"Bersulang," kata Zainal dengan raut wajah bahagia. Dia berjalan mundur karena berbicara kepada Intana dan Raka yang mengikuti langkahnya di belakang. "Buat kemenangan kita atas ketidakadilan ini. Selamat tinggal misuh-misuh.""Hari ini kita bersulang buat kedamaian jiwa dan raga. Dan bonus di depan mata," timpal Intana tidak kalah girangnya.
Botol minum yang mereka pegang, secara bersamaan mereka dentingkan sembari berjalan menuju kantin.
"Aku nggak percaya kalau Si Bos Besar semurah hati itu. Aku kira kita bakalan dipanggang hari ini cuma gara-gara pertanyaan nggak penting. Untung saja Pak Raka yakin sama jawabannya. Kalau nggak, bisa mampus kita," imbuh Intana.
Raka tertawa kecil mendengar perkataan Intana. "Ini semua karena tim kita solid. Jadi, modelan Si Bos Besar nggak bakalan bisa menang."
Mereka pun bersulang kembali, dan meninju udara.
Kantin hari ini dalam keadaan ramai saat mereka sampai. Dua kipas angin besar terpatri di sisi kiri dan kanan tembok pembatas, menyala sejak pukul sebelas siang.
Sementara semilir angin dari dua pintu kaca yang dibuka lebar-lebar untuk mengusir asap rokok, tidak terlalu membuat Intana bersemangat ketika matanya awas mencari menu makan siang terbaik, yang menurutnya harus empat sehat lima sempurna.
"Sekarang nggak ada yang namanya empat sehat lima sempurna. Sudah ada yang membantah. Nggak perlu masukin susu, soalnya anak-anak sekarang jadi obesitas karena info yang salah kaprah itu," protes Zainal yang sedang memesan nasi, lauk telur mata sapi, lodeh pepaya dan kerupuk.
"Siapa yang bilang?" Wajah Intana mendadak sengak. "Maaf ya, aku nggak percaya hoax. Dan aku lebih percaya sama intuisi daripada omongan kamu."
"Dibilangin nggak percaya. Ntar kalau tambah gendut gara-gara minum susu baru ngomel."
Etalase yang menempati salah satu tempat sewaan di kantin menjadi sedikit rawan jika Zainal terus-terusan mengeluarkan kalimat tidak masuk akal seperti itu. Kalau saja Intana tidak segera menutup lubang telinganya, otomatis tempat tersebut akan menjadi medan perang. Di sebelah mereka, Raka memilih ketenangan saat memesan lalapan tempe dan tahu goreng. Sedikit menjauh.
"Kamu tahu kan, kalau protein ketemu sama lemak tak jenuh bisa bikin darah merah ngos-ngosan? Bisa kena kolesterol, terus stroke, habis itu mampus," balas Intana sembari menunjuk lauk milik Zainal.
"Nggak boleh nyumpahin," timpal Raka saat berdiri di sebelah Intana.
"Maaf, Pak. Kebablasan. Zainal memang orangnya suka dimaki." Intana mengawasi Zainal yang terkekeh setelah dirinya mendapat teguran dari Raka.
"Kalau begitu, jangan dibiasakan," imbuh Raka.
"Iya, Pak. Maaf." Intana mendengus kesal sementara Zainal masih meneruskan tawanya.
"Dimaafkan," Zainal berkata dengan nada paling sopan sambil berlalu pergi.
"Tuh kan, Pak. Makanya suka sebel sama orang ini."
Raka menggeleng dan menoyor kepala Zainal pelan dari arah belakang agar Intana tidak terlalu berisik.
Meski sering berbuat onar, tetapi tidak jarang Zainal dan Intana mampu membuat Raka tertawa. Melupakan sejenak target, klien yang memuakkan atau ulah bos besar.
Beberapa menit setelah memilih tempat duduk di dekat pintu kaca, hidangan menyusul kemudian. Saat mulut mereka asyik mengunyah sembari mengobrol, Zainal menyenggol pelan lengan Raka dan mengarahkan pandangannya ke pintu masuk kantin.
"Heni," kata Zainal pelan.
#
"Boleh gabung, nggak?" tanya Heni Ludiana saat langkahnya terhenti di dekat Raka.
"Boleh. Ini kan tempat umum, Hen. Nggak usah pakai izin juga. Sini, duduk sebelahku aja." Intana menepuk kursi panjang kantin dan menggeser sedikit posisi duduknya.
"Thanks." Heni meletakkan ponsel dan dompet di meja. Duduk dengan tenang sebelum melanjutkan pertanyaannya. "Mas Raka makan apa hari ini?"
Tanpa menjawab, Raka mengangkat piring berisi lalapan.
"Oh, iya. Pakai nanya lagi. Kalau gitu, aku pesan makan dulu ya, biar selesainya barengan." Heni berdiri dan tampak menjulang di antara pengunjung kantin. Untuk ukuran cewek, tinggi badan 171 cm adalah idaman.
"Hen!" panggil Zainal
Heni berhenti sejenak sebelum menjauh. "Ada apa, Mas?"
"Yang ditanya kok cuma Pak Raka? Aku juga mau ditanya makan apa hari ini," kata Zainal jail.
"Nggak perlu ditanya juga tahu, Mas. Pasti telur ceplok. Sekadar saran nih, jangan sering-sering makan telur nggak pakai sayuran. Nggak baik buat kesehatan. Ingat umur, Mas. Jaga kesehatan daripada nanti menyesal," balas Heni dengan tawa kecil menyambut di belakangnya, lalu pergi seperti tanpa berdosa.
"Apa kubilang. Makanan itu nggak sehat, Nal. Lihat, perut kamu sudah mirip ibu-ibu hamil lima bulan," timpal Intana dengan tawa tertahan.
Zainal mendengus. "Makasih. Apakah Ibu menteri kesehatan sudah puas sama pidatonya?" cibir Zainal.
"Puas banget."
Tawa Intana menghambur melihat Zainal mengerucutkan bibirnya.
Namun, selang beberapa menit tawa Intana mereda saat Zainal meneleng kepada Raka. Dan bertanya tanpa filter, "Pak Raka tumben diam saja. Nggak suka ya, kalau Heni gabung sama kita?"
Intana mendelik mendengar pertanyaan lancang Zainal.
Saat berhasil menendang kaki Zainal agar menelan kembali kata-katanya, Zainal pun sempat mengaduh, meski tidak dihiraukan oleh yang lain.
"B... boleh kok, Heni gabung di sini buat makan siang. Kebetulan lagi sariawan. J... jadi, mau ngomong juga aja agak susah," jawab Raka grogi.
"Nggak usah grogi, Pak. Ini bukan ujian sekolah. Santai saja jawabnya. Kalau nggak mau jawab juga nggak apa-apa."
Tendangan kedua Intana mendarat di bawah meja, dan tidak dapat Zainal hindari. Ia mengaduh kembali.
"Sekali lagi tendang kakiku, aku tendang balik!" Zainal memperingatkan.
"Dari dulu nggak pernah mutu omongannya. Sudah Pak, nggak usah didengerin. Rugi nanti kuping kita. Lama-lama bisa tuli," bela Intana, langsung memelankan suaranya karena Heni sudah kembali duduk di sebelahnya.
"Baru ditinggal sebentar sudah rame aja. Seru nih kayaknya?" tanya Heni santai. "Masih bahas makanan nggak sehat tadi, ya? Aduh, maaf Mas Zainal, tadi cuma bercanda. Lagian, siapa saya, berani larang-larang. Ikut bayarin juga enggak."
Mereka bertiga kompak menggeleng dan kembali sibuk menyendokkan makanan sambil mencari pokok bahasan lain yang sekiranya bisa menghiasi suasana makan siang hari ini.
"Mas Raka tumben diam. Lagi ada masalah, ya?" tanya Heni tiba-tiba setelah menyesap teh hangat.
"Nggak ada apa-apa, Hen. Lagi nggak mood aja."
"Oh...."
Zainal menjulurkan kepalanya kepada Intana, tetapi mendadak surut ketika mendapati tatapan tajam untuknya. Apalagi, ketika telunjuk Intana mendarat di bibir seolah-olah menjelaskan kalau sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, seringai Intana cukup menakutkan bagi Zainal untuk membuka mulutnya kembali. Kalau mau diterjemahkan, seperti berikut: Berani ngomong, mati!
Dia hanya bisa menelan ludah. Mengamati Intana yang tidak juga mengalihkan pandangannya, sampai sesi makan siang berakhir dan kembali ke meja masing-masing. Mereka pun melanjutkan menatap komputer serta melayani para tamu yang tidak dapat ditebak apa maunya. Baik melayani tamu yang susah diajak bicara tapi tidak ragu mengeluarkan dana, atau yang gampang terbuai janji manis tapi buas ketika egonya terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istana Pasir
Romance[Daftar Pendek The Wattys 2021] Janur kuning atau jalarane nur adalah perlambang memasuki bahtera rumah tangga. Kalau mau dikupas lebih dalam lagi, janur kuning bisa disebut sebagai mantra untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak diinginkan dalam suat...