Bab 21 : Curahan Hati

105 28 3
                                    


Suasana kantor tampak berbeda sekarang karena tidak ada lagi teriakan dari dalam ruang akuarium sejak Bos Besar hengkang dari singgasananya. Untungnya, Raka masih bersikap sama seperti ketika menjabat sebagai supervisor. Dia tetap ramah, meski tegas dalam pembagian tugas.

Atau, sebenarnya ini hanya permulaan saja? Cuma kedok?

Intana dan Zainal selalu ketar-ketir setiap kali Raka bercanda menggunakan topik tersebut dan berkeinginan memiliki sifat yang sama dengan Bos Besar. Bahkan, ia berceletuk ingin memiliki sikap melebihi Bos Besar saat mereka menantangnya.

Hari ini, tepat di hari kedua puluh satu bagi Raka menduduki jabatan sebagai Bos Besar, dan langsung mengisyaratkan kepada tim yang dibawahinya untuk tidak memanggilnya dengan sebutan Bos Besar seperti yang dilakukannya dulu, atau bersiul sewaktu bos besar lewat di sekitar mereka.

Raka sedikit geli mengingatnya, karena ia sendirilah yang memberi isyarat tersebut ketika Bos Besar berada di sekitar mereka, dan kini ia sendiri akan mengalami hal yang sama, kalau tidak melangkah dengan sangat hati-hati. Dan atas permintaan perusahaan, untuk sementara waktu pengganti Raka masih dicarikan. Jadi, ia akan merangkap jabatan sebagai business and development manager.

Tok tok tok....

"Selamat pagi, Pak." Heni langsung membuka pintu ruangan, tersenyum kecil setelah Raka mempersilakan masuk dan Heni duduk di depannya dengan tenang. "Ini beberapa design yang Bapak minta, termasuk lay out exsisting dan planning, sesuai dengan data yang dikasih sama Bu Intana. Kalau ada yang perlu diubah, akan saya ubah segera."

Raka masih membalas pesan pada ponselnya saat Heni duduk di hadapannya, sepuluh menit setelah Raka memanggil Heni melalui interkom. "Terima kasih, Hen. Taruh dulu di meja saya. Nanti, kalau ada yang perlu direvisi, saya panggil kamu lagi."

"Baik Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu."

Heni hanya menerima anggukan dari Raka, tanpa memandangnya sedikit pun.

Demi langit dan bumi, Heni bersumpah dari ekor matanya, ia bisa menebak dari mana asal pesan yang mampu mengalihkan dunia Raka, selama sesaat itu. Tentu saja, pesan dari Alika. Entah apa yang tertulis di sana karena Raka sempat memperlihatkan senyumnya yang tipis sewaktu membalas pesan.

Dilingkupi perasaan kesal, Heni berbelok menuju ruangan Intana yang sedang tidak menerima tamu setelah keluar dari ruangan Raka. Ia duduk di depannya dengan melipat kedua tangan di dada.

"Anak perawan kok langsung manyun begitu keluar dari ruangan tersayang. Eh, ruangan terkasih. Eh, tercinta." Intana terkekeh melihat Heni sedang memainkan bolpoinnya dengan muka ditekuk. Bibirnya mengerucut.

"Tahu tuh, si Mas. Kesambet setan apa akhir-akhir ini. Nggak menyenangkan lagi Bapak kalian yang satu itu. Kerjanya cuma lihat layar hp terus kalau diajak ngobrol. Nggak pernah ngajak hang out lagi. Be-te, apalagi tadi pas ke ruangannya. Dikacangin. Pengin banting hp-nya."

"Makanya, ekspektasi jangan setinggi langit. Sakit kan, kalau jatuh," kata Zainal yang ikut mendengarkan curhatan Heni dengan tawa siap meledak.

"Eh, kamu pernah dengar atau baca nggak, kalau kita harus gantungin cita-cita setinggi langit biar kalau jatuh, paling nggak masih nyangkut ke bintang. Minimal, bulan," balas Heni sengit.

"Kalau nyungsep sampai bumi lapis ke tujuh?" timpal Intana.

Heni sewot mendengar celotehan kedua koleganya, dan berusaha menutup lubang telinganya.

"Hen, ada nggak sih, di kamus percintaanmu yang bertepuk sebelah tangan itu, kata-kata buat menyerah biar hatimu tenang? Nggak semua hal yang kita inginkan di dunia ini bakalan jadi kenyataan. Masih banyak, Raka-Raka di luar sana yang siap menampung cintamu yang, apa tadi katamu, setinggi langit kalau jatuh masih di bulan itu. Ra mashok." Intana menambahkan dosis nyinyirnya, mengikuti arahan Zainal yang mengerling.

"Aku cek belum ada." Heni tambah manyun mendengar tawa Intana dan Zainal kompak. "Bos kalian buta kali, ya. Dikasih perhatian sama orang yang cintanya tulus, eh malah nyari yang lain, yang nggak mungkin didapatkan, meski dunia ini runtuh. Apa itu namanya kalau bukan bodoh?"

"Siapa yang bodoh dan siapa yang membodohi siapa?" tanya Zainal sigap.

Heni terdiam, menyadari kebodohannya sendiri yang tidak mampu mengerem lidahnya, apalagi mendapati dua tatapan iblis yang akan menerornya kalau tidak segera bercerita mengenai siapa yang disebutnya tanpa kode, apalagi menggunakan inisial.

Berhubung pikiran Heni masih jernih, dengan gerakan pelan setelah meletakkan bolpoin, ia mengangkat pantatnya dari kursi cepat, beralasan banyak pekerjaan menanti dan beringsut dari sarang ular sesegera mungkin.

Intana dan Zainal sempat akan berteriak kepadanya dan akan menyeret Heni agar kembali duduk dengan tenang, menceritakan apa pun yang ada di kepalanya kepada mereka, kalau saja tidak ada kepala lain menyeruak dari luar kubikel, mengecek keberadaan mereka bertiga dan memberitahu kalau ada tamu yang sedang menunggu di luar karena tidak ada jawaban dari interkom yang berbunyi nyaring.

Beruntung bagi Heni karena dua tamu yang sedang menunggu di luar sudah janjian dengan mereka berdua. Jadi, untuk sementara waktu Heni aman dari kejaran penggosip nomer 1 dan 2 di kantornya. Entah sampai kapan ia bisa menghindar dari jerat dan pukat semacam itu.

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang