pelan lengan Ziran, berujar tidak kalah pelan dengan gerakan sebelumnya. "Jangan gitu, dong. Malu."

"Sampai lupa. Perkenalkan, ini putri saya satu-satunya. Alika." Dengan lembut, Ziran menarik Alika sedikit mendekat.

"Alika, Om, Tante." Alika tersenyum, bergantian menyalami Setiantoko dan Veronika. Lalu, mengarahkan jabat tangannya kepada orang terakhir. Septian, yang sedari tadi menunggu giliran. "Alika."

Tangan mereka memang hanya bersentuhan sekali. Lalu, dengan sopan Alika menarik tangannya, sementara Septian tidak terlalu rela untuk melepaskannya.

Tidak ingin membuang waktu dan kesempatan, Septian langsung melancarkan pertanyaan kepada Alika. "Lagi sibuk apa sekarang?"

"Lagi sibuk sama bisnis kecil-kecilan."

"Bisnis apa?"

Meski Alika mencoba mengerahkan seluruh keramahan pada wajahnya, tetap saja ia memandang Septian yang seperti menelisik orang yang baru, menanyakan hal yang kurang berkenan di hati yaitu bisnis pakaian yang baru dirintisnya. Mungkin, kalau Alika tidak ingat bahwa Papanya dulu yang memulai pertanyaan semacam itu, mungkin ia tidak akan menjawab pertanyaan Septian. "Bisnis baju. Masih kecil, sih. Belum bisa disebut bisnis, lebih tepatnya main-main."

"Lancar main-mainnya?"

"Apa maksudnya?" Alika membatin, berusaha untuk tidak terpancing dengan kalimat yang didengarnya, apalagi sampai harus memicingkan matanya.

"Maksudku, biasanya bisnis yang dianggap hobi, malah yang berhasil dalam jangka waktu panjang karena tidak ada keterpaksaan. Aku rasa, kamu punya peluang yang baik buat memulainya. Lain kali, boleh aku belajar?" Seolah mampu membaca pikiran Alika, Septian berhati-hati memilih kalimat, apalagi ketika memandang sekilas Papanya sendiri, yang sedikit tidak senang dengan bahasa yang dipilihnya tersebut.

"Nggak memaksa kok, tapi please dibolehin. Janji, nggak bakalan ganggu, apalagi copy paste."

Karena banyak pasang mata tertuju kepadanya, Alika mengangguk saja. Pasrah. Dan, Septian tertawa kecil, sembari mengucap terima kasih.

Malam itu menjadi malam yang menyebalkan bagi Alika. Bahkan, sampai pesta pernikahan berakhir, mereka masih terjebak pada dialog-dialog kejam mengenai bisnis, dunia pendidikan, masa depan Indonesia dan beberapa hal lain yang membuat Alika muak dan ingin meninggalkan pesta detik itu juga.

Kalau saja ia tidak lupa membawa ponselnya, mungkin Alika masih bisa mengobrol atau bertukar pesan dengan Raka, kekasihnya.

"Langsung balik ke Malang, Mas Ziran?" tanya Setiantoko di luar pintu gedung, saat menunggu mobil jemputan.

"Besok pagi Mas Toko. Pesawat pertama, soalnya ada yang harus diselesaikan di Malang."

"Lain kali, kalau saya ke Malang, bakal kabari Mas Ziran. Biar bisa ngobrol lama."

"Bukannya minggu depan kita ada jadwal ke Surabaya, Pa? Aku ikut. Sudah lama nggak ke Malang juga. Jadi kangen sama bakso bakar," timpal Septian yang sedari tadi mendengarkan.

"Mau ngapain memangnya ke Malang?" tanya Setiantoko jail.

"Itu tadi sudah disebutkan?"

"Apa?"

"Itu loh, anu, aku mau belajar bisnis sama Alika biar tambah oke kalau buka bisnis sendiri."

Yang disebut namanya, langsung mendongak. Bingung karena salah memberi umpan balik kepada Septian, seperti bumerang. Kali ini, kembali kepadanya.

"Kan, bisa belajar langsung sama Papa?" Kejailan Setiantoko tidak juga berakhir, apalagi melihat wajah putranya yang ketat karena tahu sedang dipermainkan.

"Sudah lama nggak ke Malang, sekalian mau liburan. Siapa tahu dapat ide segar buat perusahaan Papa yang sudah kuno itu."

"Iya, kamu juga boleh mampir ke rumah, kalau tidak merepotkan. Rumah Om Ziran selalu terbuka buat kamu." Ziran tidak ingin buang waktu, apalagi membiarkan kejailan Setiantoko berlanjut.

"Tuh kan, Pa. Om Ziran sudah kasih izin. Terima kasih ya, Om. Aku pasti mampir. Pasti ke Malang."

Kali ini, Alika yang kesal dengan ulah Papanya. Namun, ia tidak bisa memprotes segala yang keluar dari mulut Ziran. Tidak di depan Septian, apalagi di depan orangtuanya yang masih mengobrolkan tentang masa depan.

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang