Perlu ditanda dikutip jika seorang Arkanza itu sebenarnya 'nakal'. Dia terkadang bertingkah tak seperti anak seusianya.
Apa gunanya pendisiplinan tanpa murid nakal disekolah? Peraturan itu dibuat untuk dilanggar dan bukannya tak akan afdal tanpa adanya seorang pelanggar?
Jika sekolah adalah tempat belajar dan bukannya tempat menguji perbedaan kadar kecerdasan. Mengapa terkadang murid bodoh dan pintar selalu dibeda-bedakan?
"ARKAAAN!!!!"
Anak itu masih saja melangkahkan kakinya, seolah menulikan telinga saat teriakan itu bahkan menggema di indera pendengarannya. Dia tentu hapal betul dengan suara itu.
"ARKANZA! BERHENTI KAMU!!"
Untuk kedua kalinya barulah dirinya mau berhenti.
Kanza yang baru saja akan memasuki kelas menghela nafas berat, dengan malas akhirnya membalikkan badan, melihat guru yang terkenal super duper galak itu berjalan menghampirinya.
Satu langkah.
Dua langkah.
Guru itu kini benar-benar berdiri tepat di hadapannya.
Kanza nyengir kikuk, "Ada apa ya, Bu?" Basa-basinya pelan, takut jika sang guru salah paham lagi seperti biasanya.
"Kau udah salah mana pake nanya lagi!" Guru berwajah sinis ini berujar ketus.
Astaga! Awalan yang bagus untuk penyambut pagi yang cerah ini. Kanza dihadiahi oleh ujian yang melatih kesabaran, lewat guru cantik berwajah bening di hadapannya sekarang.
"Kan emang ga tau, Bu," jawabnya apa adanya, seraya menggaruk pipi yang tak gatal.
"Oh ... jadi udah berani ngelawan kau?!"
Bocah itu spontan saja mengelus dada, ia bertanya malah dikira ngelawan. Bukankah keadaannya kini benar-benar tak diuntungkan? Mengapa wanita selalu saja memposisikan laki-laki menjadi serba salah?
Oh hayolah. Siapapun tolong katakan sebenarnya apa kesalahan terbesar Kanza selama ini, hingga selalu saja dirinya yang menjadi mangsa yang diterkam?
Kanza nakal? Memang, iya!
Tapi kenapa bukan guru lain saja yang berhadapan dengan dirinya, jujur Kanza sendiri sudah merasa ... bosan.
"Ikut Ibu sekarang!" Perintahnya membuat Kanza mau tak mau menurut. Kakinya melangkah sebuah ruang yang tak pernah absen ia masuk.
Iya, ruang bimbingan konseling.
***
Anak itu hanya berdiri malas, sejak tadi wajahnya tertekuk mendengar celotehan tak henti kepala sekolah yang tiba-tiba ikut campur dan membuat telinganya sangat gatal sekali rasanya.
Mulut Kanza bahkan menguap beberapa kali, matanya memberat, suara itu seakan seperti mantra sihir.
Sudah hapal! Ujung-ujungnya nanti pasti dirinya lagi yang akan disalahkan dan dihukum, jadi untuk apa basa-basi lagi.
To the point saja bisa ga sih?!
"Kamu dengar saya tidak?!"
Kanza tersentak, "D-denger, Pak."
Sang Kepsek geleng-geleng, "Jadi, apa alasan kamu mukul Tuan muda Ziel?" tanyanya kemudian.
Dengan enggan, Kanza melihat bocah konglomerat yang saat ini duduk di sofa empuk yang tepat menghadap ke arahnya, sebelum angkat suara. "Ya, salah dia sendiri mau dipukul, kalau Kanza mah ogah," balasnya merasa tak ingin ambil pusing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkanza (End)
Teen Fiction[HALAL AREA] BUKAN lapak bl atau b×b👊 ⚠️Revisi Lanjutan Hanya tentang Arkanza, bocah laki-laki yang hidup sebatang kara, dengan segala tingkah ajaib yang tak perlu lagi ditanya. Lalu, bagaimana jika ada yang datang dan mengaku sebagai keluarganya...