Chapter 19

645 117 3
                                    

             Dares hanya diam dengan wajah kosong di halaman belakang sekolah. Ingin menangis? Tentu saja. Tapi bagi Dares bukan tempatnya untuk menangis. Toh faktanya, ucapan anak bernama Bian itu benar.

Dares hanya menatap kosong langit biru di atas sekolahnya, "Duh, males pisan kalau jadi ketua malah bikin drama gini, tahu gitu mah Dares tolak kemarin." Dares mengeluh. Bukannya dia tidak bersyukur dipilih kakak kelas. Ia tahu ia harus bersyukur atas apa yang dipercayai orang lain olehnya. Hanya saja, tanggung jawab yang dibebankan terlalu besar dan terlalu mendadak bagi Dares.

"Bengong aja." Suara teduh yang dikenali Dares terdengar. Bersamaan dengan suara rumput dan orang yang bergerak dari sisi Dares. Dares menoleh dan bangun dengan cepat, "Bang Josh? Tahu dari mana kalau Dares di sini?" Dares menatap kaget. Joshua yang bersandar pada poho hanya tertawa pelan, "Kamu sama anak-anak yang lain tuh sama aja, Res. Kalau pusing, mumet, bosen, apa aja yang butuh tempat istirahat di sekolah yah pasti kesini." Jawab Joshha mudah.

Joshua menepuk tempat di sebelahnya, menandakan dirinya meminta Dares untuk jalan mendekat. Dares hanya mengikuti dan duduk di sebelah yang lebih tua. Mata Dares hanya menatap ke rumput, "Bang Hugo sama Abim kalau mumet ke warung tuh." Dares berceletuk lugu membuat Joshha tertawa, "Ga mereka doang. Tapi kalau kamu kayaknya kalau engga diajak orang engga akan kabur keluar sekolah."

Joshua tahu betul. Walau Dares sering kali bersikap bodoh atau ceroboh, walau Dares tidak pandai di pelajaran atau punya kemampuan mencolok di bidang olahraga, tapi Dares punya karakter yang terlalu baik jika dibandingkan dengan kebanyakan orang. Banyak kesempatan Joshua heran dengan Dares yang terlalu banyak menahan semuanya. Walaupun marah, marah Dares selama ini hanyalah omelan kekanakan semata. Tidak ada yang pernah sakit hati karenanya.

"Masih mikirin masalah omongan adek kelas ya, Res?" Joshua melirik anak yang lebih muda itu hanya mengangguk dengan muka murung. Sedikit rasa iba muncul. Bagaimana tidak? Dares yang biasa tertawa lebih cerah dari matahari ternyata bisa menjadi langit mendung juga.

"Memang Dares sebegitunya ya Bang? Dares teh udah usaha sebisa mungkin biar bantu anak-anak, coba tegas juga. Emang Daresnya yang ga bisa ngomong." Dares mengeluh. Joshua hanya mengamgguk, "Iya, ga cocok." Jawab Joshua membuat yang lebih muda menoleh kaget. "Ga cocok Res. Cara memimpin yang karismatik menurut kamu dan yang cocok sama kamu itu engga bisa nyambung."

Alis Dares mengkerut. Joshua menghela napas.

"Ya ampun, Res. Abang serius pun kamu masih engga bisa nyambung, ya?" Tanya Joshua. "Ih, Abang teh. Belagak pisan. Bahasa na jangan tinggi-tinggi. Dares pusing." Dares merajuk. Joshua menghela napasnya singkat, "Gini Res, menurut kamu ketua itu harus gimana?" Dares berpikir lama, "Kayak Bang Satria. Tengil ya ha'ah, tapi Bang Satria ya ... bisa bikin orang dengerin dia. Atau ya kayak Chiko atau Devan, dikit ngomong na, tapi kalau nata segala urusan mah, beres." Jawab Dares. Joshua mengangguk mendengar jawaban Dares. "Dares gitu ngga?" Tanya Joshua yang hanya dijawab dengan gelengan kepala.

"Res, jadi pemimpin tuh bukan cuman yang kamu pikir kayak Satria, bisa bikin orang dengerin kamu. Engga cuman kayak Chiko, engga juga cuman kayak Devan yang bisa nata semua hal dengan ngomong. Abang tanya, kamu ngobrol ga sama anggota?" Joshua bertanya. Dares mengangguk. "Kalau Chiko sama Devan engga bisa komunikasi, kamu bisa Res. Terus Abang tanya. Kalau kamu ngerjainnya ini-itu di MPK gimana?" Joshua bertanya lagi. "Yah ... apa yang bisa Dares bantu, Dares bantu. Terus kalau ada beres-beres ruangan rapat, ya Dares yang urus karena Dares banyak engga ngomong di depan umumnya. Terus, yah ini kan setelah ada OSIS, MPK teu akan sesibuk sekarang. Makanya seenggaknya jangan bikin impresi buruk lah sabisanya Dares, kalau butuh es teh tawa warung suruh Dares beli juga Dares jabanin."

"Itu aja udah cukup Res. Pikiran mau bantu dan ga pandang jabatan. Kamu engga perlu mikirin apa yang harus gimana, harus jadi kayak siapa. Kamu ya kamu, mungkin kamu ga cocok memimpin dari sudut pandang kamu, tapi anggap aja, kamu ini pemimpin yang temannya semua orang. Satria juga kadang minta bantuan dan buat salah. Pemimpin bukan berarti jadi manusia sempurna." Joshua menepuk pundak Dares, "Kamu ini, heran banget Abang. Yang ngomongin kamu tadi aja datang rapat dan preparasi pemilihan ga sampai tiga kali kamu dengerin. Orang lain yang lihat kerja keras kamu ga akan ngomong gitu." Joshua mengomel pada yang lebih muda.

"Jangan marah atuh, Bang.... Ya kan udah kelihatan perbandingannya, mana kritiknya terang-terangan." Dares menunduk. Joshua bukan orang yang suka ikut campur, jadi jelas Dares tahu kalau sudah banyak bicara, Joshua khawatir. Tapi ya mau bagaimana? Mungkin sedikit perhatian lebih yang diberikan Joshua adalah penyebabnya. "Jangan kemakan asumsi kamu sendiri dan pilah mana kritik membangun dan kritik menjatuhkan, paham?" Dares hanya mengangguk. Joshua hanya mengacak rambut Dares, "Udah sana, minta maaf. Kalau ada asumsi dan pikiran yang nyerang diri sendiri ya ngomong. Pas ke trigger gitu, meledak dan ga ke kontrol 'kan?" Joshua bangkit, "Abang duluan ya." Pamitnya berjalan menuju kelas. Dares hanya tersernyum, sekali lagi bersyukur.

Ia punya begitu banyak teman yang bisa diandalkan dan mendukungnya.

Bandung, Sekarang. Dari sisi Dares.

Jadi ya ... gitu. Pas habis itu beuh, anak-anak MPK baik pisan sama Dares. Bilang makasih udah mau terjun ke tugas paling kecil sekalipun hehe.

Dari mereka teh, Dares belajar. Temen itu temen yang ngebuat kita ngeliat jalan yang bener. Yang ngasih pengertian saat kita salah paham. Kalian diam-diam wae, ya. Tapi ya Dares sayang sama Chareteen. Jangan diomong ke mereka. Nanti gede kepalanya, hehe.

CHARETEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang