Kantor Raka berada di rubanah level dua. Jadi, untuk menuju ke tempat Raka, Alika harus turun sampai lantai dasar mal menggunakan lift, bertanya kepada security di samping pintu masuk, dan menemukan lubang seluas dua pintu berkaca tetapi hanya dibuka sebelah, lalu turun melalui anak tangga sejumlah lima belas, sebelum bertemu dengan security lain yang bertindak sebagai penerima tamu.
Alika harus menunggu selama lima belas menit saat security menjelaskan bagian marketing sedang meeting dadakan.
"Iya, tunggu di situ sebentar. Di food court saja tunggunya, biar aku tidak cari-cari lagi. Sebentar lagi aku ke atas. Nyusul kamu. Marketing-nya lagi meeting. Iya, 15 menit lagi aku naik. Sudah dulu, ya. Kamu makan duluan saja kalau memang lapar. Bye...."
Sambungan telepon Alika terputus. Bibirnya mengerucut dan segera mengubah pengaturan ponselnya menjadi mode senyap agar tidak ada gangguan.
Sempat timbul kekecewaan di wajah Alika mengetahui bukan Raka yang menyambut, tetapi rasa itu hanya bertahan selama lima menit, sewaktu mendengar Raka memanggil namanya.
Raka mempersilakan Alika berpindah tempat duduk dan menanyakan lagi perihal kedatangannya. Setelah Alika menjelaskan ingin menyewa tempat, waktu sepuluh menit Raka gunakan untuk menjelaskan secara singkat produk yang dijualnya. Setelah itu, mereka izin kepada Intana dan Zainal pergi ke atas untuk memeriksa unit yang kosong dan meninggalkan pertanyaan besar di wajah Intana dan Zainal yang saling berpandangan.
"Siapa cewek tadi?" tanya Zainal, sewaktu Raka sudah menghilang.
Intana mengedikkan bahu, melanjutkan mengetik laporan hasil revisi Bos Besar yang sebenarnya tidak terlalu berguna. Ia menginginkan satu garis lagi di keterangan untuk berjaga-jaga, jika laporan perlu direvisi. Intana bahkan hanya sanggup menarik napas panjang sewaktu Raka mengulurkan data revisi dari tangannya sambil tersenyum.
#
"Kita lewat eskalator saja, ya," tawar Raka.
Kali ini Raka sempat meneliti, apakah Alika mengenakan sepatu hak tinggi atau tidak. Benar dugaannya, Alika memakai sepatu hak tinggi. Otomatis, Raka memperlambat langkahnya setelah keluar dari lift.
"Boleh. Aku telepon suamiku dulu ya, kalau kita sudah dekat."
"Sama suami?" Ada sebentuk ketidakramahan di wajah Raka, meski terlihat sebentar sebelum ia mengangguk pelan.
#
Seorang pemuda melangkah dengan pasti menuju keberadaan Alika dan Raka setelah menuruni satu tangga eskalator menuju lantai 2. Raka sedang menjelaskan mengenai unit kosong yang sedang ditawarkannya tersebut ketika seorang tersebut mendekat.
"Saya Septiantoko. Panggil saja Septian atau Tian." Pemuda itu mengulurkan telapak tangannya, menjabat tangan Raka erat sebelum menggamit lengan Alika.
"Sudah makan, Sayang?" tanya Alika lembut.
Septian mengangguk pelan. "Sudah, tadi di restoran dekat food court. Nasi goreng lombok ijo-nya enak banget."
"Tuh kan, kalau makan sendiri pasti pesannya yang pedas-pedas, deh. Kan kemarin baru sembuh sakit perutnya. Mau masuk rumah sakit lagi kayak kemarin?"
"Iya, iya. Maaf. Tapi, nggak pedas banget kok nasi goreng lombok ijo-nya. Malah, menurutku biasa saja."
"Tetap saja nggak boleh. Kalau nanti kumat lagi sakit perutnya, repot sendiri loh. Kamu ya, dari dulu selalu lupa kalau dibilangin. Nggak pernah nurut. Memang mintanya diinfus," balas Alika kesal, cenderung ke mode cerewet
Meski sedikit enggan, Raka mencoba untuk menghentikan penjelasannya sementara waktu dan ikut mendengarkan Alika yang tidak pernah berubah sejak dulu. Ia selalu bisa diandalkan dalam segala hal, memperhatikan hal-hal kecil yang kadang terlewat dan berlaku seperti seorang Ibu ketika kekasihnya tidak menurut dan berlaku seperti kekasih ketika ingin dimanja.
Raka mencoba menghapus kenangan indah yang tiba-tiba saja menyeruak, apalagi ketika Septian berhasil membuat Alika tersenyum kembali dengan guyonan yang persis dilakukannya dulu.
"Sial," gumam Raka sembari membaca lay out yang tidak mampu diremasnya hingga hancur.
"Maaf, jadi mendengarkan pertengkaran nggak penting ini. Ada apa, ya?" Pertanyaan Alika dan tatapan Septian berhasil membangunkan Raka dari lamunan, dan dari ucapannya yang merembes keluar.
Mereka mendengarnya?
"Oh, ini saya baru sadar kalau salah bawa lay out. Apakah tidak apa-apa, kalau saya jelaskan secara sekilas mengenai apa saja yang nantinya didapat sama Bu Alika dan Pak Septian, kalau mau sewa unit di sini. Biar nanti saya email-kan lengkap penawaran serta lay out yang benar, persis seperti yang sudah saya jelaskan di awal tadi."
"It's okay," kata Alika tenang dan masih menggenggam erat tangan Septian saat Raka meliriknya.
"Habis ini kita langsung ke rumah sakit jenguk Papa, kan?" tanya Septian tanpa menghiraukan Raka yang sedari tadi menunggunya untuk diam dan sesekali melirik kepada mereka agar bisa menyelesaikan pekerjaannya segera.
"Setelah dari sini, kita langsung jenguk Papa. Tapi sebelum pulang, kita mampir ke supermarket dulu. Beli buah atau roti," jawab Alika.
"Beres."
"Papa? Pak Ziran sakit apa?" Raka mencuri dengar sambil menebak papa siapa yang dimaksud Septian. "Papanya Septian atau Papanya Alika? Ah, buat apa aku peduli?"
#
"Tadi ada calon penyewa datang ke kantor. Cantik banget orangnya. Nggak kalah sama artis ibu kota. Kamu tahu, cincin yang dipakai sama orang itu? Swarovski. Asli, kalau dilihat dari pantulannya. Mata aku sampai jereng saking silaunya. Untung nggak pakai ngiler. Duh, kulitnya juga lembut banget. Kalau jalan di sebelahnya, pasti kita bakal dikira babunya. Aku curiga, jangan-jangan cewek tadi itu malaikat yang jatuh ke bumi," terang Intana dengan penekanan kalimat yang dibuat sedramatis mungkin, saat bertemu dengan Heni di pantry.
"Malaikat jatuh?" Kening Heni mengerut sembari mengaduk kopi yang baru saja dituangkannya.
"Aku yang cewek saja sampai jatuh cinta hanya sekali lirik. Dan berita baiknya adalah orangnya kenal sama Pak Raka. Kamu tahu kan, gimana kalau pangeran ketemu sama puteri. Cocok banget. Nggak perlu ada yang diperbaiki."
"Malaikat jatuh atau puteri sih yang benar?"
Sirna sudah senyum di bibir Intana mendengar pertanyaan Heni barusan yang terdengar mengejek. Apalagi, Heni mengatakannya tanpa melihat Intana secara langsung. Ia berkata sembari mengaduk kopi.
"Untung saja kamu masuk ke klasifikasi manusia dengan fisik menarik. Coba kalau nggak, sudah aku siram sama teh panas. Atau, aku garuk pakai garpu biar cantiknya berkurang. Ilangin wajah sok polos kamu itu!"
"Jahat banget mulutnya. Awas ya, kalau sampai berani macam-macam sama wajah cantik ini. Baret sedikit, ganti ruginya ngalah-ngalahin biaya makan Mbak Intana selama setahun!" Heni terkikik meninggalkan Intana yang masih mengaduk kopinya.
"Kurang asem!" Tawa Intana sama sarkasnya.
Ketika Heni melangkah pergi menuju kubikelnya untuk kembali mengerjakan laporan yang hari ini wajib disetor ke Bos Besar sebelum istirahat, tanpa perlu memutar otak, Heni bisa menebak siapa yang dimaksud Intana. "Alika!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Istana Pasir
Storie d'amore[Daftar Pendek The Wattys 2021] Janur kuning atau jalarane nur adalah perlambang memasuki bahtera rumah tangga. Kalau mau dikupas lebih dalam lagi, janur kuning bisa disebut sebagai mantra untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak diinginkan dalam suat...