33

33 4 0
                                    

satu minggu sudah Arlan dirawat di rumah sakit, tapi Arlan belum juga mengingat Kafita.

Kafita selalu datang menjenguk Arlan, ia akan berada di luar ruangan saat Arlan bangun dan akan masuk saat Arlan tertidur.

kenapa begitu? Arlan terus menolaknya dan mengusirnya saat ia mendekatinya.

padahal banyak orang yang sudah menjelaskan bahwa Kafita adalah pacarnya tapi dia masih tidak mau percaya.

seperti hari ini Kafita masuk kedalam ruangan Arlan dan duduk di sofa bersama bunda dengan mengamati wajah tenang Arlan saat tertidur.

“kamu dari tadi?” tanya bunda.

“rumayan bun semenjak Arlan ketemu dokter terapi tadi” ucap Kafita.

bunda Arlan merasa bersalah kepada Kafita, selalu sembunyi2 demi untuk melihat putranya yang masih saja menolak Kafita.

“maafin bunda ya nak”

“kenapa bunda minta maaf?”

“karena bunda pun nggak bisa berbuat apa2, sudah bunda bilang berulang kali tapi Arlannya masih kekeh nggak mau nerima kamu, bunda tau perasaan kamu” kata bunda sendu.

Kafita menghela nafas pelan,“nggak papa bun, semua ini memang udah takdirnya, bunda tenang aja ya aku nggak papa kok selama masih bisa melihat Arlan tersenyum itu udah cukup, walaupun aku nggak sedang disamping dia tapi aku akan selalu menunggu hingga dia mengingat ku,” ucap Kafita mencoba memberikan penjelasan pada bunda supaya tidak merasa bersalah.

mereka melihat keara Arlan yang menatap keduanya tajam.

Kafita kaget sejak kapan laki2 itu bangun,

“eh nak kamu udah bangun” kata bunda.

“dia ngapain disini bun?!” ucap Arlan ketus.

“em, tadi aku-”

“dasar lo ya, udah berapa kali gue bilang gue nggak kenal sama lo! gue bukan pacar lo! jadi cewek kecentilan banget sih lo selalu ganggu hidup gue! nggak usah sok peduli sama gue karena gue dan elo nggak ada hubungan apapun! jalang!” ucap Arlan begitu menusuk ke hati Kafita.

sakit itulah yang ia rasakan, orang yang kita cintai merendahkan diri kita.

“oke aku minta maaf, aku pamit dulu bun” Kafita menyalami bunda dan buru2 keluar ruangan, air mata yang sudah ia tahan mati2 an ahirnya keluar juga saat ia baru menutup pintu ruangan Arlan.

berlari menuju ke luar rumah sakit dan menuju ke jalan untuk memeberhentikan Taxsi yang lewat.

tak lama ia menemukan Taxsinya dan segera menaikinya.

“mau kemana mbak?”

“nggak tau pak bapak jalan nin aja dulu mobilnya” ucapnya di sela2 tangis.

“iya, em.. mbak nya nggak papa?” tanya supir taxsi lagi.

“saya nggak papa”

mobil berjalan tak tentu Arah, tapi Kafita juga masih tetap saja menangis.

hatinya terlalu sakit mendengarkan perkataan Arlan barusan.

“ini kita mau kemana ya mbak? soalnya udah muter2 lewat sini berulang kali” kata supir Taxsi.

“yaudah pak berhenti di sini aja”

lalu Kafita segera keluar dan membayar supir Taxsi dengan 3 lembar uang 100 ribu.

“tapi ini kebanyakan mbak” kata supir Taxsi.

“nggak papa pak, maaf tadi harus muter2 nggak tentu”

“yasudah makasih ya mbak”

lalu Taxsi meninggalkan Kafita dipinggir jalan.

Kafita masih berjalan terus menyusuri jalanan yang mulai sepi, kata2 itu selalu terngiang di pikirannya.

berhenti di sebuah jembatan, dibawah jembatan terdapat sungai yang mengalir dengan deras,

entah apa yang sedang ia pikirkan, ingin rasanya untuk lompat dari atas jembatan ini dan terjun bebas ke arah sungai.

“apa gue semurahan itu? hingga Arlan bilang kalau gue jalang? apa salah gue selalu berjuang dan terus menunggunya hingga dia inget gue? apa gue salah selalu perhatiin dia dan selalu sabar dengan semua yang udah dia lakuin ke gue? ” ucapnya begitu menyedihkan.

tak lama suara petir begemuruh menandakan hujan akan segera turun.

Kafita mesih berdiri di pembatas jembatan dan memandang Aliran sungai yang deras.

tak lama hujan turun dengan sangat deras, mungkin langit pun merasakan bagaimana sedihnya Kafita.

keadaannya benar2 kacau, badan basah terkena derasnya hujan, mata sembab, hidung merah, rambut acak-acakan.

tanpa menunggu lebil lama Kafita melangkahkan kaki kananya untuk naik ke atas pembatas sungai.

sepertinya ia sudah tidak bisa hidup lagi, orang yang sudah ia perjuangkan tak menginginkannya lagi.

“Arlan gue minta maaf karena udah buat lo risih dengan adanya gue, buat lo nggak nyaman karena gue, sekarang gue akan pergi dan setelah ini nggak akan ada lagi yang gangguin lo. semoga setelah lo ingget gue lagi nanti lo nggak sedih ya”

menutup mata rapat2 Kafita mulai mencondongkan tubunya ke sungai bersiap melepaskan genggamannya pada pembatas jembatan.

“selamat tinggal”

Sret..

bugh..

Tbc..

hai hai hai, maaf ahir2 ini lama update nya, soalnya lagi sibuk

lebih tepatnya sok sibuk, hehe
semoga kalian suka ya dengan chapter ini,

buat yang penasaran gimana kelanjutannya

selamat berjumpa di chapter selanjutnya.

Arlan Dan KafitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang