LEMBAR 19 ✓

28.8K 2.8K 126
                                    

"Om Haris itu beneran baik banget sama Kanza dan Bunda. Ayah tau ga?"

"Ga!" Arya acuh.

Bibir Kanza cemberut. "Ihh, belum juga mulai cerita!" Anak itu akhirnya menyentak dengan kesal.

"Ya ya! Teruskan saja."

Arya yang sedari tadi lebih banyak memilih diam, menyimak anak itu yang kembali bercerita, entah kapan akan selesainya. Merespon dengan berdeham malas, beberapa kali bahkan menguap karena tiba-tiba saja mengantuk.

"Setiap datang ke sekolah, dia itu selalu ngaku jadi Ayahnya Kanza. Terus setiap main ke rumah dia selalu bawa cokelat dan--"

"Itu hasilnya gigi kamu sekarang jadi kayak gitu? Iya???" Arya sinis. Jujur, entah kenapa ia semakin tak menyukai orang yang bernama Haris itu.

Kanza berdesis sebal. "Bukan. Tapi, dia itu---" Ucapannya lagi-lagi harus kembali terpotong.

"Sudah! Berhenti mengoceh, Kanza! Tidur!!" Titah Arya, membuat sang putra langsung memanyunkan bibirnya, tak suka.

"Ishhh..."

"Ayah itu ga suka kamu deket-deket lagi sama orang yang namanya Haris atau apalah itu," cetus Arya kemudian, secara terang-terangan.

"Kenapa?" tanya Kanza.

"Kamu yakin kalau dia itu beneran pria baik-baik?" Arya malah nanya balik.

Kanza mengangguk pasti. "Ayah ga suka kenapa? Dulu sebelum ada Ayah, Om Haris udah jadi kayak Ayahnya Kanza sendiri."

"Itu alasannya Ayah gak suka! Ingat sekarang kamu udah punya Ayah dan gak perlu lagi ada orang asing!" Tegas Arya.

"Om Haris bukan orang asing." Koreksi Kanza, ketus. "Emangnya Ayah kenapa?" Anak ini kembali memperhatikan lekat-lekat wajah masam sang Ayah.

"Ayah cemburu?" tanyanya dengan polosnya. Arya hanya berdecak sebagai balasannya. Masih nanya lagi!

"Ayah ga boleh kayak gitu tau." Nah kan, Kanza akhirnya mulai berceloteh setiap teringat ucapan sang Bunda. "Kita gak boleh nilai orang lain hanya dalam sekali lihat dan tanpa tau gimana sifat asli orang tersebut. Itu sama sekali gak boleh!" Di akhir kata ia menggelengkan kepala miris, seraya memainkan telunjuk tanda melarang.

Sedangkan pria itu hanya menarik nafas gusar, melihat cara sang putra yang tengah menasihatinya, selalu mengingatkannya akan mendiang sang istri, Diana. Arya seakan melihat dua orang secara bersamaan dalam satu tubuh.

Dan setiap dulu Diana mulai mengoceh dirinya langsung angkat tangan saja, menyerah. Sama seperti saat ini, Arya lebih baik memilih tidur, meninggalkan Kanza yang masih saja berceloteh tak jelas.

"Ayah ga boleh kayak gitu lagi ya, dosa tau." Tak ada balasan lain, Kanza di anggurin.

"Ayah?"

Kanza mengalihkan pandangan melihat sang Ayah sang sudah duluan pergi ke alam mimpi. Anak ini menggaruk tekuknya yang tak gatal. "Bunda kenapa harus nikahnya sama orang kayak Ayah sih? Susah diatur, juga su'udzon terus kerjaannya."

Kanza mencibir, "Mana tidurnya kek kebo lagi, kadang juga kayak mau ngajak baku hantam."

Sepertinya Kanza sendiri tak menyadari, berapa brutalnya dirinya saat tidur bahkan Arya saja tak pernah absen entah itu kena pukulan atau tendangan bebas darinya.

Rupanya Ayah dan anak sama saja.

***

"Pagi pagi udah cemberut aja, Den?" tanya Rasmi melihat anak majikannya yang biasanya ceria kini nampak murung.

Arkanza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang