David tak bisa lagi menahan tawanya saat melihat mata Kanza yang spontan saja membola lucu, dengan mulut yang membentuk huruf O.
"Jadi Kanza punya tiga Abang, Opa?" tanyanya.
Anak itu menunjukkan tiga jarinya dengan nada antusias. Setelah puas diajak berkeliling, selagi David menjelaskan tentang semua yang ada dirumah ini.
David mengangguk. "Ada Kak Bisma, Kak Fano, sama satu lagi Kanza punya Abang. Tapi dia belum bisa pulang karena masih ikut kejuaraan olimpiade nasional, keren ga?"
Anak ini mengangguk cepat. Sebelum volume suaranya menurun, karena merasa minder. "Pasti abang pinter banget ya?"
David hanya berdeham sebagai jawabannya, "Kalau Kanza sendiri gimana?"
Deg!
Kena kan!
Kanza menelan ludahnya sukar.
"Ya gitu." Ambigu.
"Maksudnya?"
"Gak seistimewa Abang, mungkin." Cicit, Kanza memainkan jari sebelum kembali melanjutkan kata. "Tapi Bunda sama sekali ga pernah bentak Kanza setiap pengambilan raport, kalau misal nilai Kanza jelek."
"Kata Bunda semua orang itu punya kadar kepintarannya masih-masing, Bunda gak akan pernah bisa maksa Kanza untuk jadi orang lain. Terus kalau setiap udah pengambilan raport kita akan ngerayain dengan makan tempe dalam satu minggu. Opa tahu ga?" David hanya diam, seakan menunggu kelanjutan ucapan anak ini.
"Bunda juga suka bilang Kanza harus banyak banyak makan tempe biar tambah pintar, tapi yang sebenarnya terjadi Bunda ga bisa beli lauk yang lain karena kadang ga punya uang," lanjut Kanza diakhiri dengan senyuman hambar.
Sang Opa mengelus pucuk kepala Kanza lembut, merasa iba. "Kanza itu sebenarnya pintar, tapi mungkin masih kurang usaha dan termotivasinya aja buat diajak kerja sama."
"Hu'um. Itulah alasannya Kanza selalu kesal setiap ngambil raport." Kanza menghembuskan nafas lesu.
"Kenapa?" tanya David.
"Kanza gak hebat." Anak ini menunduk dengan wajah yang terlihat sendu. "Soalnya ga ada nilai merah di rapot-nya Kanza, Opa. Karena kata Bunda merah itu tanda berani. Jadi berani itu kan hebat. Terus Kanza gak hebat dong?"
"Hm?" Alis David dibuatnya mengernyit heran.
Tunggu ... tunggu, merasa janggal pria berumur ini melongo tak paham. Sedangkan Kanza hanya mengelap ingusnya polos, minta ditampol.
"Iya, soalnya Kanza selalu dapat ranking satu terus, padahal 'kan satu itu kecil." Sambungnya memasang tampang tanpa dosa, dengan jari mencubit.
Jangan tanya otak David mendadak dibuatnya lemot dan masih mencoba mencerna. "M-maksud?" gumamnya.
Ah sudah lah!
Anak ini polos? Pura-pura bego? Atau memang sengaja merendah untuk ngelunjak. Entah David pun kurang paham.
"Oh ya, Opa, ini kamar siapa sih?" Lepas dari hal itu anak ini kembali membuka suara. Membuat mata David kembali menatapnya.
"Kamarnya Ayah Kanza," jawab David
"Kalau itu." Kanza menunjuk ke arah pigura foto yang lumayan besar. "Kok dia mirip sama Pamannya si rese sih?" sambungnya samar.
"Yang mana, sayang?" David sampai menyipitkan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkanza (End)
Teen Fiction[HALAL AREA] BUKAN lapak bl atau b×b👊 ⚠️Revisi Lanjutan Hanya tentang Arkanza, bocah laki-laki yang hidup sebatang kara, dengan segala tingkah ajaib yang tak perlu lagi ditanya. Lalu, bagaimana jika ada yang datang dan mengaku sebagai keluarganya...