[Delapan tahun yang lalu]
CKIITTT!!!!
Mobil ngerem mendadak saat ditengah-tengah perjalanan. Membuat seorang pria yang sedang menumpangi mobil ini segera melayangkan pertanyaan kepada supirnya.
"Ada apa?" tanya seorang pria yang tak lain adalah Haris.
"Sepertinya ada kecelakaan lalu lintas di depan, Pak. Kerumunan warga menghalangi jalan."
Mendengar itu Haris melepas kacamata hitam yang sedari tadi ia pakai. Matanya memicing menatap ke arah luar kaca mobil. Dan benar saja, keadaan di depan jika dibiarkan terlalu lama pasti akan mengundang kemacetan. Dengan segera ia memutuskan untuk keluar.
Setelah cukup lama beradaptasi dengan Amerika. Kini setelah sekian lama dirinya kembali pulang ke tanah air. Pria itu berdecak, melihat kerumunan warga yang kebanyakan hanya menonton, dan tanpa berniat sedikit pun menolong.
"Permisi, boleh saya tanya ada apa?" Haris bertanya pada seorang Ibu-ibu yang sedari tadi hanya diam melihat saja, namun dari jarak yang cukup jauh.
"Barusan ada kejadian tabrak lari, Mas. Kasihan, korbannya Ibu hamil." Paparnya membuat Haris mendadak terenyuh.
Tanpa pikir panjang kemudian pria itu menerobos kerumunan beberapa orang, seraya berucap. "Permisi!"
Netranya menangkap seorang wanita muda yang kini terbaring dengan darah yang mengalir deras di kepalanya. Jemari lentiknya bergerak pasif, mata yang menatap nanar, berucap dengan bibir bergetar.
"To-long..."
Mata penuh permohonan itu kini terarah ke arah Haris yang berdiri tepat di depan kerumunan.
"To-long saya, sshhhh...."
Wanita itu kemudian meringkuk, memegangi perutnya yang buncit. Ia menangis, namun tak ada sedikitpun tergerak hati untuk cepat melarikan dirinya ke rumah sakit.
"Setidaknya selamatkan bayi saya. S-saya mohon..." ucapnya lemah, wanita ini tak sadarkan diri, tepat di detik ini juga. Haris segera mengangkat tubuhnya ala bridal style, sebelum menyapu pandangan.
"APA ADA YANG SUDAH MENELEPON AMBULANS!!"
Semua orang hanya menonton hanya diam. Haris berdecak, masih dengan tubuh wanita yang berada di gendongannya, pria itu segera menerobos kerumunan. Menghampiri supirnya yang berdiri disamping mobil pribadinya.
"Antar cepat!" Perintahnya.
"Tapi Pak, saya sudah menelepon ambulans. Mungkin sedang dalam perjalanan--"
"Cancel!" Pintanya menaruh wanita itu kedalam mobil.
Haris dengan cepat merampas kunci mobil ditangan supirnya yang mendadak cengo, memikirkan. Apakah ambulans bisa di cancel? Ha? Sejak kapan?
Haris memutar bola mata malas. "Cepat masuk kalau tidak ingin ditinggal. Saya yang akan kendarai mobil!" Haris naik ke kursi supir.
Jiwa pembalapnya akan diuji disini.
***
Lampu ruang operasi kini masih menunjukkan warna merah. Itu artinya sampai saat ini operasi masih dilakukan.
Sejak tadi pria itu mondar-mandir gelisah. Seakan menunggu istrinya yang tengah berjuang melahirkan didalam sana. Bahkan supirnya pun sesekali menegur, wajah khawatir itu terlihat sangat lucu sekarang.
"Bagaimana jika dirinya tak selamat."
"Apa yang terjadi pada bayinya?"
"Bahkan anak ini belum sempat melihat dunia, bagiamana jika--" Berondong Haris tanpa titik jeda, sebelum disela olah sang supir.
"Percaya kalau mereka kuat, Pak. Duduklah, perjalanan dari Washington ke Jakarta pasti melelahkan."
Pria ini akhirnya luluh dan duduk dikursi tapi masih saja mengigit ujung kuku tanda gelisah. Ia merasa sangat bersalah jika wanita itu sampai tak selamat, melihat mata penuh harapannya tadi yang begitu menyakitkan.
"Wanita itu sangat cantik, ya?"
Haris menatap tajam sang supir yang tengah tersenyum. "Bukan itu yang saat ini saya pikirkan! Jangan salah paham!"
"Saya hanya berbicara fakta, Pak." Pria paruh baya itu terkekeh kecil, sedikit meledek. Berharap bisa mencairkan suasana.
Tak berselang lama lampu ruang operasi meredup, diiriingi dengan suara pintu yang perlahan terbuka, menampilkan seorang dokter dan beberapa perawat di belakangnya.
"Anda keluarganya?"
Tanpa pikir panjang, secara spontan Haris mengangguk saja.
Dokter itu tersenyum simpul. "Selamat, bayinya berjenis kelamin laki-laki. Operasinya berjalan dengan lancar, Ibu dan bayinya sangat kuat dan sekarang keadaannya bahkan sudah normal. Kami akan segera memindahkannya ke ruang rawat--"
"VVIP." Sela Haris, membuat dokter itu tersenyum, segera dibalas dengan anggukkan.
***
"Putranya Bunda."
Bayi berpipi gembil itu terlihat sangat tampan sekaligus menggemaskan.
Wanita muda yang bernama Diana, mengendong putranya dengan air mata penuh haru. Hal yang sedari dulu menjadi alasannya untuk tetap bertahan, kini telah terlahir ke dunia. Buah cintanya, dan segala-galanya.
"Selamat .... karena sekarang kamu sudah mejadi seorang Ayah." Mata indahnya terlihat berkaca-kaca dan menerawang, melayangkan ucapan itu teruntuk 'seseorang'. Sebelum kembali mencium pipi berisi milik anaknya.
Iris berwarna hitam pekat, dengan mata yang sangat mirip dengan kepunyaan suaminya. Diana seolah melihat mata yang sama dengan 'dia' tatkala menatap sepasang mata milik sang putra.
Klek!
Pintu dibuka, diringi dengan langkah Haris yang memasuki ruangan. "Selamat, karena sudah resmi menjadi seorang Ibu." Pria ini tersenyum tipis, sedikit canggung.
"Terima kasih." Diana ikut tersenyum sebagai balasannya. "Saya ga bisa berkata apa-apa lagi, saya mungkin tidak akan bisa memberi sesuatu hal yang lebih. Tapi terima kasih." Sorot mata Diana begitu tulus mengatakan itu, mata indahnya untuk kesekian kalinya kembali berembun.
"J-jangan nangis!" Haris segera menghentikan Diana yang terlihat akan kembali menumpahkan lelehan bening dari ekor matanya. "Kasihan, nanti baby-nya juga ikutan nangis lho." Hiburnya.
Diana tersenyum, kemudian sedikit menunduk.
Paras wanita itu sungguh sangat anggun dan cantik. Pesonanya memang sudah tak diragukan lagi.
"Saya hutang Budi sama kamu, Mas."
"Saya tidak perlu itu," ucap Haris. "Karena saya tulus, tanpa sedikitpun rasa pamrih." Ia jadi ikut merasakan betapa bahagianya seorang lelaki ketika baru saja memiliki seorang bayi.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan sekarang. Dimana Ayahnya? Jangan bilang--
"Anak ini bukan hasil dari hubungan gelap, bayi ini terlahir suci dari ikatan pernikahan." Melihat wajah pria di hadapannya, Diana tau apa yang sedari tadi dia pikirkan.
Merasa kepergok, Haris seketika jadi kelabakan dengan menggaruk belakang lehernya, canggung. "Apa bayinya sudah diberi nama?" tanyanya, dengan cepat mengalihkan topik.
"Oh, ya." Diana tersadar, detik ini juga ia mulai memikirkan. "Ar." Inisal itu keluar begitu saja dari mulutnya, karena sama dengan kepunyaan suaminya.
"Ar .... Ar--"
"Arkanza!" Sela Haris antusias, kemudian tersenyum tipis. "Bukankah bagus?" tanyanya.
Diana tersenyum lebar, menganggukkan kepala tanda setuju pada saran milik pria itu. "Arkanza .... Ataya Kaleandra..."
--Wicaksana, lanjutnya sengaja hanya dalam hati.
"Nama yang bagus," puji Haris.
"Apa Mas ingin menggendongnya?" tanya Diana membuat Haris kembali sedikit kelabakan, terlebih saat bayi mungil itu Diana sodorkan kearahnya.
"Apa boleh?"
"Tentu."
__________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkanza (End)
Teen Fiction[HALAL AREA] BUKAN lapak bl atau b×b👊 ⚠️Revisi Lanjutan Hanya tentang Arkanza, bocah laki-laki yang hidup sebatang kara, dengan segala tingkah ajaib yang tak perlu lagi ditanya. Lalu, bagaimana jika ada yang datang dan mengaku sebagai keluarganya...