Kriiing, kriiing...."Selamat pagi. Dengan Raka, bisa dibantu?" tanya Raka saat berhasil meraih ponsel dari atas nakas dengan suara serak. Raka menjawab seperti mesin otomatis, tetapi kali ini menjawabnya dengan malas karena lupa menekan mode senyap saat ketiduran semalam, setelah menyelesaikan membaca buku setebal 701 halaman.
"Mas Raka nggak lagi bangun tidur, kan?" Suara di ujung telepon terdengar menelisik.
Heni mengembuskan napas panjang selama beberapa detik. Menimang antara ingin marah atau membiarkannya berlalu.
Raka kesal dengan suara tidak sabaran yang ada di ujung telepon, apalagi di hari minggu yang selalu dirayakannya dengan bangun siang. Dan mendengar pertanyaan mengenai kebiasaannya yang satu itu sedikit membuatnya jengah. Orang di rumah hapal betul dengan kebiasaannya, jadi tidak akan mengganggunya.
"Siapa, nih?"
"Heni, Mas. Tuh kan, tebakanku benar. Pasti lupa deh, kalau hari ini mau ke kondangan."
Setengah sadar dengan informasi barusan, Raka langsung membelalak. Ia amati jarum jam mengarah tepat pukul setengah sepuluh. Itu artinya, ia terlambat bangun.
Raka seharusnya sudah dalam perjalanan ke rumah Heni, bukannya tunggang langgang membuka pintu kamar, mencari handuk di tempat jemuran dan mandi hanya lima menit setelah menutup secara paksa telepon dari Heni dan berkata dengan cepat. "Tunggu sebentar, aku siap-siap dulu."
"Tumben jam segini sudah bangun? Ini hari minggu loh, Kak. Sekadar mengingatkan," kata Naya setelah berhasil mengetuk pintu kamar mandi. Bukan mengetuk lebih tepatnya, tetapi menggedor karena ingin buang air kecil yang tidak terbendung lagi.
"Berisik!" Raka sedang tidak ada waktu meladeni adiknya. Bahkan, ia tidak mendengar panggilan Nani dari arah dapur.
"Dipanggil kok ndak jawab?" tanya Nani, menyandarkan kepalanya di pintu setelah berhasil mengetuk dan masuk ke kamar Raka dengan berjingkat.
"Nggak dengar. Ada apa, Bunda?" tanya Raka.
"Hari ini kita jadi ke mal, kan? Ibu mau siap-siap dulu. Mau mandi," katanya semringah.
Merasa seperti terkena gada berduri, kepala Raka mendadak terasa berat untuk disangga, mengingat semua hal yang terlupakan tiba-tiba saja muncul ke permukaan, sekaligus, menyeretnya kepada janji yang harus ditepati.
"Harus hari ini, ya?" Suara Raka tersekat.
"Kamu sendiri yang bilang. Ya, Bunda nurut. Ayahmu juga sudah siap-siap. Tadi Bunda mau bangunin, eh kamu sudah bangun duluan."
"Waduh."
"Kenapa?" tanya Nani panik. "Kalau Bunda sih gampang, kapan-kapan juga bisa, tapi kamu bilang sendiri ke Ayah, ya. Bunda ndak tega."
Sembari menarik napas panjang, Raka meraih batik dan celana kain dari dalam lemari, dan langsung mengenakannya di hadapan Nani dengan hanya bercelana dalam. Setelah sadar jarum jam sudah tidak dapat dikendalikannya lagi, Raka mempercepat gerakannya.
"Aku ada janji ke kondangan, setelah itu boleh ke mal buat jalan-jalan. Beli sepatu sama makan, bagaimana?" tawar Raka, mematut diri dan menyugar rambutnya di depan cermin.
"Kalau gitu, kita berangkat dari rumah jam berapa?"
"Jam dua belas?"
Nani mengangguk dan keluar dari kamar Raka. "Coba aku bilang ke Ayahmu dulu."
"Terim Kasih," balas Raka pelan, menyudahi perhatiannya di cermin. Diperhatikannya sebentar, batik dan celana yang dikenakannya apakah masih terlihat pas di tubuhnya yang sedikit tambun.
Beres!
Setelah keluar kamar, Raka melangkah menuju garasi untuk memanaskan mesin mobil sekaligus meraih sepatu. Langkahnya terhenti oleh Adi yang menyusulnya dari ruang tengah. "Kalau kamu hari ini sibuk, lain kali saja beli sepatunya."
"Jangan. Kalau Ayah mau, setelah dari kondangan kita ke mal. Aku jemput semuanya begitu kondangan selesai."
Adi berpikir sejenak. "Kalau kamu ndak enak hati, Ayah beneran ndak apa-apa. Sepatu juga masih bisa dipakai. Lain kali saja."
"Pokoknya, kita ke mal hari ini. Nggak ada alasan."
"Ya sudah, Ayah ngikut. Bagaimana kalau kita ketemu di mal saja? Biar irit waktu dan ndak perlu saling tunggu. Ayah bisa naik taxi, pulangnya bareng kamu."
"Ide bagus. Kalau gitu, aku berangkat sekarang. Kita ketemu di mal. Nanti aku kabari kalau sudah selesai dari kondangan. Dah, Yah," pamit Raka setelah selesai memakai sepatu dan membuka pintu mobil.
Adi memperlihatkan dua jempolnya.
Sebelum masuk ke rumah dengan langkah ringan, Adi lantang berkata kepada Raka. "Jangan lupa curi melati pengantinnya biar cepat nyusul."
Raka membalas dengan malas. "Hmmm."
#
Sesekali, Raka menoleh kaca spion. Satu kegiatan yang tidak disukainya karena harus melaju dengan cepat, sampai-sampai tidak dapat berkonsentrasi penuh dengan lagu yang diputarnya. Selanjutnya, akan ada lonjakan emosi kalau sampai ada yang menginterupsinya selama perjalanan menuju rumah Heni. Raka bahkan tidak berani melirik layar ponsel, sekadar melihat jarum jam apalagi mengecek pesan.
Melalui jalanan yang semakin menyempit ketika sampai di satu perumahan dengan plang besar dan tinggi, bertuliskan Nongko Jajar, Raka sedikit waswas dengan mobilnya, meski jalanan masih bisa dilalui satu mobil lain ketika berpapasan. Setelah kelokan terakhir, Raka berhasil juga memarkir mobilnya sedikit jauh dari rumah Heni karena tidak ingin mendapat teguran dari warga.
Di depan rumah bergaya minimalis, Raka mampu membaui kembang ceplok piring dan kenanga di dalam pot-pot tanggung agar tidak merepotkan dalam perawatannya. Raka segera menekan bel dan muncul bapak-bapak bersiap membuka pagar. Menyambut kedatangan Raka.
"Apa kabar, Om?" tanya Raka pelan, masih di luar pagar karena tidak mungkin Heni mempersilakannya masuk ketika jarum jam menunjuk angka 11.
"Baik. Masuk dulu, Nak Raka. Jangan di depan pintu, nggak enak sama tetangga. Heni-nya juga masih di dalam. Jepit bulu mata satu-satu pakai pinset. Katanya biar cantik dan nggak kalah sama mantennya," goda Adam dengan kumis tebal dan mata beningnya mirip kucing. Orang tua tunggal Heni karena sang Ibu telah berpulang dua tahun lalu.
"Bapak Adam, mohon jangan sembarangan kalau bicara. Saya ini anaknya Bapak, jadi jangan dipermalukan di depan umum!" Heni menyusup di sebelah Papanya dengan wajah masam.
"Asal kamu tahu, Raka bukan lagi orang lain buat Papa. Dia sudah Papa anggap seperti anak sendiri."
"Bagus. Kalau begitu, ayo berangkat sekarang, anak angkatnya Bapak Adam tercinta, daripada nanti kita telat. Ya Tuhan, kasihanilah hamba-Mu ini, rela nggak makan siang cuma biar bisa makan gratis!"
Suara Heni segera memancing tawa keduanya sejak Heni tiba di depan pagar, sesaat setelah beringsut menuju mobil Raka yang terparkir sedikit jauh dari rumahnya. Mereka disambut pelototan tetangga-tetangga.
Heni tampak cantik dengan rambut ikal panjangnya yang dibiarkan tergerai, riasan tipis, bibir bergincu merah dan baju terusan selutut warna salem. Semuanya pas. Wajahnya tampak merona karena kulit kuning langsatnya membantu memancarkan aura. Meski Heni memakai sepatu berhak tinggi, tetap saja Raka terlihat menjulang ketika mereka berdiri sejajar.
"Ditelan dulu liurnya. Takut tumpah. Soalnya, biasanya nggak kerasa kalau sudah netes," goda Adam sekali lagi ketika Raka pamit mengejar Heni.
"Berangkat dulu, Om. Nanti bakal dibalikin tepat waktu anaknya. Utuh," balas Raka dengan canda.
"Kalau mau dibawa pulang ke rumahmu juga nggak masalah asal dihalalin dulu."
"Pak Adam!" teriakan Heni dari ujung jalan segera membungkam mulut Adam saat pagar rumah terdengar berkeriuk begitu Heni berkacak pinggang. Adam melarikan diri.
"Kamu cantik hari ini," Raka berkata pelan.
"Terima kasih."
Wajah mereka memerah sampai Raka membukakan pintu dan mobil meluncur kembali dengan gesit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istana Pasir
Romance[Daftar Pendek The Wattys 2021] Janur kuning atau jalarane nur adalah perlambang memasuki bahtera rumah tangga. Kalau mau dikupas lebih dalam lagi, janur kuning bisa disebut sebagai mantra untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak diinginkan dalam suat...