LEMBAR 29 ✓

17.8K 1.4K 7
                                    

Arya bahkan baru saja mengetahui jika anaknya memiliki riwayat gangguan mental, yang membuat penderitanya sering mengalami kondisi kecemasan tinggi serta ketakutan secara berlebihan.

Hal itu mungkin disebabkan karena pembullyan yang harus ia alami sewaktu masih kecil. Atau tekanan yang mengakibatkan depresi setelah ditinggal sang Bunda pergi, selain juga menyebabkan rasa trauma tersendiri.

Akan tetapi Arya sama sekali tak menyangka jika sang anak sampai sekuat itu hingga mampu bertahan dan kembali bangkit dengan sendiri. Tanpa adanya keluarga dan orang terdekat yang dapat menyemangati.

Diumurnya masih begitu belia, anak itu ternyata benar-benar tangguh. Lebih dari apa yang Arya bayangkan selama ini.

"Bagaimana?"

Tatapan mata Fano menatap begitu sinis saat baru keluar dan disambut oleh sang Paman yang entah sejak kapan pulang.
Menatap Arya dari ujung kaki sampai ujung rambutnya, sebelum memalingkan muka. Pria itu memang sering sekali menghilang dan nongol secara tiba-tiba.

Dan jujur bukan hanya Bisma, Fano juga ikut merasa geram dan ingin sekali menghajar pria itu habis-habisan.

"Cih, hebat sekali. Apakah Paman ingin mencoba mengingatkannya kembali akan trauma masa lalu yang pernah ia alami?" tanyanya.

Fano berdecak kesal, melihat Arya yang hanya diam. "Kalau Fano jadi adek, pasti udah Fano-- Akhhhh!!"

Belum sempat pemuda itu melayangkan pukulan, tangannya lebih dulu diputar kebelakang membuat dokter muda itu merintih kesakitan.

"Cepat katakan bagaimana keadaannya sekarang! Tidak usah bertele-tele!!" Tekan Arya melepaskan kasar tangan itu, membuat sang keponakan hampir saja terdorong, mencium tembok didepan.

Kasar sekali.

"Kalau seperti ini, Paman malah terlihat lebih cocok jadi mafia," gerutu Fano, mencoba memastikan jika tangannya tidak sampai mengalami fraktura.

Arya berdecak.

Keponakannya satu ini memang sangat suka membuang-buang kata, yang kadang kala tak penting. Dan tentunya menyebalkan, membuatnya terkadang malas sekali meladeninya.

Fano akhirnya berdeham sejenak, mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih serius. Kemudian berucap, "Dari awal sebenarnya Fano memang sudah menaruh curiga mengenai kondisi mental adek."

Helaan nafas kasar milik Fano akhirnya mengudara, "Dan apa yang dia alami sekarang, ga bisa dianggap enteng, Paman."

"Maksud?" Dahi Arya mengernyit, sedikit tak paham mendengar penjelasan itu barusan.

Fano kembali menghela nafas. "Fano sarankan dia harus segera mendapatkan pengobatan psikoterapi untuk memulihkan kondisi mentalnya kembali. Karena memang hal itu akan berdampak buruk, jika tidak diberi penanganan lebih lanjut." Pungkas Fano.

***

"Ayah..."

"Ini Ayah beneran kan? Bukan lagi cuma khayalannya Kanza?" tanyanya kembali meyakinkan, kali ini dengan nada yang terdengar sedikit lirih dan pelan.

Sekarang keadaannya sudah jauh menjadi lebih tenang. Tangan mungil itu terulur ingin mencoba meraba wajah sang Ayah. Memastikan ini benar-benar nyata. Sebelum Arya ambil alih, dan diciumnya beberapa kali.

Arya mengamati lekat-lekat wajah kecil itu, matanya begitu sembab, bahkan lingkaran hitam itu tercetak disekitarnya, hampir sama seperti waktu kemarin ia akan pergi.

"Kenapa suka banget buat Ayah jadi khawatir hm? Kenapa juga bisa sakit lagi?"

Bukannya langsung menjawab anak itu malah merentangkan kedua tangannya, meminta sebuah pelukan, kemudian menduselkan kepala di dada bidang milik sang Ayah, mencoba mencari kehangatan dan menghirup dalam-dalam aroma tubuh yang menurutnya khas.

Arkanza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang