Chapter 17

844 125 0
                                    

SMAN 2 Bandung, 5 tahun lalu.

             Majelis Perwakilan Kelas. Kalau kata orang-orang, mereka itu MPR nya sekolah dan OSIS adalah Presiden dan kabinet kerjanya. Untuk menjadi Majelis Perwakilan Kelas sistemnya mudah, hanya perlu menjadi perangkat kelas saja. Daresta yang agak sial di bangku kelas sebelasnya, menduduki bangku ketua Majelis Perwakilan Kelas karena dua hal.

             Yang pertama karena dia adalah ketua kelas dari 2 IPS 2 dan ... satu-satunya cowo yang datang tepat waktu saat rapat Majelis Perwakilan Kelas baru. Awalnya, Dares menolak karena dia sama sekali tidak mempunya leadership. Bisa dibilang, Dares hanya tipe pengikut dan pendengar, bukan yang meminpin. Tapi karena kata Bang Juna—kakak kelas yang merupakan ketua Majelis Perwakilan Kelas sebelumnya—job desk nya hanyalah memimpin rapat, mengesahkan suara pemilihan OSIS, dan mengawasi kinerja OSIS, Dares yang lembut terbujuk karena sang kakak kelas yang sudah harus melaporkan tatanan baru Majelis Perwakilan Kelas.

             Sebenarnya kata sang kakak kelas, pekerjaannya hanya pangku tangan kalau mau. Toh, Majelis Perwakilan Kelas hanya akan sibuk selama periode pemilihan ketua OSIS. Entah kenapa, di sekolahnya tidak ada formalitas mengenai MPK. Yah, seperti kebanyakan sekolah, OSIS lebih banyak disorot.

             Dares menjadi ketua sampai tahun depan bersama Chiko yang menjadi wakilnya. Dares sebenarnya tenang saja. Toh ada Devan juga yang akan menemaninya. Walaupun Devan juga masuk karena dia adalah sekertaris dua di kelasnya namun tidak mau mengurus absen dan jurnal kelas.

Rapat pemilihan ketua OSIS sudah akan segera dimulai. Anggota Majelis mau tidak mau harus berada di sekolah lebih lama ketimbang yang lain untuk mempersiapkan lembaran pendaftaran calon Ketua dan Wakil Ketua OSIS.

             "Res, kamu udah fotokopi semua? Kalau udah jangan lupa minta bon sama tukang fotokopi, ya." Chiko mengingatkan. Jangan heran jika Chiko lebih lembut kepada Dares, semua orang sudah bilang Chiko sedikit pilih kasih pada temannya yang itu.

Dares yang menghitung jumlah fotokopian membeku di tempat, "Eh...? Wajib ya?" Dares bertanya dengan santai. Chiko hanya mengangguk, namun sedikit rasa curiga dan tidak tenang sudah memasuki kepalanya, "Iya, Res. Kalau engga ga bisa dilaporin ke bendahara buat minta ganti ke pembina." Jawab Chiko sangai.

Dares membeku ditempat. "Dares lupa minta, Chik.... Gimana dong? Uang jajan Dares buat makan siang minggu ini...." Dares terdengar bingung. Chiko yang mendengar itu menatap Dares tanpa menyembunyikan wajah terkejutnya. "Res, kan udah gue ingetin. Kenapa kamu masih lupa aja? Duh, kamu ini gimana...." Chiko menggeleng bingung, "Inget fotokopi di mana, engga?" Dares menggeleng. Chiko berusaha menahan suaranya agar tidak meninggi, berdiam untuk meredam semua omelan. Jika tidak mengingat bahwa yang sedang berbicara dengannya adalah Dares mungkin Chiko sudah meninggikan suara.

"Lo berdua lama amat sih?" Devan membuka ruangan rapat sambil melepas iPod miliknya, "Ini lagi, lo napa kayak anak ilang Res?" Devan menatap wajah Dares yang bingung. Ia bisa mengenali wajah sahabatnya dengan mudah, termasuk Chiko yang sedang kesal.

Yah, bukannya uangnya sangat besar atau apa. Tapi setidaknya uangnya cukup untuk makan siang seminggu, ditambah ada juga run down acara yang sudah dibahas untuk lama masa kampanye dan jadwal-jadwal lain yang di fotokopi. Apalagi sekolah selalu membutuhkan bukti keluarnya dana walau sudah tahu itu uang murid, tanpa bukti mereka tidak akan mau bayar.

"Si Dares fotokopi nya kagak pake bon. Udah gitu ga inget fotokopi di mana." Chiko menjelaskan singkat. Devan hanya menghela napas, "Ya udahlah. Lo masih inget harganya?" Devan bertanya pada Dares. Dares hanya mengangguk, "Masih atuh. Duit masa lupa." Dares menjawab. "Nah, lu ke koperasi, minta bikinin bon. Atau ke fotokopi mana kek, susah amat." Devan memberi solusi mudah. Dsres hanya mengangguk mengerti, "Ih pinter juga kamu Dep, ga salah punya sohib kayak kamu." Dares tersenyum lebar.

Hari baru telah datang di SMAN 2 Bandung. Dares dan beberapa anggota MPK lainnya harus berkeliling memberikan lembaran formulir. Dares berpikir hal itu akan mudah karena ia sudah melihatnya benerapa kali, namun sepertinya tidak.

"Pagi semua. Eum ... saya dari .... itu, MPK mau...," Dares terbata-bata. Ia tidak tahu harus bicara apa. Kata-kata anggota lainnya pun sudah lenyap dari otaknya. Dares hanya menengok kearah teman-temannya meminta bantuan, membuat Chiko dan Devan maju untuk kesekian kalinya.

Dares hanya menenggelamkan wajah di lipatan tangannya. Ia duduk di pojokan ruang rapat saat tidak ada siapapun. Semua orang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Rasa percaya dirinya sudah mencapai titik minus. Menyebalkan juga jika diingat bagaimana ia terbata saat didepan kelas padahal dia juga harus memimpin rapat dan kampanye.

             Suara langkah kaki yang mendekat ia abaikan. Ia ingin bersembunyi sebentar dari teman-temannya. Toh, ia berada di dekat lemari, ia tidak akan terlihat.

             "Aing mah juga sregnya sama Aa Chiko atau Aa Devan. Aa Devan beuh, cool pisan. Pas ngomong, rada cuek tapi engga belagu. Aa Chiko juga keren." Suara gadis yang memasuki ruang rapat. Dares yang mendengar itu berusaha sembunyi agar tidak terlihat. Dia tahu ini fakta menyakitkan, tapi ia ingin dengar lebih.

             "Ga usah komentar masalah Bang Chiko, Bang Devan, atau Bang Dares. Do your work properly first, your comment doesn't help nor important."

             Dares kenal betul dengan suara ini suara Vernon dengan intonasi yang jarang didengar olehnya. Jelas sekali Vernon kesal. Walaupun berusaha meredam, suara kesal Vernon terdengar jelas bagi Dares yang menghabiskan banyak waktu dengannya. "Ih, sensi banget masalah temen sia. Aing tuh jujur, Non. Aa Dares tuh baik dan ramah tapi ya-" "Gue bilang ga usah komentar susah ya? Lakuin aja tugas lo yang bener, komentar lo nolong engga penting juga engga. Harus banget gue terjemahin? Bang Dares juga kerja keras, bisa hargain 'kan?" Potong Vernon dengan nada yang dingin.

Begini lagi, batin Dares. Lagi-lagi Dares harus dibantu yang lain. Bukannya Dares tidak tahu fakta ini. Ini baru awal pekerjaannya, tapi Dares sudah tidak komeoeten seperti ini. Saat pembagian formulir, Dares sudah sadar titel ketua memang tidak cocok untuk dirinya. Chiko yang stabil atau Devan yang realistis lebih cocok.

"Beginian aja ditolongin Vernon...." Dares berbisik pelan pada dirinya sendiri. Suara langkah Vernon yang menjauh diikuti dengan suara gadis yang mengomel karena reaksi Vernon yang dianggapnya berlebihan. Meninggalkan Dares yang tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Dares termenung. Hal kecil seperti bon sudah lupa, harus ditolong Devan. Bicara depan kelas juga ditolong lagi oleh Devan dan Chiko. Membela diri pun harus ditolong Vernon. Dares merasa rendah diri untuk menduduki bangku ketua.

"Apa Dares mundur aja ya...?"

CHARETEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang