LEMBAR 30 ✓

25.3K 1.9K 17
                                    

Berdiri tepat didepan gerbang sekolah saat matahari bak tengah bersinar tepat di atas ubun-ubun kepala. Kanza terlihat menggigit kuat-kuat bibir bawahnya, kedua pipinya semakin memerah, dengan mata yang berkaca-kaca.

Tak terasa kini sudah berada di penghujung semester genap. Itu artinya, saat ini ia telah dinyatakan naik kelas, satu tingkat lebih tinggi dari sebelumnya.

"Hiks..." Ujung-ujung ini Kanza memang mengakui jika ia menjadi anak yang lebih cengeng.

Satu kata. Langka!

Apa yang akan kalian rasakan jika mendapatkan peringkat pertama? Jelas saja akan merasakan puas sekaligus bangga.

"Hey, kenapa menangis?"

Ibu teman sebangkunya--Rafi, yang kebetulan lewat kini merendahkan badan melihat Kanza yang mulai menangis.

Bibir mungil itu mencebik kebawah, sesekali sesugukan, memang terlihat sangat imut.

Wanita itu mengelus punggung sempitnya pelan. "Kenapa hm? Cowok kok nangis, cemen dong?"

"Dia nangis karena dapat rangking satu, Bun. Katanya satu itu kan kecil." Suara Rafi membuat sang Ibunda menatap kearahnya sekilas, sebelum menahan tawa.

Melihat betapa menggemaskannya pemuda kecil dihadapan mereka sekarang. Tangannya bahkan sangat tergiur ingin mencubit pipi putih itu dengan gemas.

"Ya, kalo lo ga mau, tukeran sama gua aja, yok! Punya gua ranking tiga puluh, besar nih." Rafi dengan bangga memamerkan nilai rapornya yang hampir didominasi oleh nilai merah.

Kanza bahkan sampai tak bisa berkedip. Seperti yang dikatakannya waktu itu merah itu kan tanda berani, berarti hebat. Dari luar saja baginya Rafi juga sudah tampak hebat. Jadi benar?

Rafi memutar bola mata melihat kelakuan bocah itu, yang benar saja langsung terlihat tergiur akan tawarannya. Entah memang polos atau goblok, mungkin beda-beda tipis.

Sampai seseorang pria menghampiri mereka dengan membawa susu kotak dan memakaikan Kanza sebuah topi berlogo tactical di depannya.

"Gak usah gemes-gemes, entar Ayah gigit!" Orang yang tak lain adalah Arya berlutut dihadapan putranya, sebelum mencubit pelan pipinya, gemas.

Kanza kembali mendapatkan nilai tertinggi seangkatannya. Akan tetapi entah apa yang terjadi, bocah itu malah menangis, dan Arya bahkan sampai ketar ketir dibuatnya. Karena tangisnya semakin menjadi-jadi, dan tak bisa dihentikan. Untung susu kotak rasa cokelat ini bisa menjadi penawarnya.

"Ga usah cium-cium!"

Sibuk meminum susu kotak, anak itu mengelap kasar sebelah pipinya yang menjadi bekas ciuman sang Ayah. Dan sedikit menjauh darinya. Galak.

Bagaimana tidak ingin dicium? Pipi tembam itu bergerak seirama dengan susu yang ia minum.

"Habisnya mirip kayak bayi."

Kanza mendelik horor, melihat Ayahnya itu tampak semakin bergairah ingin meledeknya.

Arya terkekeh gemas, menggendong tubuh sang anak. Sebelum matanya secara tak sengaja menatap ke arah samping, baru saja menyadari keberadaan Rafi yang masih berdiri dengan seorang wanita yang diketahui Ibunya.

Wanita itu tersenyum tipis. "Kelihatannya dunia memang sesempit itu ya. Ternyata Arkanza putramu?"

Deg!

"Krista?"

Wanita itu terkekeh pelan hingga memamerkan salah satu gigi gingsulnya. Berbeda dengan Arya yang malah salah fokus pada sosok bocah lelaki yang berdiri tepat disampingnya.

Arkanza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang