Bab 29 : Kegalauan

102 24 10
                                    


Suasana ruang makan berjalan tidak seperti biasanya. Terlalu hening, terutama bagi Naya dan Adi yang memiliki kebiasaan menjadi tolok ukur tawa tercipta.

Meski Naya mencoba melemparkan lelucon berupa tebak-tebakan garing agar ada yang menimpali, dan entah dari mana ia mendapatkan kegaringan semacam itu, tetapi malam ini tidak mempan. Orang-orang rumah tidak percaya Naya memiliki pertemanan yang ajaib, yang mereka semua sadar keajaiban tersebut terkadang sedikit mengerikan kalau dipikir-pikir. Bagaimana tidak, Naya yang terkenal judes bisa memiliki teman-teman yang receh.

"Coba tebak satu kali lagi, ya. Ikan, ikan apa yang paling menderita di dunia?" Naya berusaha memancing kembali tawa di ruang makan, yang seketika surut hanya dengan tarikan napas panjang Raka.

Semua orang mengedikkan bahu, tidak bersemangat untuk menjawab hingga akhirnya Naya menjawab sendiri pertanyaan tersebut, seperti seseorang yang berusaha mentas dari kubangan derita.

"Jawabannya adalah ikan nggak bisa berenang."

Tidak ada tawa merembes, kecuali Naya dan Adi, tetapi tawa mereka semakin lama semakin menipis, ditempa pandangan nanar dan gelengan kepala Raka.

Dasar aneh, pandangan seperti itulah yang didapat oleh Naya dari Raka.

"Selesai makan, ada yang mau Ayah bicarakan sama kamu, Ka. Ayah tunggu di teras depan biar enak ngobrolnya." Akhirnya Adi mengumumkan apa yang ada di dalam kepalanya sejak pagi tadi, setelah menyimpulkan bahwa tebakan garing dari Naya tidak juga mencerahkan suasana hati putranya.

"Sekarang juga nggak apa-apa, Yah. Mumpung kita lagi ngumpul. Seperti biasanya kan, cerita apa saja boleh di sini." Raka mengatakannya sembari berusaha menghabiskan makanan yang ada di piringnya.

"Ayah tunggu di teras ya, Ka." Adi beringsut lebih dulu dari ruang makan, bersiap mencuci tangan setelah berhasil memasukkan satu suapan terakhir.

Lirikan Naya dan Nani seperti searah kepada Raka yang masih duduk, dan tatapannya mengindikasikan agar segera mengekori Adi yang sudah meninggalkan ruang makan lebih dulu setelah mencuci tangannya.

"Masalah apa sih, Bunda? Bukannya semua masalah bisa dibicarakan di sini. Kita kan keluarga?" Nada bicara Raka terdengar sarkas, saat ia akan melangkah pergi dari ruang makan begitu Nani menggerakan kepalanya menyamping agar Raka menurut.

Naya hanya menggaruk kepala, sementara Nani berusaha menengahi. "Nanti Bunda susul kalian ke depan setelah membereskan meja makan. Kamu ikut Ayahmu dulu, Ka."

Ogah-ogahan, Raka akhirnya bangkit dan menuju beranda depan rumah yang dihiasi dua kursi dan sebuah meja pendek setelah mematikan tivi di ruang keluarga yang tidak berpenghuni.

Adi memandang jauh ke depan, ke kegelapan malam. Tidak ada senyuman sewaktu Raka duduk di sebelahnya. Mereka sama-sama menatap satu titik yang sama, sebelum suara tukang bakso keliling membuyarkan lamunan mereka hanya dalam beberapa kali pukulan sendok ke mangkuk.

"Kemarin pulang jam berapa dari Surabaya?"

"Jam satu pagi, Yah."

"Raka, kamu jujur sama Ayah, kamu jemput siapa sebenarnya ke Surabaya? Kok ndak pakai izin?" tanya Adi pelan, masih memandang jauh ke depan tanpa meneleng untuk mengecek gerak-gerik anaknya.

"Teman."

"Ayah kenal sama orangnya?"

Raka tahu betul dengan pertanyaan semacam itu. Tidak boleh ada kebohongan yang terekam, karena sebenarnya ia sudah tahu kebenaran dibalik setiap pertanyaan yang terlontar, entah dari mana. Adi sedang mengetes anaknya.

"Alika," balas Raka pelan, sampai-sampai embusan angin tidak mampu mengantarkan suaranya yang sedikit bergetar.

Adi mendengus. Tatapan Adi lekat kepada putranya yang tampak menjulang, meski ia sedang duduk di sebelahnya. Terpaan lampu hangat yang ada di atas beranda menimbulkan siluet manis, tetapi tidak terlalu disukai oleh mereka berdua. Kata mereka, degradasi warnanya terlalu menyedihkan.

"Kamu pasti tahu konsekuensinya kan, Ka, kalau sampai berhubungan lagi dengan Alika?"

Raka mengangguk, tidak tahu harus menjawab apa selain napasnya mendadak memburu. Raka tidak berani menatap Adi lama-lama. Ia seperti terpenjara, meski tidak ada terali besi di hadapannya.

Dalam diam, muncul Nani dari dalam rumah setelah menyelesaikan pekerjaannya di dapur. Ia duduk di satu bangku memanjang untuk meletakkan pot bunga, menatap lekat Raka yang seperti tidak berdaya berada di hadapan kedua orangtuanya. Padahal, Raka sudah berusaha menutup rapat segala kemungkinan orangtuanya bertemu dengan Alika. Raka bahkan menggunakan Heni sebagai senjata pamungkasnya ketika diharuskan bertemu dengan Alika agar tidak ada kecurigaan berlebih yang dialamatkan kepadanya.

Selama lebih dari dua bulan, Raka berhasil menyusun sepak terjangnya hingga tampak tidak mencurigakan oleh siapa pun, termasuk keluarganya.

Namun, malam ini, sepertinya ia tidak akan lolos dari jerat. Ia seperti dilucuti, dan Raka memilih jujur di hadapan kedua orangtuanya daripada mereka tahu dari orang lain.

"Aku masih cinta sama Alika, Yah." Kalimat tersebut meluncur lancar dari bibir Raka.

"Bunda paham. Bunda ngerti sekali." Kali ini Nani angkat bicara. Dengan bahasanya yang halus, ia mulai memberikan penawar yang sangat pahit bernama kenyataan. "Tapi kamu juga harus sadar, ada sesuatu yang memang ndak boleh dilanggar dalam hidup ini. Norma. Bunda ndak ingin kamu menderita lagi, Raka. Bunda ndak ingin kamu sakit untuk kesekian kalinya. Cukup sekali Bunda melihatmu menderita, dulu, selama berbulan-bulan."

"Alika tidak bahagia dengan pernikahannya, Bunda," potong Raka cepat dengan nada memelas, tidak tahan dengan keinginan untuk mengakhiri sidang malam ini di depan orangtuanya. Berharap semuanya segera berakhir. Ia tidak sanggup lagi berkata lebih jauh, apalagi mendebat, tetapi sepertinya otak Raka terus menuntun ke arah situ.

"Kata siapa? Kata Alika?" tanya Adi datar.

Raka mengangguk pelan, hanya mampu memandangi Nani yang sedang duduk di depannya.

"Kamu percaya semua itu?" imbuh Adi.

Kali ini, tidak ada jawaban yang menyertai selain gosokan tangan Raka yang tidak sabaran. Dia diam, menunggu semuanya berakhir.

"Untuk kali ini, Bunda ndak mendukung keputusanmu. Kita boleh bermasalah dalam hidup, tapi jangan sampai masalah tersebut mengenai orang lain. Kamu ndak berhak jadi perusak kebahagiaan orang lain, meski itu yang kamu inginkan. Meski mereka bilang tidak bahagia sekali pun. Bunda percaya, kamu sudah dewasa Raka. Kamu bisa memilih, mana yang terbaik buat hidupmu. Kamu masih punya hati nurani untuk digunakan. Pikirkanlah omongan Bunda ini. Omongan Ayah. Jangan gegabah dalam bertindak. Tidak semua hal di dunia ini berhak kamu miliki, meski kamu menginginkannya."

Suara jangkrik yang sedang mengalunkan lagu-lagu malam pengusir sunyi menjadi pengantar langkah Nani dan Adi masuk ke rumah, sementara Raka terdiam di teras rumah. Memikirkan segalanya sedari awal. Memikirkan untuk merengkuh semua kebahagiaan dan berusaha untuk tidak menyakiti siapa pun, meski sulit untuk merangkainya.

Raka mengangguk.

Ia percaya, Alika memang tercipta untuknya. Meski berliku jalan yang harus ditempuh, ia yakin Alika akan berada dipelukannya. Sekarang, ia hanya berpikir untuk menguatkan hati saja. Paling tidak, pekerjaan rumahnya untuk menjelaskan hubungannya dengan Alika kepada keluarganya telah tuntas.

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang