LEMBAR 23 ✓

15.8K 1.6K 2
                                    

Mobil sport mewah dengan harga selangit yang dikendarai oleh Fano, terlihat bersinar bak menyilaukan mata siapapun yang menatapnya. Setelah cukup berkeliling, kini mobil itu berhenti di sebuah kafe tepi jalan raya.

Sang pemilik keluar, bersamaan dengan Kanza yang bergandengan tangan dengannya. Tak sedikit orang melirik mereka, terlebih kaum hawa yang langsung terpana melihat penampilan Fano, dilengkapi dengan kacamata hitam miliknya, membuat damage dokter muda itu semakin bertambah.

Akan tetapi berbeda dengan Kanza yang hanya menatapnya malas, mau seperti apa pun, pandangannya untuk orang seperti Fano sangatlah rendah. Terlebih ia juga sudah mengetahui bagaimana sifat aslinya.

Sok keren.

Sejak awal, Kanza hanya ingin diajak jalan-jalan untuk menghilangkan stres dan beban kepala. Tapi kepalanya malah dibuat tambah pusing, mendengar suara cempreng Fano yang bernyanyi selama di mobil tadi, perutnya seketika mual, ingin muntah.

Fano melepaskan gandengan tangan mereka. "Tunggu sebentar ya, calon Kakak iparmu telepon," ucapnya nyengir, dengan begitu pede.

Kanza hanya berdecak kesal, menatap Fano yang mulai sedikit memberikan jarak dari posisinya berdiri.

Tunggu, bukannya pemuda itu belum diizinkan menjalin hubungan oleh sang Papa hingga lulus program spesialisnya?

Lalu sejak kapan...

Ah, entahlah, Kanza sama sekali tak peduli akan hal itu.

Pandangannya teralih secara tak sengaja, dan sesaat terkunci menatap dua orang berbeda gender yang duduk di kursi dalam kafe, hanya dibatasi oleh kaca menghadap ke arah jalan raya.

Seperti tak asing, pikirnya.

"Mirip Ayah," cetus Kanza, saat menatap pria itu secara sekilas. Ia kemudian kembali melihat kearah Fano yang cengar-cengir, sejenak lupa daratan karena terlalu asyik bertelepon.

Anak itu berdecak sebal.

Dasar! Kalau orang sudah dilanda kasmaran, mendengar suaranya saja memang sudah mampu membuat senang.

Apalagi jika jiwa bucin yang kelewatan seperti Fano. Tak tahu saja saat ditanya 'udah makan?' dikira peduli, padahal ternyata hanya basa-basi.

Pemuda itu terlalu mudah menyimpulkan definisi cinta, padahal dulu ayahnya bilang, tidak ada hubungan paling serius selain dijalin setelah menikah. Lelaki sejati tidak lagi sebatas mengatakan 'aku menyukaimu', melainkan kesediaan saat menjabat tangan penghulu.

Kanza geleng-geleng miris.

Bisa ia tebak, jika Kakak sepupunya itu pasti akan segera dicampakkan juga, sama seperti sebelum-sebelumnya. Apakah masih tak kapok setelah selalu dipatahkan hati berkali-kali?

Anak itu mencoba mengalihkan pandangan kearah lain.

Mengenai sang Ayah, yang akhir-akhir ini menjadi lebih sibuk dari biasanya. Jujur Kanza menjadi rindu kepada pria itu, dirinya ingin segera minta maaf dan merasa bersalah atas perdebatan mereka kemarin malam. Apakah sang ayah masih marah kepadanya? Bisa jadi karena itulah ia memilih tak pulang untuk menemuinya?

Kanza mencoba untuk melihat lebih jelas dua orang yang kembali menjadi objek penglihatannya itu.

Dua orang itu kini bahkan berganti berpelukan. Semakin penasaran, mata Kanza memicing mencoba meyakinkan, sampai...

Deg!

Jantungnya seketika berdetak kencang, tak karuan. Mata Kanza membola, ia rupanya sedang tidak salah menerka.

Kanza juga ingin berharap demikian, mencoba menepiskan apa yang ia lihat barusan. Akan tetapi, semakin dikenali orang itu ternyata benar-benar Ayahnya.

Topi komando hitam yang ia pakai.

Serta luaran kemeja kotak-kotak dibiarkan terbuka, yang sering sekali Kanza lihat.

Air matanya tiba-tiba saja tumpah tanpa diminta. Berjuta pikiran buruk mulai membayangi otak kecilnya.

Siapa wanita itu?

Apakah dia merupakan orang yang sama dengan wanita yang ditemuinya dalam foto waktu itu?

Ada hubungan apa sebenarnya dia dengan sang Ayah?

Jangan bilang kalau itulah yang menjadi alasan sang Bunda memilih pergi?

Ayahnya berkhianat?

NO!!!!!

Kanza dengan cepat menggelengkan kepala ribut. Pelupuk matanya sudah berat, menampung air mata.

Kanza tersentak saat Fano kembali menggenggam tangannya, ia bahkan tak tahu jika air matanya telah deras membasahi wajah.

Fano yang juga baru saja menyadarinya seketika menatap cemas, ia kemudian berlutut. "Adek gemoy, kenapa?"

"Pulang!" Titah Kanza cepat.

"Hah?" Fano masih mencerna.

"Kanza mau pulang!!"

"Tapi katanya mau ma--"

"KANZA BILANG MAU PULANG!!!" Bentak anak itu kemudian.

Alis Fano mengernyit, masih belum paham apa yang terjadi, terlebih Kanza yang mulai menangis. "Dek!" Ditangkupnya kedua pipi tembam yang kini memerah.

Fano kemudian membeku ketika anak itu memeluk tubuhnya tanpa aba-aba, sambil berucap lirih, "Hiks... Hiks... Kanza mau pulang aja, Kak Ano. Kanza sakittt!!!"

***

Bocah itu berlari begitu saja saat baru memasuki pintu mansion, menghiraukan teriakan beberapa maid yang mencoba menghentikannya.

Tak terkecuali Fano yang sedari tadi belum paham. Apa yang terjadi pada adiknya itu?

Fano hanya mengangkat bahu, kerena memang tak tahu, saat beberapa anggota keluarga melayangkan tatapan maut, dan bertanya kepadanya.

"Hei? Kanza sayang, kenapa?" David menyentuh pipi basah itu, saat Kanza hampir saja terjatuh didepan matanya.

"Kanza kenapa hm? Bilang sama Opa."

Anak itu diam tak menjawab, lidahnya kelu ingin membuka suara, ia sama sekali tak menyangka dengan apa yang ia saksikan dengan matanya barusan.

Sebelum isakan kembali lolos dari bibirnya. "Hiks ... Hiks, A-ayah."

Alis David mengernyit, disusul oleh Laksa dan Jefi, kedua saudara itu juga ikut heran melihat keadaan keponakan mereka.

"Hiks ... Ayah, Opa." Kanza kembali terisak, sebelum dengan cepat didekap oleh David, untuk ditenangkan.

"Katakan sama Opa, Ayahnya kenapa hm?" tanya David lembut, tangan kapalannya menangkup hati-hati wajah kecil cucu bungsunya.

"A-ayah jahat, Hiks..."

"Hm?"

"Kanza lihat sendiri tadi Ayah pelukan sama wanita lain selain Bunda! Kanza benci Ayah!!! Hiks ... jadi itu alasannya Bunda pergi ninggalin Ayah?!" paparnya.

Deg!

Suasana seketika menjadi hening. Jefi segera berjalan mendekat, sama halnya dengan Laksa.

"Hiks ... dada Kanza sakit, pasti rasanya sama kayak Bunda dulu kan?"

Anak itu semakin menjadi-jadi, memukul dadanya berulang kali saat sesak itu mulai menjalar, menghancurkan hatinya. Kanza bahkan tak tahu jika rasanya akan sesakit ini

"S-sakit Opa, Hiks..."

"Jangan dipukul sayang, nanti dadanya tambah sakit." David menghentikan tangan kecil cucunya yang terus menerus akan memukul dadanya.

"Hiks ... jadi rasanya kayak gini? Hiks ... Hiks ... jangankan Bunda, Kanza aja sakit banget ngelihatnya, Opa." Lirihnya sebelum kembali didekap erat oleh David.

________________

Arkanza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang