Sesuatu yang ada, tetapi seringnya terlewat tangkapan mata manusia-manusia sibuk adalah betapa nikmatnya memandangi jalanan yang ramai mengular, tanpa lolongan klakson. Meski di antara mereka ada yang menampakkan wajah kelelahan melalui helm tanpa kaca atau dari balik kemudi mobil, menarik dan mengembuskan napas panjang dibayangi semburat warna jingga di ufuk barat, semuanya seolah berhasil menjadi katalis pekatnya dunia.Bagaimana rona mereka ketika sampai di rumah dan bertemu dengan keluarganya, ya? Pasti bahagia. Namun, ada beberapa orang yang hidup sendirian di muka bumi ini. Bagaimana pula dengan nasib mereka?
Dalam hati, Raka menggeleng dan menertawakan pertanyaannya sendiri.
Kalau mau ditarik garis ke belakang, Raka jarang mengalami semua itu karena bisa dipastikan ia keluar dari kantor selalu di atas pukul 6 sore. Makanya, Raka senang mendapat kesempatan mengamati sekitar karena seringnya mendapat warna jingga di langit barat sudah tertelan kelam, sementara lampu-lampu mengambil alih kendali akan cahaya begitu matahari menginjak pedal gas menuju belahan bumi lain.Khusus hari ini, Raka memilih mengurai kota Malang yang sedikit merayap ditemani lantunan musik dari band kesayangannya. Letto. Ruang rindu. Berulang-ulang.
Saat berpamitan dengan Zainal dan Intana, Raka hanya tertawa kecil melihat Zainal menandak mendapat jadwal kencan dengan teman satu almamaternya, sepulang dari kantor. Dia sempat mewanti-wanti Intana agar tidak mengganggunya dengan telepon tidak jelas, apalagi menunjukkan iktikad buruk. Mulai dari cemburu, meminta antar pulang, atau marah tidak jelas. Jadi, bisa ditebak balasan umpatan Intana, tanpa memandang Raka yang masih berada dalam satu ruangan.
Raka hanya menggeleng sembari merapikan berkas di meja dan pergi meninggalkan mereka berdua yang masih memperdebatkan tentang banyak hal.
"Nggak apa-apa Mas Raka, kalau Mbak Intana sama Mas Zainal ditinggal begitu? Aku kok takut kalau kenapa-kenapa ya," kata Heni masih memperlihatkan kekhawatirannya.
Raka mengangguk dan menggenggam setir bulatnya menembus jalanan. "Tenang saja. Mereka nggak bakal bunuh-bunuhan."
Heni terbahak sebelum melanjutkan omongannya yang sempat tertunda. "Sebenarnya Mas Raka nggak perlu antar saya pulang. Mas pasti capek di kantor seharian ini dan pengin langsung pulang. Saya bisa pesan ojek online dari kantor atau berhenti di depan minimarket," kata Heni pelan.
"Kita searah, Hen. Nggak perlu sungkan," balas Raka enteng.
"Sebenarnya kita beda arah, Mas. Mas ke utara, saya ke selatan."
Jeda kembali melingkupi percakapan mereka, dimulai pertanyaan dan diakhiri dengan jawaban yang itu-itu saja. Singkat, padat dan jelas. Mirip salah satu slogan.
"Thanks by the way," lanjut Heni, sedikit sungkan.
"You're welcome."
Sekelumit ragu muncul di wajah Heni sebelum meluruskan pandangannya. Menatap jalanan yang mulai terurai lancar.
Entah sejak kapan, telapak tangannya digenggam erat seperti sedang kedinginan. Padahal, pendingin di dalam mobil Raka disetel dengan terperatur sedang sejak roda mobil meluncur dari parkir rubanah mal.
"Maaf, soal di kantin tadi," Raka membuka percakapan kembali.
Heni mengangguk. Tidak tahu harus menjawab apa. Tidak tahu harus berlaku seperti apa, saat mendengar kalimat Raka barusan. Dia hanya sanggup menunggu, seperti perahu kertas yang sedang terbawa arus sungai dan tidak tahu akan bermuara di mana. Di laut atau berhenti di tengah perjalanan lalu hanyut. Atau, bisa juga tenggelam sebelum memulai perjalanannya.
"Aku belum bisa menerima perasaanmu, Hen," Raka bergumam, sampai-sampai suaranya seperti tertelan deru mobilnya sendiri. Bahkan, lengguhannya lebih terdengar jelas daripada ucapannya.
"Jadi, pikiran Mas Raka bercabang gara-gara ini?" Heni bertanya ragu. "Soal perasaan saya, kita kan sudah bahas, kalau Mas Raka tidak perlu menjelaskan atau merasa kasihan. Sama seperti perasaan saya ke Mas Raka yang nggak bisa ditahan, Mas Raka juga punya hak untuk nggak memiliki perasaan yang sama. Itu manusiawi." Wajah Heni mengetat. "Sebaiknya kita akhiri saja pembahasan masalah percintaan ini biar sama-sama nyaman. Yang pasti, kita masih berteman kan, Mas?"
Raka mengangguk dan percakapan pun terhenti tepat begitu mobil Raka terparkir di depan rumah ber-arsitektur minimalis, dengan taman kecil berundak dan pagar mungil berfungsi sebagai hiasan karena tidak mungkin dapat dijadikan sebagai penghalau seseorang yang berniat melompat ke halaman rumah Heni.
"Hati-hati pulangnya, Mas. Jangan ngebut-ngebut."
Raka mengangguk tanpa berkata-kata. Kelegaan tercetak jelas di wajah Raka saat Heni melangkah masuk.
Di ujung langkah, Heni tiba-tiba berbalik saat Raka akan masuk mobil. "Ada apa?" tanya Raka.
"Hampir lupa. Selamat ya Mas, sekarang sudah jadi Bos Besar beneran."
"Aku kira ada yang ketinggalan di kantor dan mau minta tolong antar balik. Amin. Semoga amanah. Jangan lupa, kalau Bos Besar-nya masih calon juga." Raka segera masuk mobil.
"Amin," balas Heni.
Satu kata paling ampuh di setiap akhir doa, yang selalu Heni panjatkan untuk Raka. Kata yang sebenarnya ia tujukan kepada Raka untuk mengakhiri segala kisah cinta bertepuk sebelah tangannya. Namin, Heni percaya kalau seseorang bisa jatuh cinta jika sudah terbiasa. Dia bukan tipe cewek yang gampang menyerah, meski satu kata yang dilanggarnya tersebut sedikit membebaninya. Heni sadar betul terburu-buru menyatakan perasaannya, dan kini sedikit disesalinya karena tidak meneruskan sikap sabarnya, meski ada sekelumit lega di dada karena beban telah terangkat.
"Sebenarnya kita ini apa sih, Mas?"
Saat ini, dia kebingungan dalam menentukan sikap. Harus menjauh, biasa saja atau tetap mendekat. Namun yang pasti, masih ada kesempatan untuk memulai segalanya dari awal. Memulai pertemanan bisa menjadi solusi untuk saat ini hingga nanti akhirnya Raka benar-benar jatuh cinta kepadanya.
Tidak ada yang namanya mustahil di dunia ini, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Istana Pasir
Romansa[Daftar Pendek The Wattys 2021] Janur kuning atau jalarane nur adalah perlambang memasuki bahtera rumah tangga. Kalau mau dikupas lebih dalam lagi, janur kuning bisa disebut sebagai mantra untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak diinginkan dalam suat...