Bab 39 : Gelap Menuju Terang

291 29 4
                                    


Kalau bukan Naya yang berlari mencari Adi dan Nani di dalam rumah, mungkin mereka tidak akan tahu putranya sedang meratap di teras depan. Kecuali Naya, mereka berdua kompak menyusul keberadaan Raka.

Cukup lama mereka berdiri di ambang pintu, sampai Raka menyadari kehadiran kedua orangtuanya.

"Boleh Bunda duduk sebentar, Ka?" tanya Nani sebelum melangkah mendekat.

Raka masih menunduk. Menghapus air matanya yang belum juga surut sebelum mengangguk pelan.

Tanpa menunggu lama, Nani langsung mendekat dan duduk di sebelah Raka. Terdiam dan menunggu putranya buka mulut.

Menyadari anaknya sudah dewasa, Adi mundur teratur. Ia kembali masuk ke rumah karena pernah di posisi itu sebelumnya. Menjadi tempat Raka mengeluarkan segala emosi saat Raka mengalami putus cinta untuk pertama kalinya.

Kali ini, ia menyerahkan tongkat estafet kepada istrinya.

"Boleh Bunda peluk?"

Tanpa menunggu aba-aba, Raka langsung menghambur. Duduk bersimpuh di depan Nani. "Maafin aku, Bunda. Aku nggak nurut sama apa kata Bunda. Sama Ayah. Harusnya aku mundur waktu itu biar nggak sesakit ini rasanya. Aku nggak kuat, Bunda."

Nani mengelus lembut rambut Raka, mulai memilah kalimat apa yang seharusnya dikeluarkannya sekarang.

"Resapi dulu sakitnya, Raka. Biarkan menggenang, jangan ditolak. Dengan begitu, kamu akan tahu rasa lain setelah rasa sakit ini hilang."

Raka mendongak. "Rasa apa itu, Bunda?"

"Penerimaan. Dan, rasa syukur serta terima kasih. Kamu tahu, terkadang seseorang hadir di kehidupan kita bukan hanya membawa berkah, tetapi juga pelajaran. Kamu sudah pernah berhasil melaluinya. Kali ini pun, Bunda yakin kamu juga bisa melaluinya."

"Boleh aku lanjut nangisnya, Bunda?" tanya Raka. Sepertinya ia belum puas.

"Ndak ada yang melarang."

Bukannya melanjutkan tangisan, Raka malah tertawa.

"Kenapa?" tanya Nani kebingungan.

"Harusnya Bunda bilang 'laki-laki kok nangis' atau 'laki-laki kok cengeng'!"

"Memangnya dengan Bunda bilang begitu, hati kamu akan lega?"

Raka menggeleng. "Hari ini saja aku pengin bersedih, Bunda. Besok sudah nggak lagi."

"Take your time, Ka. Ini hak kamu. Bunda cuma pesan, kalau kamu perlu teman mengobrol, Bunda selalu ada buat kamu. Jangan lupakan itu. Ayah juga akan selalu ada buatmu."

"Sekarang...." Raka menghentikan kalimatnya sebelum menggeleng cepat.

"Ada apa, Ka?"

"Aku lapar, Bunda."

Nani mencium pucuk kepala Raka, mencubit pipinya dan berkata dengan gemas. "Dasar perut karet!"

#

Dulu, Raka belum paham kalau kedua orangtuanya adalah support system terbaik yang dimilikinya. Meski berkali-kali ia meyakinkan diri untuk tidak merepotkan semua orang, termasuk orangtuanya, apalagi menambah kerepotan lain hanya dengan meminta agar mereka mengerti perasaannya. Makanya, Raka memilih diam dan diam-diam mengubur kesakitannya sendiri tanpa pernah sadar akan hal tersebut bahwa suatu hari akan berlaku seperti bumerang. Menyerangnya balik dengan kekuatan yang sama. Mencoba melumpuhkannya.

Alhasil, putus cinta part satu begitu mempengaruhi hubungan Raka dengan keluarganya. Terutama dengan Adi untuk waktu cukup lama.

Sebagai laki-laki dan sebagai kepala keluarga yang mengira bahwa sudah kenyang asam-garam, Adi merasa tidak pantas menangisi yang namanya patah hati. Jadi, ia memaksakan kepada Raka untuk berkabung secepatnya. Kalau perlu, dalam hitungan jam.

Nyatanya, bukannya mendapat hasil terbaik dari pemikirannya itu, Raka malah harus mengobati kesakitannya dengan menghadiri sesi terapi di rumah sakit.

Seiring berjalannya waktu, Adi paham dengan yang namanya sakit hati. Ia tidak pernah lagi mendikte, kapan rasa sakit itu akan pergi. Yang terpenting baginya adalah ia harus selalu ada di samping anak-anaknya ketika mereka membutuhkannya. Bukannya berusaha membungkam dan menyebut tidak pantas menangisi putus cinta.

#

Di teras depan setelah perutnya kenyang, untuk kesekian kalinya Raka merasa lebih baik berteman dengan kesunyian, pekat malam atau suara jangkrik sebagai latar. Hal tersebut ternyata cukup menenangkan jiwa. Namun, hanya sekejap terasa, saat seseorang tengah berdiri di depan pagar. Menatap lurus kepadanya.

Dengan wajah dibuat seseri mungkin, Raka berjalan mendekati pagar, menatap sejenak jalanan sebelum mempersilakan tamunya masuk.

"Kita ngobrol di teras saja ya, Hen?" tawar Raka.

Heni mengangguk.

"Mas Raka baik-baik saja, kan?" tanya Heni dengan suara bergetar, saat ia sudah duduk di sebelah Raka.

Meski halaman rumah Raka sedikit remang, ia bisa menangkap ada gurat kekecewaan di wajah Heni sebelum sesenggukan merembes keluar. Pelan, tetapi menusuk di jiwa.

"Ada apa, Hen?"

"Kenapa telepon Mas Raka nggak bisa dihubungi?"

"Baterai ponselku habis. Sekarang lupa mau charge, soalnya lagi asyik dengar suara jangkrik."

Tanpa Raka sadari, Heni mendekat dan memeluk tubuh Raka yang jangkung meski dalam keadaan duduk. Mendekapnya erat, seperti tidak ingin melepasnya pergi.

Sesenggukan yang sebelumnya tertahan, pecah. "Aku takut kenapa-kenapa sama Mas Raka. Maaf Mas, kalau tadi siang tidak ikut ucapkan perpisahan. Aku shock. Shock, sekaligus marah, tapi nggak bisa ngelakuin apa-apa. Sampai nggak bisa ngomong apa-apa juga."

"Iya, aku paham, Hen. Tenang saja. Aku sudah nggak apa-apa."

Baru kali ini Raka menyadari Heni menangis untuknya. Seseorang yang ia sia-siakan selama ini sedang menangis untuknya.

"Aku nggak akan buat kamu menangis lagi, Hen. Aku janji," balas Raka.

Heni mencari keseriusan di wajah Raka setelah melepas pelukannya karena kecanggungan tiba-tiba saja hadir di antara mereka. "Ada apa, Mas?"

"Nggak ada apa-apa. Lupakan aja, Hen. Anggap aku nggak bilang apa-apa."

"Selanjutnya, Mas Raka mau ngapain?" Heni mencoba mencari topik pembahasan lain meski banyak pertanyaan tak terjawab di kepalanya.

Raka menarik napas panjang sebelum membalas. "Aku mau cari kerja dulu. Habis itu, aku pengin tahu, apakah masih ada seseorang yang digariskan untuk jadi pasanganku, yang mau nunggu sebentar saja supaya cintanya tumbuh subur. Semoga jodohku benar-benar hadir."

"Kira-kira, siapa perempuan yang beruntung itu, Mas?" tanya Heni, sedikit kecemburuan terlihat dari ekor matanya.

"Seseorang yang nggak pernah lelah mencintai seseorang yang brengsek. Seseorang yang mungkin nggak berhak untuk dicintai setulus itu, tapi aku berharap punya kesempatan untuk membuktikannya, bahwa aku juga berhak mencintai dan dicintai."

"Siapa dia, Mas?"

"Kamu. Heni Saraswati."

Heni terdiam cukup lama sebelum senyum akhirnya terpulas di bibir.

"Kamu mau kan, nunggu aku sampai sembuh dulu? Aku nggak mau kalau kamu dapat pahitnya saja, Hen. Kita sama-sama rasain manisnya. Maaf, kalau aku lancang. Tapi, aku akan berusaha sebaik mungkin menjaga hatimu," Raka menambahkan.

Heni mengangguk cukup dalam sebelum menjawab dengan ketenangan luar biasa. "Aku sudah menunggu sejauh ini, Mas Raka. Menunggu sebentar lagi pun juga nggak masalah."

"Kalau nunggunya sepuluh tahun?"

"Serius, Mas?" Heni membelalak.

Kejailan Raka menghilang saat tersadar Heni sedang tidak ingin bercanda. Ia akhirnya menggeleng. "Sepertinya nggak akan selama itu."

"Terima kasih, Mas."

"Aku yang terima kasih. Kamu sudah membukakan mataku."

Heni tertawa kecil dan mengikuti kegiatan Raka yang sedang memandang jalanan di depan rumahnya.

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang