"Kanza ga mau makan sebelum ada Ayah!"
Jawaban kekeh dari bocah keras kepala, membuat sang Opa yang sedari tadi menemaninya berada di ruangan rawat ini berulang kali menghela nafas, merasa pusing tujuh keliling.
Sudah berapa lama David meyakinkan bahwa ayahnya baik-baik saja. Anak itu masih saja memikirkan hal-hal buruk tentang mimpi yang dialaminya, membuat keadaannya malah semakin menurun. Kurangnya asupan energi dan beban pikiran menjadikan faktor utamanya.
Kanza akhirnya kembali berbaring, sengaja memunggungi pria paruh baya itu dan menenggelamkan diri dibalik selimut putih khas rumah sakit.
Tangisnya perlahan kembali terdengar, amat lirih. "Hiks .... ini semua salah Opa!!!"
"Kok Opa?" David jadi heran.
"Iya, karena Opa yang buat Ayah ngambek terus kabur dari rumah, sampai sekarang ga tau kemana!" Cetus Kanza, mengira jika Ayahnya begitu kekanak-kanakan hingga pakai acara ngambekan segala.
Kayak anak perawan aja, pikir David.
"Iya iya, maaf," balasnya kemudian.
"Hiks ... kenapa minta maafnya sama Kanza?!"
"Lah, salah lagi?" David merasa posisinya sekarang serba salah. "Terus minta maafnya ke siapa dong?"
"Ihhh ... bodo amat, ah! Pikir aja sendiri! Opa malah buat kepala Kanza tambah sakit aja!" Ketus anak itu kemudian, bahkan sebelah kakinya sampai ia entakkan, saking kesalnya.
Jefi yang hanya duduk santai di sofa, hampir tersedak kopi mendengar obrolan sang keponakan dan David yang sedari tadi mati-matian mencoba membujuknya. Berusaha menahan tawanya agar tak pecah.
Sebenarnya Jefi merasa sedikit kasihan, karena bocah itu terus-menerus menuduh pria paruh baya itu sebagai alasan mengapa adiknya belum pulang sampai sekarang.
"Hiks..." Isakan kecil itu terdengar begitu memecah keheningan. Katakan jika akhir-akhir Kanza memang sangat cengeng dan semakin sensitif.
"Jangan gini entar sesak, sayang!" ucap David.
"Biarin!" Kanza, ketus.
"Hei?"
"Ga denger tuh!!"
David mengusap wajah kasar, hari masih pagi buta akan tetapi bocah ini sudah sukses membuatnya merasa frustasi saja.
Merasa angkat tangan. Akhirnya David melayangkan tatapan memelas kearah Jefi, yang awalnya belum ngeh, akhirnya langsung menyadari, jika sang Daddy ingin dirinya lah yang turun tangan.
"Arkanza, hei! Sini, denger Papah!"
Jefi bangkit dan menghampiri sang keponakan, dengan berucap lembut. Meminta agar bocah itu mau bernegosiasi dengannya dan membuka selimut tebal yang menenggelamkan tubuh.
Selimut itu dibuka.
Tampak wajah pucat yang basah, dengan sepasang mata sayu yang sembab, serta pipinya memerah. Anak itu terlihat sesugukan.
Jefi menangkup wajah kecil itu, sebelum kembali bersuara, "It's okay, baby. Ga usah takut, semua itu cuma pikiran buruk kamu aja. Ayah kamu itu superhero, bentar lagi juga bakalan pulang, percaya sama Papa kan?"
Dengan ragu bocah itu akhirnya mengangguk. Membuat Jefi menahan senyum dan langsung membawa tubuh mungil itu kedalam pelukannya. Ia usap pelan punggung sempit itu agar bisa tenang.
"Anak manis." Pujinya.
Wajah Kanza boleh saja lebih turunan dari Diana. Akan tetapi perkara sifat, ia lebih banyak mewarisi dari sang Ayah. Sama-sama punya sifat keras kepala stadium tiga dan sangat sulit diatur membuat mereka ingin langsung menyerah saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkanza (End)
Teen Fiction[HALAL AREA] BUKAN lapak bl atau b×b👊 ⚠️Revisi Lanjutan Hanya tentang Arkanza, bocah laki-laki yang hidup sebatang kara, dengan segala tingkah ajaib yang tak perlu lagi ditanya. Lalu, bagaimana jika ada yang datang dan mengaku sebagai keluarganya...