LEMBAR 3 ✓

50K 4.6K 117
                                    

Kanza pun sebenarnya tak menyadari jika dirinya sebandel itu sekolah. Suka sekali dengan yang namanya adu mulut. Terlibat masalah, bahkan lebih tepatnya cari-cari masalah. Baku hantam, kemudian masuk ruang bimbingan konseling sudah langganan.

Seandainya bukan karena fakta bahwa dirinya adalah seorang penerima beasiswa dari yayasan pendidikan dan dijamin secara mutlak untuk terus bersekolah, mungkin sudah lama ia ditendang keluar secara paksa.

Kata Bundanya, ia menjadi seperti sekarang kerena menuruni sifat Ayahnya dulu. Tapi sampai sekarang Kanza masih bertanya-tanya, siapa Ayahnya? Di mana dia sekarang?

Entahlah, Bundanya hanya bilang kalau Ayahnya itu orang baik. Tapi wanita itu selalu saja menangis tiap malam setiap teringat sang Ayah. Jadi apakah itu masih bisa dikatakan baik?

"Dasar orang kaya, kebanyakan songong semua!"

"Emang kenapa kalau dia cucu pemilik sekolah ini?"

"Sekali salah ya tetap salah!"

Anak itu berjalan nyelonong saja, menyusuri koridor kelas dengan bibir yang menggerutu tak jelas. Sesekali terlihat menendang angin karena kesal.

Tak sengaja berpapasan dengan beberapa siswa yang pasti selalu membicarakan keburukannya.

"Dia anak haram."

"Suka maling katanya."

"Wajah doang polos, tapi kelakuan melebihi kucing garong!"

"Apa lihat-lihat? Mau gua bantai!!!" Kanza menunjukkan tinju, membuat mulut beberapa anak itu seketika terdiam dan berhenti membicarakannya.

Karena terlalu sibuk mengurusi kiri kanan, anak ini bahkan lupa untuk melihat kearah depan. Hingga....

"Aduh!!" Di mana-mana ia pasti tak pernah absen menabrak orang. "Ini pantat siapa sih?!" gerutunya. Bocah itu meringis seraya mengelus jidatnya.

"Makanya kalau jalan itu hati-hati."

"Lo tuh ya! Kalau mau berdiri jangan disini dong! Udah tau Kanza mau lewat malah jadi tiang disini." Dia yang nabrak tapi dia juga yang nyolot. Bocah lelaki ini memang selalu ingin memang akan semua hal.

Orang yang tak lain adalah Arya, segera memasukkan ponselnya ke dalam saku karena sedari tadi menelepon. Sebelum tiba-tiba ditabrak oleh manusia setengah kurcaci ini.

Arya merendahkan badan. Anak itu masih saja menggerutu kesal, bibir mungil yang asyik mendumel tak jelas, membuatnya merasa gemas.

Mengapa anak ini sangat cerewet?

Entah mengapa, sekilas dirinya merasa sepasang mata milik Kanza seperti mirip dengan kepunyaannya. "Gapapa tuh jidatnya?"

"Masih nanya lagi. Tanggung jawab woi!" Kanza malah tambah sewot.

"Tanggung jawab kenapa?"

"Jidat gue sakit nih, kalau sampai benjol gimana? Bisa bisa mengurangi kadar ketampanan gue nanti."

Arya hampir terbahak.

Logat ‘lo-gue’, pengucapan kata demi kata yang terdengar kasar oleh anak ini ucapkan, sama sekali tak sesuai dengan wajahnya yang imut dan baby face.

Arkanza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang