LEMBAR 11 ✓

30K 2.7K 15
                                    

Ayah... Ayah... Ayah.

Anak itu terus saja menggumamkan kata itu di dalam hatinya. Dirinya menyukai panggilan itu, tentu saja setelah Bunda.

Klek!

"ASTAGAAA!!!"

Arya yang baru saja memasuki kamar sontak terperanjat, ketika langkahnya disambut oleh senyuman lebar milik sang putra. Dirinya mengelus dada, menetralkan detak jantungnya.

"Kamu kenapa? Perlu panggil ustadz buat rukyah? Ayah jadi takut lho." Hitung hitung antisipasi, melihat senyuman lebar Kanza yang jatuhnya malah terlihat mengerikan.

Kanza memicingkan mata, spontan cemberut. "Jangan ganti baju disini!" Titahnya melihat sang Ayah yang mulai bertelanjang dada.

"Kenapa?"

"Itu!" Tunjuk Kanza jutek, kearah kamera pengawas yang terpasang.

Sebelah alis milik Arya spontan saja terangkat, heran. "Emang dikamar ini kemarin banyak malingnya ya? Sampai dipasang CCTV segala."

"Gak tau, mungkin karena Kanza pensiunan pencopet kali. Takut kalau kamar ini kebobolan." Cetus Kanza.

Mendengarnya Arya terbahak, ada-ada saja. Sebelum berjalan mendekat, duduk disamping Kanza dan mulai mengelus surainya lembut. Seakan masih tak percaya, jika anak ini ternyata benar-benar putra semata wayangnya.

Mata Kanza bahkan sudah terlihat berkaca-kaca saat menatap senyuman yang tercetak diwajah Arya. "Ayah kenapa selama ini ga pernah cari Kanza? Kenapa Bunda pergi ninggalin Ayah?"

Arya memudarkan senyum saat ucapan ucapan itu kembali keluar dari bibir mungilnya. "Ayah, kenapa Bunda suka nangis tiap malam kalau teringat Ayah? Kanza pikir beneran ga punya Ayah, bahkan selalu diejek temen-temen kalau Kanza anak haram."

"Ayah--" Ucapan Kanza kali ini terhenti ketika Arya menempelkan jari telunjuk dibibirnya, menyuruh diam.

"Huusttt...!!!"

Anak ini mengigit ujung bibirnya kuat kuat, matanya tertuju pada pigura foto yang terpajang disana, sebelum kembali menatap sang Ayah.

"Ayah ga sedih saat tau Bunda udah ga ada?" Kanza terisak di akhir kata dan dengan cepat didekap oleh Arya. "Hiks... Bunda udah ninggalin kita, Ayah."

Arya mengelus punggung sempitnya mencoba menenangkan, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum walaupun lidahnya kelu ingin melanjutkan kata.

"Kanza tahu, hm? Apa yang lebih menyakitkan dari kata perpisahan." Arya menjeda ucapannya sejenak, saat dadanya terasa sesak. "Kematian, kehilangan orang yang kita sayang, saat takdir memisahkan selamanya."

Kanza hanya menatapnya dengan wajah sehabis menangis, sesekali mulai terdengar sesugukan.

"Ayah tahu kalau ini semua lebih dari kata terlambat. Selama ini Ayah bahkan tidak pernah mengetahui jika punya seorang putra, siapa dia? Namanya bahkan Ayah ga punya." Arya mengelap pelan pipi Kanza yang basah.

"Kesalahan terbesar Ayah saat itu, berawal ketika Bunda pergi dari rumah, dan Ayah gak bisa berbuat apa-apa. Karena waktu itu .... Ayah juga berada di tempat yang berbeda."

***

"Kamu setia sama wanita aja ga bisa, Mas. Apalagi setia buat jaga kedaulatan negara?"

Arya masih mengingat dengan jelas saat Diana pernah mengatakan itu dengan wajah penuh kecewa, dipertemuan terakhir kali mereka.

Arkanza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang