LEMBAR 8 ✓

42.6K 4.3K 94
                                    

"Ga mau kesini!"

Anak itu terus saja merengek saat dirinya dipaksa untuk ikut dengan Fano ke tempat yang dirinya pun tak tahu.

Mobil Fano berhenti di sebuah rumah mewah nan megah, yang Kanza sangka merupakan tempat penampungan anak imut seperti dirinya sebelum dikirim dan dijual ke luar negeri, mungkin semacam itulah.

"Mau pulang, kasihan Nimo nungguin Kanza di rumah sendirian." Bocah itu mencoba menarik tangannya dari cengkraman erat Fano.

Alis kanan pemuda ini terangkat. "Nimo?"

"Ikan Kanza," cicitnya.

Fano menghela nafas. "Nanti gue beliin yang lebih mahal deh, cuma ikan doang."

Kepala Kanza spontan menggeleng ribut. "Ikan itu spesial," balasnya.

Fano hanya memutar bola mata malas. "Jangan banyak alasan!" Ia kembali menarik tangan mungil Kanza, membuat bocah itu kembali meronta.

"Ga mau!"

"IKUT GUE MASUK!!" Titah Fano penuh penekanan sekaligus tertekan, jujur dirinya lelah karena seharian sudah menghadapi tingkah ajaib bocah satu ini.

"Udah gue bilang gue ga mau diculik! Kalau lo mau culik anak, cari yang lain aja dah, gue terlalu imut!" Kanza menepiskan kasar tangan itu.

"Memangnya siapa yang mau culik?" tanya Fano, merendahkan badan menatap lekat-lekat wajah Kanza yang tertekuk dengan bibir yang mendumel kesal.

"Elu, ini buktinya maksa gue!" balasnya benar-benar nyolot.

Mendengarnya Fano terbahak. Apakah imajinasi para bocah memang tinggi, bagaimana mungkin 'lelaki baik-baik' seperti dirinya disebut seorang penculik? Atau pedopil? Yang benar saja!

Setelah dramanya sudah cukup puas, mereka berdua akhirnya berhasil masuk ke dalam mansion dan seketika disambut oleh suasana tak biasa. Wajah-wajah datar yang langsung menatap kearah mereka tanpa guratan senyum sedikitpun.

"Ehem... di mana cucuku?" Suara datar David seketika menyambut langkah mereka.

Fano dengan segera menggeser posisi, hingga menampakkan tubuh mungil Kanza yang tengah bersembunyi dibalik badannya.

Anak itu terlihat menaikan jari, kepalanya menunduk takut, tak berani menatap beberapa pasang mata yang masih menyorotnya tajam

"Mphhhhhhh .... HAHAHAHA!!!!" Tanpa di duga suasana mencekam ruangan ini tiba-tiba pecah karena tawa, Kanza bahkan semakin takut dibuatnya.

Bagaimana bisa suasana yang tadi dikatakan sangat menakutkan, kini menjadi renyah dengan tawa yang menurutnya menjadi dua kali lipat lebih horor?

"Ini serius?" celetuk David mengelap sudut matanya yang mengeluarkan air mata karena terlalu ngakak tertawa, merasa tak percaya.

"Astaga..." Jefi ikut menyahut, dengan ekspresi sebelas dua belas sama. Ia bahkan sama sekali tak mengira, jika bocah ini adalah orang yang sama, dengan yang membuatnya naik darah saat bertemu di rumah sakit tadi.

Semuanya berbeda dengan ekspektasi mereka, yang sedari awal mengira anak itu tak akan jauh berbeda dengan Ayahnya yang berperawakan tinggi, tegas, sorot mata yang selalu terlihat tajam, rahang kokoh.

Arkanza (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang