LEMBAR 12 ✓

38.4K 3.6K 89
                                    

"PAGIII!!" Senyuman semanis gulali menyambut awalan pagi cerah seluruh anggota keluarga Wicaksana.

"Jangan teriak teriak, dek! Entar tenggorokannya serak." Tegur sang dokter muda, Refano, yang sudah duluan hadir di meja makan.

"Gapapa biar Kanza pintar nyanyi. Katanya suara serak-serak basah itu sedap," balasnya.

"Lo pikir apaan dah bocah!"

Kanza terbelalak saat Bisma, yang sekarang berjalan melewatinya, menyahut sambil menahan senyum, meskipun nyaris tak terlihat.

Tapi ini merupakan fenomena cukup langka menurut Kanza. Wah, benar-benar sebuah keajaiban dunia. Bagaimana bisa si triplek itu tersenyum?

"Aziel mau kemana? Ga sarapan dulu, sayang?" tanya Ratih yang sedang menyiapkan sarapan. Melihat putra bungsunya hanya melengos berjalan melewati meja makan.

Bocah yang juga kerap dipanggil El itu menghentikan langkah, berganti melirik sinis sekilas ke arah Kanza sebelum berucap, "Hari ini El harus datang lebih awal, Mah."

"Tapi kan bisa sarapan dulu," balas Ratih, pelan.

"Kenapa gak sekalian sama kita aja?" Sahut Arya.

Bola mata Aziel memutar malas. "Ga perlu!" Ketusnya sebelum kembali melangkah pergi.

"Kenapa tuh bocah?" gumam Fano heran. Biasanya ia akan sangat nempel sekali dengan sang Paman.

"Anak itu sepertinya memang harus diospek ulang." Geram Jefi melihat tingkah putranya yang seakan merusak suasana pagi ini. Seperti ia akan meminta Bisma agar mengurus Aziel setidaknya membuatnya sedikit kapok.

Jefi menatap kearah Arya sebelum berucap, "Sepertinya selama ini kau terlalu memanjakannya, Ken. Tapi sekarang kau tak perlu mengurusnya lagi, karena kau juga punya kewajiban lain."

Mendengarnya Arya hanya menganggukkan kepala samar, sebelum tersenyum miring. "Iya, Bang."

***

"Senyum terus dari tadi kenapa?"

"Bunda bilang, senyum itu sedekah," balas Kanza, semakin melebarkan senyuman manisnya saat sang Ayah merapikan dasi dan seragam yang ia kenakan.

Tak bisa lagi diukur betapa bahagianya seorang Kanza, karena untuk pertama kalinya bisa diantar oleh sang Ayah ke sekolah.

Anak itu ingin sekali besar kepala, memamerkan kepada siswa lain, bahwa ternyata ia punya seorang Ayah. Masih muda, tampan lagi, meskipun lebih tampan dirinya. Sudah pasti.

Bahagia.

Rasanya ia ingin sekalian meneriakkan hal itu pada dunia, yang selama ini hanya memandangnya rendah.

Berbeda jauh dengan Arya, pria itu malah menjadi takut, curiga jika putranya kesambet pohon mangga dihalaman belakang mansion. Karena tak henti memamerkan senyuman lebar, dengan mata bulat yang nyaris tak berkedip.

Arya menyeka sisa-sisa susu yang masih tertinggal di sudut bibir milik pemuda kecil itu. "Jangan nakal!" pesannya kemudian, sambil kini sedikit merendahkan badan.

"Hu'um."

"Pintar!" Arya mengacak surainya gemas.

"Tapi gak janji. Yeeee!!!" sambung Kanza.

Dasar!

"Dengar Ayah, kalau ada yang nakal---"

"TONJOK AJA MUKANYA!" Sela Kanza dengan semangat 55. Tangan yang dibuatnya terkepal ke arah atas, dan bersuara dengan lantang.

"Eh, ga boleh!" Tegur Arya kemudian.

Bibir Kanza seketika mengerucut. "Terus Kanza diam aja gitu? Nangis, dikasih backsound. Ku menangis~"

Arya terkekeh gemas, melihat anaknya itu begitu berbakat mendramatisir keadaan. "Ingat pokoknya gak boleh main kekerasan, okay?"

"Terus bolehnya main tonjok-tonjokkan?" tanya Kanza dengan muka polos minta ditampol.

Arya menghembuskan nafas gusar, sebelum beristighfar, meminta agar lebih dikuatkan. Berhadapan dengan Kanza memang harus selalu memiliki kesabaran ekstra kulit manggis.

Tepuk jidat berjamaah!

***

"Ingat, kalian berdua itu sekarang saudara. Kanza harus bersikap baik sama Abang nya ya? Begitu juga Abang Ziel, okay?"

Kanza yang berjalan di teras sekolah tersenyum mengingat ucapan David tadi. Melihat Aziel yang saat ini tengah berdiri di depan ruang kelasnya dengan kedua temannya.

Anak ini mulai mencoba menerima apa yang terjadi didalam kehidupannya, dia akan berjanji selalu bahagia. Begitu juga dengan Aziel, yang sekarang notabenenya adalah kakak sepupunya.

"Abang!"

Kanza tersenyum setelah menggunakan panggilan itu. Membuat Aziel dan kedua orang yang berdiri di sampingnya menatap ke arahnya, mereka sama-sama menampakkan raut heran.

Namun sangat kontras sekali dengan sorot mata yang Aziel layangkan ke arahnya, tercetak jelas raut tak suka. Bahkan tatapan Aziel mengatakan kalau ia benci terhadapnya.

"Abang?" Ulang salah satu siswa disebelah Aziel.

"Serius, El? Bocah bar-bar ini adek kamu?" Tawa meremehkan dari kedua siswa yang merupakan teman mengobrol Aziel tadi pecah. Membuat bocah itu semakin menatap adik sepupunya tak suka.

***

Suasana di kantin terlihat ramai oleh para siswa karena ini memang jam istirahat sekolah.

Dengan membawa bekal yang disiapkan Ratih dari rumah, Aziel berjalan menuju salah satu meja yang kosong untuk duduk.

Tak sengaja melihat sang adik sepupu yang saat ini juga memegang bekal yang hampir sama dengan miliknya, kini juga kebingungan memilih tempat duduk.

Arkanza, bocah itu memang dikenal sebagai siswa yang suka sekali mencari keributan dan masalah, itu alasannya tak ada satu pun yang ingin berteman dengannya.

Aziel juga baru tahu, jika Kanza banyak menyendiri saat di sekolah. Dan suka berbuat onar karena ingin mencari perhatian. Apakah Pamannya juga mengetahui itu?

"Oiii, anak manja!!!"

Aziel menghentikan langkah, spontan memutar badan saat beberapa siswa yang lebih terkenal berandalan, langganan mencari masalah, dan sering tak naik kelas itu mendekatinya.

Brak!

Bekal yang sedari tadi berada ditangan Aziel kini berhamburan dilantai kantin saat salah satu dari anak itu dengan sengaja menjatuhkannya.

"Sialan!" Umpat Aziel, sebelum menatap dingin kearah siswa itu.

Suasana di kantin seketika menjadi hening, seluruh pasang mata mulai tertuju kearah meraka.

"Katanya kamu anak orang kaya, minjem duit dong!" Salah satu dari mereka menadahkan tangan.

Mendengarnya Aziel memalingkan muka. "Dipikir sekolah tempat minta-minta dan ngutang duit kali ya?" celetuk Aziel, mengundang gelak tawa beberapa siswa.

Kanza yang memang sedari tadi ada di kantin ikut menyaksikan kejadian itu tiba-tiba mendekat, membuat Aziel melirik kearahnya malas.

"Mau apa kalian?" tanyanya.

Beberapa siswa itu tertawa remeh melihatnya, sebelum satu dari mereka merendahkan badan. "Kita gak punya urusan sama kamu, anak TK!!"

Siswa itu mendorong beberapa kali kepala Kanza menggunakan telunjuknya. Membuat anak itu kemudian memanfaatkan keadaan, dengan mengigit tanpa ampun lengannya.

"Aaarrghhhh .... bocah sialan!!"

Bruk!

"AAAKHHHH..."

Secara bersamaan, orang itu malah mendorong Kanza dengan kasar hingga tubuh mungilnya terjatuh ke belakang dan kepalanya terbentur keras pada meja kantin.

___________________

Arkanza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang