LEMBAR 14 ✓

34.4K 3.6K 210
                                    

Plak!!

Pipi Aziel memerah dan membengkak kala ini juga. Anak itu terlihat menangis sesugukan di lobi rumah sakit.

Jefi memegang erat pundaknya. "Anak itu sudah lama menderita, Aziel. Dari lahir dia gak kenal sama keluarga, dia gak tau siapa Ayahnya, dia terpaksa hidup sendiri dan sengsara. Sedangkan kamu sudah lama hidup enak dan mewah. Kamu sadar gak sih?!!"

Nafasnya memburu. "Terus apa kamu bilang, perebut kebahagian? Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?!!!" Bentak Jefi kembali.

"Hiks ... karena dia yang rebut perhatian Paman Arya dari Aziel!"

"Kamu itu cuma keponakan Aziel, berbeda dengan dia yang anak kandungnya!" Pundak itu Jefi lepaskan secara kasar.

Kepala Aziel yang tadinya menunduk kini ia angkat sebelum buka suara. "Dia memang pantes dapatin itu, Papah. Dari awal seharusnya gak dateng ke keluarga kita! Dan Aziel gak nyesel sama sekali, dorong dia dari tangga tadi!!!"

Tangan Jefi akan kembali terangkat jika saja suara sang istri tak kembali menghentikannya. "Mas..."

Jefi memijit pelipisnya, tak mengerti lagi dengan perlakuan Aziel yang menurutnya sudah keterlaluan. "Lihat kelakuan putra bungsumu yang selalu kau bangga banggakan dewasa ini, Ratih. Apa ini buktinya?! Dia bahkan dengan sengaja untuk melukai adiknya sendiri!"

"Udah, Bang!!" Arya akhirnya melerai, merasa lelah.

Untuk ke berapa kalinya, Jefi kembali mengacak rambutnya frustasi, begitu kecewa sekaligus tak menyangka jika anaknya akan bertindak sejauh ini.

"Selama ini mungkin kau terlalu menuruti setiap kemauan dan memanjakan anak ini, hingga lama-lama dia menjadi tak tahu diri." Tekan Jefi diakhir kata.

"Iya, saya ngaku salah," balas Arya.

Mendengarnya Aziel mengangkat wajah, tangannya terkepal erat, menatap wajah sang Paman yang begitu kecewa akan perbuatannya.

"Opa, hiks..."

David memilih angkat tangan, enggan menatapnya. Dan Bisma, pemuda itu sejak tadi tak henti menyorotnya tajam. Semua orang nampak begitu tak menyangka sekaligus kecewa jika Aziel akan bertindak sejauh itu.

Ia akhirnya memilih berlari menjauhi mereka. Ratih berniat ingin kembali mengejar, seperti biasa, namun kali ini sang suami segera menghentikannya.

"Biarkan saja," ucap Jefi.

"Tapi Mas--"

"Kita lihat apa yang akan dia lakukan. Anak itu tak akan pernah sadar," lanjutnya.

Klek!

Tak berselang lama pintu ruang UGD dibuka, menampilkan sosok Fano dengan jas dokter dan satu perawat disampingnya.

"Untunglah tidak ada masalah yang serius. Akan tetapi luka di keningnya memerlukan beberapa jahitan. Sekarang dia sedang berada dibawah pengaruh bius, izinkan dia beristirahat sejenak."

Semua orang akhirnya bisa menghela nafas lega, setelah sudah merasa tak karuan karena begitu khawatir tadi.

***

Setelah beberapa jam tak sadarkan diri Kanza akhirnya mulai membuka kelopak mata. Penglihatan pertamanya adalah sang Ayah, yang duduk dengan menundukkan kepala di samping ranjangnya. Sepertinya kelelahan.

"A-ayah..."

Arya yang mendengar panggilan itu langsung mengangkat kepala, menatap wajah kecil milik sang putra.

Arkanza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang