Bab 32 : Rumor Berkembang Biak

118 25 7
                                    


Rumor tidak akan mungkin berhenti di satu mulut.

Seperti biasa, Intana menjadi corong, bersanding dengan Zainal yang sigap mendengarkan cerita darinya dan berusaha menambahkan ornamen agar terkesan hiperbola, semisal Raka sampai berdarah-darah, padahal tidak, saat Heni baru kembali dari luar dan menjadi sasaran empuk mereka.

"Tahu nggak, rumor yang selama ini berkembang soal Pak Raka sudah bisa kita pastikan kebenarannya. 100 %!" Intana berkata dengan intonasi selayaknya pembaca berita gosip, begitu tahu Heni sedang mengambil air minum di pantry.

"Penting, ya?" tanya Heni, mencoba tidak tertarik dengan bahasan Intana, meski sedang mempertajam pendengarannya.

"Penting! Soal Pak Raka jadi selingan Bu Alika," imbuh Zainal.

"Hah?" Heni akhirnya benar-benar tertarik.

"Iya, Pak Raka bahkan sudah pernah tidur sama Bu Alika." Zainal memelankan suaranya, sekaligus mencondongkan tubuhnya agar suaranya tidak bocor.

Plak....

"Hei, yang barusan itu harusnya di-skip. Belum terkonfirmasi kejelasannya," timpal Intana dengan kemarahan yang sudah berada di ubun-ubun karena Zainal terlalu jauh melangkah, menurutnya.

"Kok malah nampar. Kamu tadi yang bilang!" sergah Zainal, tidak terima dengan perlakuan Intana.

"Karena kamu nggak bisa jaga mulut, makanya aku tampar. Bahasanya diperhalus, bodoh. Apalagi, ada Heni." Intana kembali melirik, tidak terlalu menganggap Zainal yang sedang bersungut dan masih memegangi pipinya yang merah. "Ya, walaupun kita nggak tahu kebenarannya, tapi Pak Raka pasti punya alasan kenapa melakukannya."

"Karena cinta? Orang kadang bertindak bodoh dalam hidupanya kalau menyangkut hal yang satu itu. Kemungkinan besar, itu jawabannya," balas Heni saat meletakkan gelas minumnya.

Intana dan Zainal langsung menatap Heni yang tiba-tiba bicara seperti itu. Ingin rasanya mereka tertawa, tetapi menahannya sebisa mungkin.

"Iya, aku tahu, aku juga melakukannya sampai sekarang. Itu kan yang mau kalian bilang?"

Mereka bertiga kompak tertawa. Menertawakan hidup dan kebodohan yang selama ini dilakukan oleh semua orang. Mencintai seseorang yang tidak mencintaimu balik. Teruntuk Heni, lebih tepatnya.

Jam bergosip hampir habis. Mereka teringat dengan pekerjaan masing-masing. Bisa dipastikan, mereka kembali ke kubikel dengan pikiran yang entah mengelana ke mana-mana, terutama Heni yang masih berkutat dengan kursor dan tetikus yang bergerak tak keruan.

Begitu teringat ada yang harus segera ia lakukan, Heni meraih ponsel yang tersimpan di dalam laci, mengetik dengan cepat setelah menekan satu nama dalam kontak dengan wajah kaku. Emosi jelas terpancar pada sorot matanya.

Suamimu tadi ke kantor. Selamat, kamu sudah berhasil menghancurkan semuanya, termasuk Raka di dalamnya.

Send to Alika.

Meski ada yang mengganjal di dalam hati karena tengah berbuat gegabah dengan mengirimkan pesan seperti itu, tetapi beban seolah terangkat dari dadanya. Heni tahu, ada seseorang yang sedang terluka di dalam ruangan kaca. Seseorang yang sedang menekuri nasib buruknya. Ia pasti sedang meratap, meski hidup sejatinya bisa lebih baik baginya jika ingin melepas semua beban yang membelenggu.

#

Kekesalan masih terasa di dada Alika, mengingat Heni mengatakan kenyataan pahit yang terus disangkalnya selama ini, seolah-olah memojokkan dan memperkeruh, kalau dialah yang bersalah dalam hal ini. Menaruh segalanya dalam hal-hal terbaik yang tentu saja tidak semua orang mengerti kenapa ia harus melakukannya, menurutnya.

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang