Chapter 8

1K 195 1
                                    

"Bang Abim!" Yang lebih muda berlari kepada sosok yang sudah menghentikan langkahnya. Yang disapa Abim tersenyum melihat sosok yang memanggilnya. Sosok junior yang sudah memasang senyum cerah di wajahnya. "Tumben nyamper kesini, Din?" Tanya yang lebih tua dengan nada hangat, tangannya mengacak rambut yang lebih muda, "Bang! Katanya Satya mau kesini nyamper!" Dino membuka suara sambil melangkah menuju gedung kampus Abim, wajahnya cerah penuh antisipasi sambil menunjukkan ponsel yang menunjukkan ruang obrolannya dengan Satya.

Abim hanya mengangguk setelah melihat sekilas obrolan yang lebih mudah dengan Satya. Senyum terukir di wajah tampan pemuda itu, "Memang Satya dimana, Din?" Tanya yang lebih tua. Dino terdiam sebentar mengingat-ingat kemana teman satu angkatan dan satu kelompoknya itu berkuliah, "Kalau ga salah inget sih.... Satya kuliah di ITB? Anak Teknik sipil sih dia sekarang." Dino menjawab membuat Abim terdiam sebentar. ITB ya? Abim ingat jelas siapa yang berkuliah di sana. Yah, bukan salahnya sehingga dirinya menghindari orang itu. Dia bakal dateng juga engga, ya? Abim jelas terbawa pikiran, ia sudah menghindarinya selama bertahun-tahun bahkan sejak bangku SMA. Agak tidak nyaman jika harus bertemu sekarang. Mungkin jika bertemu lagi, entah rasa marah, sedih, atau rasa bersalah yang akan meledak. Abim hanya merasa ada di posisi yang serba salah.

"Bang? Bang Abim!" Dino melambai-lambaikan telapak tangannya di hadapan wajah Abim. Abim kembali kepada kenyata, tubuhnya refleks mundur untuk menjauhkan tangan yang lebih muda dari wajahnya, "Eh iya. Ngapa, Din?" Abim bertanya tanpa menyembunyikan rasa terkejutnya. Dino menghela napas, "Abang bengong? Ada apa?" Dino memperhatikan yang lebih tua heran. Abim hanya mengusap tengkuknya canggung, dan mencoba tersenyum, "Oh, engga kok, Din. Gue cuman nginget habis ini ada kelas lagi atau engga." Abim beralibi, "Oh iya, anak-anak bukannya ada juga yang di ITB? Ikut? Ato Satya doang?" Tanya Abim berusaha mengalihkan fokus yang lebih muda dari dirinya. Dino hanya mengangkat bahunya, tidak memikirkan banyak sikap Abim tadi, "Bang Satria lagi sidang? Kalau ga salah inget yang agak bebas ya Bang Devan sama Satya," ujar yang lebih muda.

Oh, Abim mengangkat bahunya. "Kapan mau kesini? Mau jalan? Mereka yang jemput elo, Din?" Abim bertanya bertubi-tubi. Dino menggeleng, "Belum tahu, Bang. Ini baru rencana, ngomongin juga baru. Bang Devan masih belum bales chat dari tadi." Dino menjawab dengan sedikit kecewa. Abim merasa wajar dengan nada kecewa yang didengarnya dari Dino. Yang lebih muda menghabiskan masa SMA yang disebut sebagai masa paling indah bersama CHARETEEN. Bersama dirinya, terutama lagi bersama Satya dan Vernon. Wajar saja dia rindu. Teman seangkatan yang menghabiskan bertahun-tahun bersama. Walau semenjak mereka berkuliah, Satya, Vernon, dan Dino hanya bisa berkomunikasi via pesan atau telepon, mereka tetap teman terbaik yang paling muda. Ditambah sikapnya yang tidak terlalu terbuka, tentu saja presensi teman-teman SMA nya menjadi sangat penting.

"Gimana kuliah lo, Din? Aman? Bergaul kan lo sama temen-temen lo?" Tanya yang lebih tua. Dino hanya menyunggingkan senyum polos, "Hehe, ga ada yang sedeket Vernon, Satya, sama abang-abang sih. Tapi, yah ... waktu kerja kelompok, masih ada ngobrol kok, Bang." Dino menjawab jujur.

Walau Abim bukan orang yang mau ikut campur dengan orang lain terlalu jauh, Abim tak bisa menahan dirinya dan berakhir khawatir pada yang lebih muda. Seperti orang bilang, kuliah adalah masa mencari koneksi. Tapi, mengomel pun percuma, bukan berarti Dino akan mendengar semua omelan Abim yang isinya sama-sama saja stelah bertahun-tahun.

"Iya, Bang. Gue ngerti. Abang ga perlu ngomong gue udah ngerti." Dino hanya tersenyum seadanya. Abim hanya menghela napas dan terdiam. "Abang sendiri gimana? Sama Bang Satria?" Dino bertanya tanpa memberi perhatian sedikit pun. Abim mengerti jika yang lebih muda juga tahu. Ketiga belas orang itu tahu apa yang terjadi pada Abim dan Satria dahulu. Ada yang memilih pura-pura tidak tahu atau lupa. Masalah kedua orang itu terlalu dalam untuk dibahas oleh semua orang, dan tidak semuanya memiliki luka yang sama dan mengerti mereka.

"Lo kenapa bahas dia?" Abim bertanya balik. Nada yang hangat darinya telah mengilang menjadi nada yang dingin dan tidak peduli. Dino mencuri pandang melihat wajah Abim yang tidak menunjukkan banyak emosi, "Kalau Abang bilang Dino harus maju, Bang Abim udah maju?" Tanya Dino. Abim tidak memberi respon pada yang lebih muda, "Bukannya Dino engga sadar sama reaksi Bang Abim, sebenarnya Dino juga ga punya hak buat bahas ini. Tapi kalau dari reaksi Abang aja Dino tahu Bang Abim sama Bang Satria masih belum selesai dari masalah masa lalu kalian." Dino menambahkan lagi.

"Kalau nanti Bang Satria dateng, Abang Abim ikut ya?"

CHARETEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang