LEMBAR 17 ✓

31K 3.3K 87
                                    

"Sshhhhh..."

Semalaman ini Arya menjadi tak bisa tidur karena sang putra terus saja meringis, merengek-rengek karena sakit gigi.

Arya tak henti mengelus pipi Kanza yang membengkak. Astaga, bahkan itu membuatnya terlihat semakin menggemaskan karena pipi tembamnya kini semakin melar.

"Sshhhh .... S-sakit." Rintihan Kanza kembali terdengar.

"Kanza bandel sih."

Arya ingat betul saat anak ini kesetanan menghabiskan semua camilan cokelat dan permen lollipop tanpa jeda dan seakan tidak bisa dihentikan lagi. Alhasil pulangnya harus diseret agar nurut dan berhenti.

Jam menunjukkan pukul setengah lima, sebentar lagi waktu Subuh dan Arya belum sempat memejamkan matanya. Hasilnya lingkaran mata panda terlihat jelas dikedua kantung matanya.

***

Hari ini, Kanza terpaksa absen dari sekolah. Padahal baru kemarin ia masuk sebagai murid baru, namun kini harus izin karena sakit gigi.

Sampai pagi ia masih saja terus meringis sakit, merengek-rengek tanpa henti, membuat Arya semakin pusing hingga akhirnya memutuskan untuk membawa sang anak ke rumah sakit.

"Ahhhkkkk..." Sang dokter memberikan titah agak anak itu membuka mulutnya lebar-lebar, dan mulai memeriksa giginya.

"Udah!" Kanza menutup kembali mulutnya, setelah usai diperiksa. "Di dalam mulut kamu ada monster dan itu yang bikin giginya jadi sakit."

Mata anak itu membola, mendengar penjelasan dari dokter gigi yang kebetulan juga merupakan sahabat sang Ayah.

"Monster?" tanyanya, meyakinkan. Itu sesuatu hal yang sangat speechless menurutnya.

"Iya," jawab sang dokter.

"Keren dong!! Biar Kanza bisa jadi superhero buat lawan monster di mulutnya Kanza! Raghhrrrrr..." ujarnya tiba-tiba semangat, memaikan imajinasi yang luar biasa.

Dokter dengan name tag DAVIAN ini melirik ke arah Arya yang hanya tersenyum miring, sebelum mereka berdua akhirnya terbahak bersama.

Klek!!

"Gosok giginya tolong ditingkatkan lagi ya Kanza, terus makan permen dan cokelatnya dikurangi!" Pesan sang dokter saat mereka keluar dari ruangannya.

"Okay!" jawab Kanza semangat, sebelum mereka berdua tos telapak tangan.

Dokter itu kemudian mengacak gemas rambutnya. "Ada yang manis tapi bukan es cendol atau gula?"

"Kanza!" Pekik anak itu dengan pede-nya, mengundang gelak tawa dari dua pria itu yang kembali pecah.

"Ayah, Kanza kesana ya?" Izin Kanza sebelum berlari menjauh ke arah sebuah akuarium yang kebetulan terpajang di lobi rumah sakit. Ingin nostalgia bersama ikannya lagi sepertinya.

"Hubungan lo sama dia itu udah clear kan, dia udah bener-bener pergi dari kehidupan elo sekarang?" tanya Davi membuka topik pembicaraan.

"Kayaknya sih gitu," balas Arya.

Davi mencibirkan bibir, sebelum berdecak remeh. "Dasar bodoh!"

"Gue emang bodoh. Bahkan gue gak tau kalau dulunya gue sebodoh itu," ucap Arya.

"Emang baru nyadar, Pak? Selama ini ke mana aja." Davi melambaikan tangan di depan sang sahabat, membuat Arya menatap kearahnya.

"Bahkan saking bodohnya lo, Ar. Gue bahkan gak pernah nyangka kalau lo itu bisa lolos tes psikologi masuk tentara." Sambung Davi menggelengkan kepala miris. "Kejiwaan lo kurang soalnya. Lo goblok mah dipelihara."

Terdiam sejenak, netranya berganti mengikuti arah pandangan Arya yang sedang memperhatikan putranya tengah menatap banyaknya ikan diakuarium berukuran sedang itu.

"Rasanya jadi Ayah gimana?"

"Seneng banget Dav, sumpah. Gua ga nyangka, kalau ternyata beneran punya seorang putra," balas Arya.

Walaupun kehadiran Kanza didalam hidupnya begitu tiba-tiba, tapi yang Arya rasakan begitu bahagia. Kini ada sebuah alasan ia ingin pulang ke rumah setelah seharian lelah bekerja. Boneka ternyaman yang bisa dipeluk ketika ia tidur, serta aroma khas bayi. Anak itu seolah barang antik peninggalan mendiang sang istri, sebuah permata yang tak ternilai harganya.

"Sekarang lo harus lakuin yang terbaik buat dia, jangan sampai kesalahan lo itu menghancurkan semuanya untuk kedua kalinya," ujar Davi.

Arya kembali menoleh, dengan mengernyitkan dahi.

"Lo itu terlalu baik, Ar." Lanjutnya, setengah samar.

"Hm?"

Namun secara bersamaan, Davi malah tersenyum tipis, sebelum kembali berucap, "Jangan terlalu dihiraukan, Mayor." Pundak Arya ditepuknya beberapa kali.

***

"Kanza lagi lihat apa?" tanya Arya, setelah menghampiri sang anak yang masih saja menatap takjub ikan-ikan bertubuh mungil di dalam sebuah akuarium berukurang sedang.

"Emm .... ikan Kanza, itu Nimo ya?" cetus bocah itu menunjuk ke salah satu ikan.

"Nimo kan udah gak ada," ucap Arya membuat anak itu spontan saja menampakkan raut sedih.

Perlu diketahui, jika ikan kesayangannya itu mati beberapa hari yang lalu. Saat itu Kanza benar-benar terlupa dan paginya ketika ia ingin memberi pakan ikannya, terlihat ikan mungil itu sudah mengambang tak bernyawa. Kanza jangan ditanya, dirinya nangis kejer saat ikannya dikubur di pekarangan rumah.

"Mungkin itu kembaran terpisahnya Nimo," celetuk Arya, ketika ide itu tiba-tiba terlintas di kepalanya.

Sang putra spontan beralih menatap kearahnya, kali ini dengan binar mata antusias. "Emang iya?"

Arya hanya mangut-mangut saja. Lain halnya dengan sang anak yang malah menghela nafas singkat, sebelum menampilkan wajah sendu.

"Sedih banget tau ga? Jadi mereka terpisah kayak Ayah sama Bunda." Kanza memelankan suara diakhir kata. "Mereka yang seharusnya sama-sama terus, tapi ternyata harus berpisah. Pasti kalau dia tau Nimo udah pergi dia bakalan sedih banget. Kayak Ayah yang nangis diam-diam malam itu..."

"Kanza lihat lho." Imbuhnya setengah berbisik.

Deg!

Sang Ayah spontan menatap ke samping, begitupun dengan Kanza. "Ternyata tentara itu juga bisa nangis ya? Kanza pikir ga boleh," ucap bocah itu dengan wajah polosnya.

Arya tersenyum getir, "Ayah itu juga manusia, nak."

____________________

Arkanza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang