Chapter 6

1.1K 215 5
                                    

Pagi baru setelah percakapan yang mengudara hingga tadi malam. Kampus ITB tentu saja masih terisi mahasiswa-mahasisiwi yang entah belajar, tidur, atau mungkin mengerjakan tugas di suatu tempat.

Kepala Satya yang terbaring di atas meja perpustakaan dengan Devan yang hanya menatapnya iba. Devan masih melanjutkan kegiatannya membolak-balik brosur pameran seni yang baru saja di laksanakan di sekitar kota Bandung. Devan menatap ponselnya yang mendadak bergetar bersama dengan ponsel Satya yang berbunyi, menarik perhatian beberapa orang yang duduk di meja yang sama dengan mereka. Devan meringis dan menunduk minta maaf atas bunyi ponsel Satya. Devan mengambil ponsel yang berada dekat Satya dan mematikan pengaturannya menjadi mode senyap. Namun notifikasi dari ponsel Satya membuatnya teralih.

Nuno mengundang anda kedalam 'CHARETEEN LAGI'.

Devan melirik ponselnya yang baru saja bergetar dengan tanda notifikasi yang masuk. Notifikasi dari aplikasi dengan isi notifikasi yang sama dengan milik Satya. Devan tersenyum dengan notifikasi yang ada di layarnya tersebut. Devan membuka aplikasi pesan milik Satya dan miliknya, meng-klik isi group yang diundang oleh Nuno beberapa menit lalu.

Nuno :
Eh, Satya sama Devan.
Welcome gan.

satria :
lah udah nemu???
kok ga ngabarin gua?

Jovian :
faedah nya ngabarin elo apa?

Devan :
faedah nya ngabarin elo apa? (2)
orang abang satu univ sama kita aja
abang ga ngabarin yang lain
mending kalo dijajanin

satria :
ya udah si maap
kan lupa
sibuk sidang

chiko :
brisik lo pada

Devan hanya geleng-geleng dengan isi notifikasi yang bergerak cukup cepat dalam kurun waktu satu menit tersebut. Ditambah dengan pesan yang tak lain berasal dari yang lebih tua membuat group itu hening seketika dengan Satya yang menggerutu di depannya. Devan hanya menendang kaki yang lebih muda dengan pelan dan memberikan tatapan mata kurang menyenangkan sebagai peringatan. Jika tidak, Satya bisa-bisa mengomel dengan suara keras karena keceplosan. Devan tidak mau menanggung teguran lainnya dari pengguna ruang perpustakaan lainnya.

Satya hanya memasang wajah bodoh pada lawan bicaranya. Devan menghela napas dan mengalihkan fokusnya pada buku yang ada di genggamannya. Sedangkan Satya, masih setia di sana dengan ponsel pintar di tangannya. Melihat-lihat beranda akun sosial medianya tanpa selagi mengisi jam kosong.

"Bang," panggil Satya pelan yang tidak diresponi dengan respon apapun oleh Devan. "Bang." Satya memanggil lebih keras, membuat Devan mendongak dengan wajah kesal, "Apaan sih?" Ketus Devan. "Gitu aja kesel, baperan dasar." Satya mencibir, namun dengan cepat menunjukkan ponsel miliknya. "Bang, lo inget kabar terakhirnya Bang Abim ama si Dino ga?" Tanya Satya, "Kalau gue ga salah, mereka di universitas yang sama 'kan, Bang?" Sambung Satya dengan pertanyaan lainnya. Devan terdiam sebentar mengingat perpisahan mereka dulu setelah kelulusan dari bangku sekolah menengah atas, lalu mengangguk, "Kalau Abim, pas itu emang mau lanjut UNPAD. Si cilik juga kesana ga sih kalau ga salah? Soalnya pas lu pada lulusan, gue ga datang." Jawab Devan. Satya mengangguk membenarkan, "Kedokteran tuh anak."

"Kenapa mendadak nanya gitu?" Devan terheran, meletakkan pembatas buku pada halaman yang ia baca sebelum menutupnya. Satya terdiam sebentar, "Heran aja sih, Bang. Kita seolah tahu satu sama lain ada dimana, tapi kitanya yang ga kontak mereka duluan? Atau engga?" Ujar Satya dengan ragu. "Kayaknya? Yah, sejak gue kuliah, gue engga sebebas zamannya masih putih abu-abu, Ya. Sampai terakhir kali, gue coba kontak si Abim dia udah ga bisa dihubungi." Respon Devan.

Keheningan merajai suasana di antara kedua mahasiswa. Hal tersebut tidak bertahan lama. Pasalnya, Satria datang dengan lembaran kertas tebal dan wajah letih. Satria mengambil posisi untuk duduk di samping yang paling muda sebelum menenggelamkan wajahnya kepada lipatan kedua tangannya. Dua orang yang lebih muda hanya menggeleng heran. Bagaimana tidak? Orang yang baru saja datang ke antara mereka sedang sidang. Memang agak lama, karena yang paling tua sempat mengambil jeda satu tahun sebelum memasuki universitas.

"Abim apa kabar, Bang?" Devan membuka suara membuat Satya terbelalak kaget. Pasalnya, membahas Abim pada Satria adalah hal tabu baginya. Sekalipun, Satya tak pernah mempermasalahkan hal ini. Devan hanya mengangkat alisnya, membuat ekspresi yang seolah menanyakan kata 'kenapa' pada yang lebih muda.

Satria mengusap wajah nya kasar, memaksakan sedikit tenaga untuk berdiri tegap, "Ya gitu lah. Gue masih belum berani ngomong," ujarnya, "Berita dia juga gue cuman denger dari bokap." sambungnya. Devan hanya mengangguk, "Cepet kelar ya, Bang." Hibur Devan membuat Satria tersenyum. "Kalau gue pikir-pikir, engga elo engga Jovi, pikirannya mirip." Satria terkekeh.

"Gimana sidang, Bang?" Satya mencoba mengalihkan pembicaraan. Pertanyaannya diresponi dengan helaan napas oleh Satria, "Ga ada otak, Ya. Masih belum giliran gue, tapi otak udah ngebul nanti gimana." Satria mencurahkan pikirannya. Satya menepuk pundak yang lebih tua, "Awas gelagapan nanti." Yang lebih muda meledek, memancing sebuah sikutan pelan dari yang lebih tua ke perutnya.

"Gue sempet nanya Johan sih sidang dia gimana. Dia bilang biasa aja." Satria berkata tiba-tiba. "Loh? Bang Johan udah lulus?" Tanya Devan tertarik mendengar nama yang familiar baginya. Satria hanya mengangguk, "Semester lalu. Undur satu semester ngejar SKS soalnya." Satria menambahkan. "Lah? Kok, elo ga ngasih tahu sih, Bang?" Tanya Satya dengan nada tidak terima.

Satria membuka ponselnya dan menunjukkan foto wisuda dari Johan. "Tuh, dah lulus dia. Lupa gue ngabarin kalian, pas itu gue juga kelabakan sama kerja sampingan bareng si Chiko." Ujarnya santai. "Mau ketemu? Kalau mau, nanti coba gue chat. Gue juga lama ga ngontak dia."

CHARETEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang