LEMBAR 10 ✓

42.4K 4K 131
                                    

"Opa?"

Sejak pertama kali melangkahkan kakinya masuk, anak itu masih saja membeku didekat ambang pintu, dengan raut wajah bertanya-tanya. Dirinya akhirnya pulang dengan membawa kebanggaan, terlihat dari piala serta sertifikat yang menunjukkan juara pertama.

Aziel Althar Wicaksana.

Kemewahan memang sudah berteman baik dengannya sejak pertama kali ia terlahir ke dunia. Bukan hanya itu, hidupnya nampak sempurna, dimanja, dan selalu mendapatkan kasih sayang yang penuh dari keluarganya.

Mungkin dari sanalah ia mulai menyimpan banyak sifat buruk yang perlahan terpupuk. Didoktrin sedari kecil agar semua yang diberikan kepadanya harus didapat secara sempurna dan utuh, tanpa terbagi.

Namun, yang mulai membayangi pikirannya sekarang, mungkin semua hal yang terbiasa ia dapatkan itu, lambat laun akan mulai berubah sedemikian rupa, mulai dari detik ini.

Tangannya terkepal erat, melihat pemandangan pertama yang menyambutnya adalah seorang bocah yang tengah duduk manja di dipangkuan sang Opa.

"Abang Ziel, sini!" Ajak David membuat anak itu, Aziel, berjalan kaku ke kearahnya, wajahnya masih saja menampakkan ekspresi tak mengerti.

Apa yang terjadi dan ia lihat barusan, itu tak benar bukan?

"Abang?" tanya Aziel mengernyitkan alis, heran. Merasa asing mendengar panggilan itu.

Berbeda dengan sang Opa hanya berdeham mengiyakan. "Sekarang Ziel jadi Abang okay?" David memegang pundaknya lembut.

Sedangkan Aziel tetap menampakkan ekspresi benar-benar tak paham, mencoba mencerna, sampai suara David kembali terdengar menjelaskan. "Iya, ternyata dia adek kamu, putra tunggalnya Paman."

Deg!

Kanza yang awalnya juga tak menyangka pun akhirnya tersenyum paksa, menyambut wajah Aziel yang hanya datar, sudut bibir anak itu malah berganti terangkat miring.

Mengapa hal yang pernah terbesit dan Aziel pikirkan dulu, harus benar-benar menjadi kenyataan? Konyol sekali bukan?

"El udah pulang?"

Ratih juga menyadari ada gelagat aneh dari anaknya yang kini lebih banyak diam. Wanita itu ikut duduk di atas kasur, tepat disebelah Aziel.

"El?" Tangan Ratih memegang lembut pundaknya, membuat mata Aziel menatap kearahnya. "Kenapa hm?"

Satu hal yang mendarah daging ditubuh seorang Aziel, ia tak suka berbagi. Sesuatu yang menurutnya miliknya dan merasa nyaman sampai kapanpun akan menjadi kepunyaannya.

Dan sekarang, ada banyak hal yang ia takutkan dan membuatnya gelisah seperti sekarang. Termasuk hilangnya sebuah kasih sayang.

***

Drtttt....

Suara telepon rumah bergetar, Kanza yang kebetulan lewat dan hanya akan berjalan lurus mendadak menyerong berniat ingin mengangkatnya.

"Iya, dengan Arkan yang tampan disini," ucapnya dengan begitu pede.

"....."

"Oh cari Opa, bentar dia lagi gak mau diganggu dulu. Sedang merana katanya." Kelakar Kanza. Akan tetapi tanpa diduga suara gelak tawa yang tak asing disana menggema begitu saja.

"Kalau boleh tau, ini siapa ya?" tanya Kanza kemudian. Namun, yang sayangnya tak ada sahutan lagi di seberang telepon sana.

Kanza mengerutkan kening, entah karena terkendala sinyal atau bagaimana, yang pasti sedikit tak jelas terdengar ditelinganya.

Arkanza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang