Bab 01 : Buah Jatuh Tak Jauh Dari Pohonnya

692 72 9
                                    


Semalam saat menginjak usia ke-33, mereka memberi kejutan selamat ulang tahun kepada Raka pada pukul 12 malam.

Setelah mendengar harapan dan doa, petuah serta titah, Raka berniat terpejam kembali. Dia sempat menatap guling dengan sangat menyedihkan, berharap dapat tergantikan oleh sosok yang mampu bernapas teratur, tersenyum, mengangguk atau menggeleng ketika mengobrol. Ketika tak berhasil, Raka pun menggantinya dengan menghitung domba. Lelah menghitung ratusan domba, akhirnya ia tertidur selama 5 jam dan membuka matanya kembali saat jarum jam menunjuk pukul 6 pagi, bersama kicauan burung nuri peliharaan ayahnya yang melubangi pendengarannya.

Dingin, Raka terbangun di lantai kamar. Saat beranjak dari lantai dan berjalan keluar kamar, dia tidak menyadari bahwa semalam terjatuh dari ranjang hingga kepalanya berdenyut.

Langkanya terhenti ketika mendapati suara adik perempuannya dari arah meja makan. Entah sedang bercerita apa kepada ayah dan bunda.

"Selamat pagi, Nak-ku," sapa Nani dari arah dapur sambil membawa sepiring tempe goreng.

"Pagi, Bunda. Ayah mana?" tanya Raka, celingukan mencari sosok yang belum muncul di meja makan.

"Akhirnya bisa dilepas juga. Tinggal kasih lem, kena angin sedikit juga beres." Raka meneleng mendengar suara dari teras, begitu mendaratkan pantatnya di ruang makan, di depan adik perempuannya yang berseragam putih abu-abu dengan tatapan mengerikan. Dia mulai meneliti makhluk yang ada di depannya.

"Ada apa, Yah?" tanya Raka lantang.

"Ayah lagi benerin sepatu," sergah Naya.

"Oh...."

Tangan Raka menjulur ke meja makan, tetapi langsung mendapat perlawanan sengit dari adiknya dengan cara menyodorkan garpu agar dia tergerak mundur.

"Jorok! Bunda, Kak Raka belum cuci muka sudah mau makan tempe goreng. Katanya mau dipegangin semua kalau nggak dibolehin." Naya mencureng, memanjangkan lehernya seperti jerapah seolah Nani tidak mendengar teriakannya. Hiperbola.

"Bawel!"

"Bunda, Kak Raka nekat ambil tempe gorengnya."

Kalau saja Nani tidak melotot untuk memperingatkan Raka, mungkin tangan Raka sudah terulur menjamah tempe goreng yang masih panas dan mengunyahnya dengan penuh kemenangan.

"Makanya, ndak laku-laku sampai sekarang. Jorok, sih!" kata Nani pedas.

"Nggak ada hubungannya, Bunda!"

Tawa Nani merembes disusul Naya. Mereka kompak mentertawakan nasib tragis Raka.

Dengan satu tarikan napas panjang dan dengan tatapan menakutkan, Raka berharap Naya segera menghentikan tawanya. Sementara kepada Nani, Raka tidak berani. Takut tidak dikasih makan seminggu penuh kalau berani melawan.

Karena tidak ingin berlanjut dengan serangan balik Naya, Raka pergi menuju teras samping dengan memegangi perutnya yang sedang melakukan demo karena satu iris tempe goreng melayang dari jangkauannya.

Diperhatikannya, Adi sedang duduk di kursi kecil dekat halaman rumput cukup luas, bersanding dengan tempat jemuran basah sekaligus menjadi tempat Naya sebebas-bebasnya menendang udara sambil merapal serapah. Atau, tempat semedi Raka ketika menghadapi dunia yang terkadang menyebalkan.

"Ayah kira kamu masih siangan lagi bangunnya," kata Adi sarkas dan kembali memperbaiki sol sepatu tuanya dengan khidmat, berbarengan dengan membetulkan letak kacamata yang melorot. "Ada apa?"

"Hari minggu nanti kita ke mal ya, Yah. Ke toko sepatu. Sekalian makan di luar sama Bunda, sama Naya juga," balas Raka.

"Nggak perlu, Raka. Kamu tabung saja uangmu. Buat nikah. Jangan boros-boros, apalagi beli barang ndak penting. Sepatu ini masih bisa dipakai, cuma perlu diperbaiki sedikit. Kalau urusan perut, mending kita makan masakan Bunda saja."

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang