"Nunoooo!" Itu Dares. Suaranya menggelegar di stasiun membuat Nuno sendiri ingin menyembunyikan wajahnya di suatu tempat. Bagaimana tidak? Dares berhasil membuat keduanya menjadi tontonan satu stasiun.
"Santai Res. Gue ga budeg." Walau Nuno menegur, tetap saja, senyum lembut tidak pudar dari wajahnya. Beberapa pekan di Ibukota melelahkan karena tidak ada orang yang bisa jadi sandaran untuk ditemuinya. Selain rekan belajar dan dosen pembimbingnya, sepertinya tidak ada lagi yang ia temui di Ibu kota. Jadi suara Dares yang menggelegar saat menyambutnya terasa sangat menyenangkan dan memalukan untuk didengar.
Selain Dares, ternyata ada Aljundi dan Chiko yang mengikuti di belakang. Wajah Chiko masih setengah mengantuk, shiftnya terasa panjang tadi malam. Sedangkan Aljundi baru saja AFK dari game kesukaannya. Toh bukan ranked katanya.
"Gimana?"
"Kelar, lancar semua. Tinggal wisudaan aja nanti."Ya. Nuno sudah menyelesaikan kuliahnya selama empat tahun. Di upacara kelulusan semseter depan, dirinya akan diwisuda dan akhirnya menyadang gelar S. Psi di belakang namanya.
"Ke tempat gue atau Bang Jov? Anak-anak lagi ke tempat Bang Jov sih." Tanya Aljundi mengarahkan ketiganya untuk berjalan ke parkiran mobilnya. "Bang Jov ajalah. Ke yang ramean aja. Tapi masih cape juga sih gue...," Nuno agak ragu dengan pilihannya. Energinya tidak seratus persen, tapi ia juga—um, rindu dengan teman-temannya. Sedikit memalukan untuk diakui, tapi itulah adanya. "Bang Jov aja kalau gitu, nanti kalau cape balik aja. Buruan, gue laper." Chiko yang sedari tadi diam mengomel karena tidak ada keputusan final sedangkan mobil Aljundi sudah terpakir dekat. "Lah, bangun dia. Gue kira lo tidur sambil jalan." Chiko hanya mendengus mendengar respon dari Nuno. Ia memang tidak banyak bicara, ia masih mengantuk tapi tidak ingin tidur.
Aljundi hanya tertawa pelan dan menggeleng lalu menekan tombol untuk membuka kunci mobil agar Nuno bisa memuat tasnya ke bagasi. "Lagian lucu banget, Bang Jun sama Bang Jov temenan tapi saingan cafe juga." Dares bergumam. Mungkin terlalu keras untuk disebut mengguman karena ketiganya masih bisa mendengar anak itu. "Beda target pasar, Res. Itu cafe Bang Jov awalnya kan kayak tongkrongan ala warpat. Nongkinya anak muda cihuy, kalau punya si Aljun mah marketnya estetika penggemar kopi dan pesta teh sore kerajaan." Nuno menjawab dengan mudah. Keduanya memang punya estetika yang berbeda pada dasarnya.
"Eh, betewe, No. Lo udah denger kabar dari Bang Johan, 'kan?" Aljundi membuka suaranya tepat setelah pintu ditutup oleh Nuno di bangku penumpang depan. Nuno hanya mengangguk tanpa menoleh, tangannya masih terlalu sibuk untuk memakai sabuk pengaman dan mengambil minuman di tasnya. Respon santai Nuno tidak memuaskan Aljundi. Melihat bagaimana pemuda itu masih dengan santai meneguk minumannya. "Lo ga kaget apa? Apa lo ga tahu siapanyang dinikahin Bang Johan." Nuno hanya menggeleng dengan pipi sedikit menggembung karena air yang masih tertahan di mulutnya.
"Mantannya Bang Jovian." Suara Chiko berhasil membuat Nuno tersedak karena menahan air untuk lolos dari mulutnya, "Bercanda lo? Kakaknya Adel dong berarti?" Nuno akhirnya memberikan respon yang diinginkan Aljundi, membuat pemuda yang sebaya dengan Nuno itu mendengus, "Ya iya. Masa lo ga inget nama keluarganya persis begitu?"
"Jangan bercanda, anjir." Nuno merogoh sakunya, mencari ponsel miliknya dan mencari ruang obrolan group mereka yang dia ingat baru saja membahas undanan pernikahan Johan saat malam. Jika yang dibicarakan temannya adalah kakak dari Adelia yang sama dengan yang ia ingat, maka nama keluarganya seharunya adalah Pratama.
"Bener ga?"
Nuno terdiam sebentar membaca nama mempelai dengan teliti.
Johan Aditama Suganda ... dan Sonia Jocellyn Pratama.
Oh, kenangan familiar masa SMA miliknya kembali keingatan. Sosok gadis dengan nama keluarga Pratama yang cukup populer di sekolah mereka pada masanya karena sang kakak adalah primadona yang baru saja lulus. Iya, calon mempelai wanita yang ada di undangan itu adalah sang primadona sekolah yang ia ingat berteman cukup akrab dengan Satria, Jovian, dan Johan. Sonia si putri sulung keluarga Pratama.
"Hah.... Beneran Sonia banget nih?" Aljundi yang tengah menyetir hanya tersenyum miring, "Lama juga lo sadarnya." Dares dari belakang hanya tertawa pelan, "Kan yang diinget sama Bang Nuno mah adeknya, bukan kakaknya." Pernyataan itu berhasil membuat Dares mendapat tatapan tajam Nuno yang, yah, setidaknya berhasil membuat Nuno diam.
"Ya ga masalah ga sih? Toh mereka putusnya pas sebelum lulus-lulusan, 'kan?" Nuno tidak ingat banyak, benar kata Dares, bahwa ia lebih mengingat putri bungsu keluarga Pratama dibandingkan dengan si putri sulung. "Kalau lo lupa kenapa mereka putus ya karena keluarganya Teh Sonia tuh nomaden karena bisnisnya. Di Bandung aja tuh mereka agak lama sampe tiga tahun, pas lulus ternyata harus pindah lagi makanya putus gara-gara Bang Johan ga bisa LDR."
Omongan Chiko membuat Nuno sedikit paham. Ini rumit, padahal ia baru pulang kembali dari perantauannya, tapi setelah pulang ternyata ada hal serumit ini. "Bang Jov?" Nuno menoleh ke arah Aljundi, matanya seolah meminta jawaban pada teman sebayanya. Aljundi mengangkat bahunya, "Ambigu, dia ga bahas fakta mereka mantanan sih, tapi mukanya sedih. Toh, Bang Jovian ga pernah pacaran lagi sehabis putus sama Teh Sonia kalau lo inget-inget."
Nuno tidak suka ikut campur kehidupan asmara orang lain. Secara general, ia tidak mau tahu masalah kehidupan orang lain. Toh hidupnya sendiri sudah cukup untuk membuatnya memijat kening karena pusing. Tapi hal ini berbeda. Jika seandainya salah satu saja dari mereka ada yang bertindak kekanakan, maka secara sederhana, ia harus mempersiapkan diri akan keretakan hubungan pertemanan mereka yang mungkin bisa terjadi.
"Udah deh, ga usah dipikirin. Bang Jovian sama Bang Johan ga setolol itu buat ributin masalah ini." Chiko membuka suaranya setelah keheningan panjang, seolah-olah tahu apa yanga da di pikiran tiga temannya itu.
Tak ada yang menjawab dalam keheningan itu. Yang jelas, dalam diam, keempatnya hanya berharap bahwa apa yang dikatakan Chiko ada benarnya. Karena pada dasarnya, ombang-ambing emosi manusia tidak bisa diprediksi.

KAMU SEDANG MEMBACA
CHARETEEN
FanfictionChareteen adalah sekelompok pemuda paling bahagia di Bandung. Tapi, itu adalah kisah lima tahun yang lalu. Lalu, bagaimana jika sekarang? CHARETEEN : (n) ketika SEVENTEEN melokal dan menjadi tiga belas pemuda yang pernah merajai SMAN 2 Bandung.