Chapter 25

558 98 0
                                    

Masih dengan Giovin Abimanyu, kelas dua SMA.

             Hari ini Chareteen tidak berkumpul untuk sekedar jalan-jalan bodoh ataupun menginap di rumah Satria. Tidak ada. Semuanya tengah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Entah Aljun yang dengan Paskib nya. Anggota OSIS dan Dares yang tengah menjabat jadi ketua MPK yang harus menghadiri rapat. Atau mungkin, sekedar diminta untuk menemani sang Ibu untuk berbelanja seperti Satya.

             Hanya ada dirinya dan Dino dan Devan di sana. Devan memang seharusnya menemani Dares, tapi rapat hanya membuatnya mual. Banyak bualan formalitas dan tuntutan oleh pihak yang bahkan tidak mau bergerak. Dan Dino? Tengah berceloteh mengenai gadis cantik yang baik hati di kelasnya.

             Bukan rumah megah seperti milik Satria, tapi hanya rumah warisan nenek yang teduh saja yang ada. Rumah milik nenek dari pihak Ibu Abim yang sejuk jadi perhentian tiga pemuda itu dengan nyaman.

             "Cewe mulu lo pikirin, nilai turun baru tahu rasa." Devan menguap, inikah yang dirasakan orang tua saat mendengar anaknya jatuh cinta? Mungkin iya. Tapi Devan tidak mau ambil pusing dengan cerita Dino, toh ia tahu itu hanya cinta monyet ala-ala anak SMA. Abim menyikut Devan yang kini tengah bersandar padanya, "Lo mah paan si jadi abang? Itu adek lagi jatuh cinta malah lu patahin duluan ekspektasinya," Abim merespon melihat ekspresi Dino yang muram. Devan berdecak, "Cinta monyet. Ngapain serius banget sih ah. Kecuali lo pengen nikahin tuh anak serah dah." Devan menjawab santai, meletakkan posisi Abim kembali seperti semula agar ia bisa kembali ke posisi nyamannya.

"Idih, Bang Devan mah emang ngga ngerti perasaan remaja sih. Pikirannya penuaan dini, ga ada romantisnya. Awas ga bisa nikah." Dino meledek balik, sambil menuliskan beberapa jawaban pada buku tugasnya. Abim tertawa mendengarnya, "Ngaco lu, cil. Masih jauh nikah-nikahan, udah nyumpahin orang aja lu." Abim merespon geli yang disambut dengan tawa oleh Dino. Devan hanya berdehen santai, "Kalau sampai umur tiga puluh lima ga ada yang nikah sama gue ntar gue nikahin Abim aja biar ga pusing." Devan merespon tanpa banyak pikir, membuat keduanya melotot.

"Napa gua dah?" Abim bertanya aneh. Bukan memandang aneh disebut oleh Devan untuk dinikahi, tapi dari banyak pilihan kenapa Abim? Apa jangan-jangan Devan memiliki perasaan padanya? Kira-kira begitulah duga Abim.

"Satu, gue asal pilih. Kedua, ga ada cewe atau laki yang mau sama manusia kayak elu. Kasian gua." Devan menjawab realistis.

Abim menggerakan tangannya untuk meng-head lock sobat sebayanya itu. Membuat teman sebayanya dengan postur yang lebih kurus itu menepuk-nepuk lengan kekar Abim yang mencekiknya. Dino tertawa, "Tapi bener sih. Bang Abim kan ga jelas, pawangnya kudu kayak Bang Devan supaya nurut." Abim hanya melonggarkan lengannya dari Devan dan menatap yang lebih muda tak percaya, "Lo pada kalau mau gangguin gue doang napa di kandang gue sih?" Tanyanya tidak terima.

"Ya sama kayak guguk. Diajak mainnya di kandang sendiri." Jawan Devan, menepis lengan Abim dan duduk bersandar di sofa. "Fak lah," Abim mendengus, "Sekalipun elu umat manusia terakhir di alam semesta ini juga gue bakal mau nikah sama lo." Abim berargumen. Devan hanya mengibaskan tangannya, "Ya ya ya. Serah lo. Silahkan lo ngomong gitu atau mikirin itu kalau pernikahan sesama jenis ada hukum resminya. Gue rasa gue nikah duluan kdtimbang elo." Devan menjawab setengah sadar.

"Abim, eh. Ada Devan sama Dino?" Suara pintu yang terbuka dengan sosok Ibunda Abim yang membawa kantung besar belanjaan di tangan kanan dan kirinya. Ini masih pukul lima sore. Dan Abim tidak tahu kalau Ibunya selalu di rumah se awal ini?

Devan dan Abim serempak mengambil belanjaan yang terlihat berat dari wanita itu, padahal Ibunda Abim sudah berkata untuk santai saja.

"Siapa yang dianggap Abim saudara juga anak bagi Tante." Begitu ucap beliau ketika merayakan ulang tahun Abim dahulu.

Abim hanya menatap barang belanjaan super market yang sangat banyak ini. Seingatnya, sang Ibu tidak pernah impulsif membelanjakan uang hanya karena diskon. Dan tadi, masih ada makanan yang cukup untuk dua orang sampai beberapa hari kedepan.

"Mama ada apa sampai belanja sebanyak ini? Diskonan apa gimana?" Abim bertanya saat meletakkan plastik belanja besar di atas meja dapur. Dino berjalan mendekati dapur untuk duduk di meja makan bersama Devan yang sudah selesai meletakkan kantong belanjaan, "Tante ada syukuran apa?" Tanya Dino polos menatap empat kantong besar yang penuh, menlihat tangan Devan cukup merah setelah membawanya.

Ibunda Abim hanya tersenyum, mengusap dan merapikan rambut putra kandungnya dengan lembut, "Engga kok anak-anak. Tante cuman ada acara. Nanti ikut aja." Wanita itu berucap hangat. "Makan malem di sini Ma?" Sang Ibunda mengangguk.

"Mama mau ngenalin seseorang. Engga formal tapi nanti mandi ya, jangan bau matahari kamu." Ucap sang Ibu. Devan dan Dino melempar tatapan pada satu sama lain dengan Abim yang hanya mengangguk santai.

Tidak ada yang tahu, kemana angin akan bertiup.

CHARETEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang