LEMBAR 1 ✓

62.7K 5.1K 96
                                    

Sorry for typo and happy reading 📖

Jangan lupa vote dan komen💜

***

Jarum jam dinding yang terlihat lusuh itu mulai bergerak menunjukkan pukul lima sore. Pancaran sinar jingga menyembul masuk lewat celah ventilasi ruangan sempit yang terlihat minim akan pencahayaan.

Seorang bocah lelaki kini terlihat tengah memandangi botol kaca yang berisi ikan kecil disana. "Nimo mau jadi temennya Kanza ga?" tanyanya mencoba berbicara dengan seekor ikan.

Senyuman manis itu terbit. Tak henti menatap kagum seekor ikan bertubuh mungil dengan warna merah yang ia temukan dikursi dekat trotoar jalan raya saat akan berjalan pulang tadi. Botolnya terlihat tergeletak begitu saja seakan dibuang oleh pemiliknya.

Bukankah sekarang nasib mereka terlihat sama? Hidup terlantar ditengah ibukota, dengan beribu ketidakadilan hidup yang dapat dilihat secara jelas, bahkan tepat didepan mata.

Kanza rasa, ia benar-benar membutuhan sebuah mantra yang bisa membuat hidupnya dengan sekejap berubah.

Jika seandainya semua manusia dapat memilih akan terlahir dengan menjalani hidup seperti apa. Ia hanya berharap, akan dilahirkan sebagai orang kaya agar tak akan pernah merasakan pahitnya kehidupan seperti ini.

Namanya ARKANZA ATAYA KALEANDRA. Orang-orang akan memanggilnya dengan Arkan, Kanza, atau hanya dua huruf akhir namanya, Zaza. Bocah yang sebentar lagi akan berumur delapan tahun itu tinggal sendirian disebuah rumah kecil disebuah pemukiman kumuh tepi kota.

Bocah itu memang terlihat begitu lucu sekaligus menggemaskan. Wajahnya yang imut, tapi tak sesuai dengan sifat aslinya.

Di umurnya sekarang, ia sudah harus terpaksa menjalani hidup yang selalu mendoktrin agar bersifat lebih dewasa, lantaran sudah beberapa tahun silam ditinggal sang Bunda.

***

Hufhh...

Helaan nafas lelah itu berulang kali mengudara begitu saja. Kaki Kanza kini melangkah gontai dipinggir trotoar jalanan, sesekali menendang beberapa bebatuan kecil dan dedaunan yang menghalangi jalannya.

Mengangkat kepala kearah atas, matanya sontak saja berbinar-binar tatkala melihat gedung menjulang tinggi yang menggambarkan betapa megahnya ibukota.

Kanza sangat ingin berada disana, ia bermimpi suatu hari nanti menjadi orang kaya, agar terlepas dari kehidupan miskin yang selalu saja direndahkan.

Setelah sadar dari lamunanya anak itu memutuskan untuk duduk di kursi dekat trotoar. Suara bising kendaraan yang berlalu lalang. Hari mulai sore dan menunjukkan pukul lima lebih.

Wajah Kanza nampak sumringah, dapat merasakan indahnya langit senja. Hal yang selalu ia anggap sebagai suasana istimewa.

Bibir itu kembali mengulum senyum, pikirnya tiba-tiba teringat sang Bunda, sosok yang kini benar-benar meninggalkannya. Hatinya berucap, yang tenang di sana ya, Bunda.

Sebelum senyumannya kian memudar ketika melihat kearah samping. Ada anak kecil seumuran dengannya kini tersenyum girang makan es krim ditemani oleh kedua orang tuanya.

Canda dan tawa itu seakan sukses mencabik hatinya. Entah kenapa Kanza benci anak-anak lain yang terlahir beruntung hingga dapat merasakan kasih sayang keluarga yang utuh.

Kanza benci, bahkan lebih dari kata itu. Ketidakmampuannya menimbulkan rasa iri, terlebih ketika menyadari sebuah pertanyaan, sebegitu menyedihkannya hidupnya saat ini?

Matanya mulai memanas, "Bun, sebenarnya Kanza masih butuh, Bunda," gumamnya lirih, menghapus kasar air matanya yang tiba-tiba jatuh, seolah ingin menghentikannya segera.

Orang dewasa harus kuat bukan?

Meski bagaimanapun ia hanyalah seorang anak kecil yang merindukan hadirnya orang-orang yang senantiasa memberikannya kasih sayang.

Dada Kanza terasa sesak menahan sesuatu yang tengah bergejolak. Memaksa tungkai kakinya agar segera mungkin berjalan menjauh dari tempat itu.

"Terkadang takdir itu kejam ya, Bunda?"

Wanita cantik yang dipanggilnya Bunda itu spontan menoleh dan tersenyum lembut, "Dulu Bunda pikir juga begitu." Di akhir kata ia malah terkekeh pelan sebelum menangkup kedua pipi berisi milik sang anak yang masih setia menunggu jawaban.

"Tapi kenyataannya hidup itu juga adil, sayang. Intinya jangan pernah takut dan coba taklukan. Karena semua rencana terbaik tentang takdir itu sudah diatur oleh Tuhan."

Semua hanya butuh waktu.

Bocah itu meremat ujung bajunya, menahan isak tangis kecil yang mulai lolos dari bibirnya. Suaranya bahkan mulai terdengar serak.

"Terima kasih karena dulu pernah bersama melalui hari hari berat dan menggandeng Kanza menuju petualangan yang hebat, Bunda."

Karena yang sedari dulu Kanza tau hanyalah seorang Bunda, dan sosok itu juga sudah meninggalkannya diwaktu yang kurang tepat.

Ia bahkan sedikitpun tak mengenal seorang Ayah yang hadir kedalam kehidupannya. Bahkan diusia saat ini, seharusnya dirinya masih membutuhkan bimbingan dari kedua orang tuanya.

Kanza hanya ingin kasih sayang keluarga dan berjanji akan menjalani hidup hanya dengan kata bahagia. Namun ternyata inilah hidup, mau tak mau ia harus kembali terdiam, menerima.

***

Sorang pria terlihat tengah meraba sebuah pigura foto berukuran kecil diatas nakas kamarnya, ia lihat sekilas tanpa sadar wajahnya tampannya mengukir sebuah senyuman.

"Apa kabar Na? Kita masih sama-sama bernafas dan dinaungi oleh langit yang sama 'kan? Saya harap juga begitu." Pria itu memang tersenyum, namun terasa hambar.

"Bagaimana kabar anak kita? Saya yakin, kamu berhasil. Pergi dengan membawa luka, dan meninggalkan sebuah kecewa."

Selang beberapa waktu, pria ini kembali menaruh pigura itu ke tempatnya. Dan memilih berbaring di atas rajang, menatap langit-langit kamar yang minim akan pencahayaan.

Sesaat senyap.

Hanya denting jarum jam yang terdengar.

Mencoba memejamkan mata, pikirannya seakan-akan kembali terlempar pada kejadian di masa lalu yang menjadi akar semua ini bermula. Sebuah kesalahpahaman, serta dua pilihan yang tak bisa ia putuskan dengan mudah.

Selama ini ia hidup dengan berjuta kehampaan, didalam tidurnya mimpi indah tak pernah ia dapatkan. Hatinya terasa kosong, seolah isinya sudah lama dibawa lari oleh seseorang.

________________

Arkanza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang