Bab 07 : Adab Penjual dan Pembeli

211 42 6
                                    


"Selamat pagi, Bos Besar. Sepertinya hari ini bakal jadi hari paling bersejarah dalam hidup!" sapa Zainal ramah dengan lesung pipinya terlihat jelas karena menarik senyumnya selebar mungkin, dari tempatnya mengetik.

"Belum, Nal. Dan nggak enak kalau didengar sama yang lain. Terus, nggak usah pakai sebutan Bos Besar segala kalau nanti jadi pindah beneran ke ruang akuarium. Merinding dengarnya!"

"Ketemu setan kali, pakai merinding segala." Zainal terkikik.

"Tumben kantor sepi. Pada ke mana?" potong Raka, tidak tertawa dan tidak ingin memperpanjang pembahasan setelah berhasil mendaratkan pantatnya di kursi.

"Pertanyaan ini buat Intana atau buat yang lain, Pak?" Zainal celingukan.

Raka kesal mendapati pertanyaan balik semacam itu. Namun, ia tetap tidak berniat memperpanjang pembahasan sebelumnya karena selalu tahu bagaimana akhirnya. Percuma mendebat Zainal untuk urusan remeh semacam itu.

"Harus berapa kali saya ulang jawabannya Pak, sampai Bapak tidak tanya lagi hal yang sama?"

"Jadi, setiap pagi Intana ke toilet itu bukan rumor?"

"Rugi buat rumor begitu, apalagi soal Intana. Asal Bapak tahu, yang menyangkut urusan Intana, jarang yang namanya rumor. Kebanyakan nyata. Kenyataan pahit, lebih tepatnya. Oh satu lagi, kalau Bapak pernah dengar rumor dia ditinggalin sama pacarnya pas lagi sayang-sayangnya, itu juga nyata," jawaban Zainal mendapat gelengan Raka.

Seperti teringat sesuatu, Zainal berdiri dan menghadap Raka karena belum menyerahkan data.

Sebuah tepukan tiba-tiba mendarat di pundak Zainal. Otomatis, membuyarkan semuanya termasuk bahasan sebelumnya.

Tidak perlu menunggu balik badan, Zainal bisa tahu Intana sedang berdiri di belakangnya. Ia langsung memasang wajah tenang saat membasahi tenggorokannya, sebelum membuka mulutnya kembali.

"Ada apa?" Kalimat yang keluar dari bibir Intana terdengar pelan, tetapi menyimpan ancaman.

"Jebakan." Pikir Raka, memandang lurus Zainal yang berdiri kaku, serta memberinya aba-aba agar berhati-hati memilih kalimat. Ia tidak ingin terjadi pertumpahan darah di kantornya.

"Maksudnya 'ada apa', apa ya?" Zainal melemparkan pandangannya kepada Raka.

Pertanyaan cukup aman ia kembalikan kepada Intana dan berharap Raka bisa memberinya informasi mengenai berapa lama Intana berdiri di sana dengan kedipan. Namun, Raka tidak tergerak dan berniat menunggu babak berikutnya.

"Lagi bahas apa?" tanya Intana kembali karena belum mendapat jawaban memuaskan dari lawan bicaranya.

"Lagi diskusi laporan yang baru bisa aku kasih ke Pak Raka hari ini. Kamu dari mana saja, Tan? Kok baru kelihatan?"

Pelan, Intana mengarahkan langkahnya kembali ke meja kerja yang berada di sebelah Raka. "Toilet. Memangnya ke mana lagi?"

Zainal tersenyum simpul. Tampak kelegaan di wajahnya saat berbalik dan kembali menjelaskan laporan yang diminta oleh bos besar beberapa hari yang lalu. Laporan mengenai occupancy unit selama dipegangnya.

Setelah selesai, Zainal kembali ke meja kerjanya, sementara Intana dengan intonasi setenang mungkin, berkata kepada Zainal seperti sedang membacakan berita kriminal dari layar komputer: Telah dtemukan seorang pemuda dengan luka memar di bagian wajah dan mulut dipenuhi dengan pembalut. Diduga karena sering bergosip.

Zainal dan Raka sama-sama menelan ludah. Tidak berani menatap Intana dan segera menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing.

Selang beberapa menit dalam ketegangan yang berangsur-angsur surut, jam kantor pun dimulai. Intana mungkin belum bisa melupakan semua informasi barusan, tetapi karena tuntutan perkerjaan, ia tengah berada di depan komputer Zainal dikarenakan komputernya sedang rewel, sementara pihak IT sedang memperbaiknya. Sekaligus memperhatikan Raka yang sedang menerima tamu.

Samar-samar, mereka berdua mendengarkan pembicaraan antara tenant dengan Raka.

Sejak lima belas menit yang lalu, dua orang bertamu. Suami-istri yang sebelumnya ditemui Intana dan pada akhirnya meminta mengobrol dengan atasan mereka karena tidak terjadinya jembatan komunikasi yang baik, mengenai keluhan yang belum tertangani dengan baik, kata mereka.

Otomatis, Raka mengambil alih kendali dengan mempersilakan mereka duduk, mendengarkan terlebih dulu keluhan sebelum mengambil tindakan.

"Mal ini adalah mal terbesar di Malang, menurut yang saya dengar dulu, sebelum memutuskan menyewa salah satu unit food court. Makanya, saya mau bergabung ketika pihak Bapak menawarkan dan menjelaskan kalau segala sesuatu menyangkut manajemen gedung bisa dikomunikasikan dengan baik. Tapi, kalau melihat manajemennya yang sekarang, saya jadi ragu...." Bahasa yang digunakan oleh Pak Richard sebagai pemilik warung Mbak Ndower dengan berbagai macam sambal yang digemari, menghuni dua unit food court nomor tiga dan empat sedikit nyelekit, sementara sang istri menjadi pendengar yang baik di sebelahnya.

"....kecoak sama tikusnya banyak banget. Saya nggak bisa tinggal diam dilapori anak-anak terus-terusan. Kadang kardus yang kami simpan, termasuk kabel listrik, digigit sama tikus sampai rusak. Saya nggak mau rugi sama hal-hal yang penyebabnya bukan dari unit saya."

"Bapak sudah lapor ke bagian tenancy?"

"Buat apa?"

Tampak senyuman tipis di bibir Raka dan terlihat jelas dari tempat kedua anak buahnya. Intana dan Zainal hapal betul dengan perangai atasannya kalau sedang tersenyum tipis.

Ada dua. Yang pertama, berarti dia sedang bahagia. Yang kedua, dia sedang menata emosinya agar tidak keluar dan membabi buta.

"Saya bantu urus ke pihak tenancy ya, Pak. Segala keluhan bisa ditangani di sana. Mari, saya antar ke ruangan sebelah." Raka berdiri pelan.

"Bapak mau lepas tanggung jawab?" Suara Pak Richard meninggi. "Saya hapal betul dengan hal seperti ini, jadi saya mau diselesaikan sekarang juga. Saya sudah bayar mahal. Tahu tidak, kalau gaji Bapak juga dari uang sewa saya. Saya mau Bapak yang tangani sampai beres," imbuh Pak Richard saat berdiri dan mencoba sejajar dengan Raka yang terlampau tinggi agar bisa menatap langsung ke arah matanya.

Intana mengeraskan rahangnya, sementara Zainal yang berada di sebelahnya berusaha menenangkan diri dengan memegangi pundaknya. Namun, segera ditepis oleh Intana saat teringat dengan kejadian sebelumnya.

"Kalau begitu, Bapak tunggu di sini sebentar. Saya ambilkan formulirnya agar bisa diisi. Biar bisa segera diselesaikan masalahnya." Raka memberi kode kepada Intana. "Bu Intana, minta tolong ambilkan formulir complain di meja tenancy. Satu lembar saja. Terima kasih."

"Baik, Pak."

Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk mengisi formulir, termasuk obrolan basa-basi tentang penjualan Mbak Ndower yang di luar akal sehat. Mereka bercerita, bisa menjual lima ratus porsi dalam sehari di akhir pekan dan separuh lebih di hari biasa. Jadi, bantuan Raka akan sangat mereka apresiasi.

Saat jabat tangan usai, mereka berdua pamit pulang.

Dan setelah memastikan semuanya aman, Raka langsung bertanya kepada Intana. "Kontrak Pak Richard sampai kapan, Tan? Saya mau review harga sewanya, sama nanti mintakan laporan inspeksi dari tenancy mengenai kebersihan tempatnya."

Intana mengangguk, membuka filing cabinet yang ada di sebelahnya dengan cekatan. Segera mencari berkas bernama Mbak Ndower dari tumpukan di lemari kabinet dan menyerahkannya langsung kepada Raka.

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang