Jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Dan Nuno, dia masih sibuk bergelut dengan laptopnya. Sebuah hal wajar bagi mahasiswa akhir.
Nuno mengklik pilihan simpan pada layarnya, lalu membiarkan punggungnya mendarat pada bantalan bangkunya yang empuk. Tangannya melepas kacamata yang beristirahat di hidungnya, dan memijat pelan keningnya.
Nuno tidak bisa beristirahat lama karena dering ponselnya sudah menganggu waktunya untuk bernapas sebentar. Ia hampir saja menekan tombol menolak telpon jika saja ia tidak melihat bahwa Chiko lah yang menelpon. Nuno spontan menekan tombol berwarna hijau.
"No? Nyokap Bokap rumah engga?" Suara Chiko terdengar jauh. Atau mungkin memang Chiko berada di tempat yang berisik mengingat memang Chiko terkadang dapat shift malam. Pekerjaannya sebagai servant di bar memang kadang membuat tempat sekitarnya sedikit bising.
"Kaga, Nyokap sama Bokap belum balik sejak gue ke sini. Kenapa?" Tanya Nuni balik sedikit dingin. "Aduh, Jun! Bangun woi!"
Kerutan-kerutan di kening Nuno muncul. Jun? Apakah Jun yang dimaksud oleh Chiko adalah Jun yang dia kenal? "Eh, ini si Johan boleh bawa Aljun ke tempat elu gak? Kaco bener nih anak anjir. Gue masih shift, rumah lo paling deket dari sini. Bisa mampus si Johan nyeret si Jun." Chiko terdengar beberapa kali mengomel pada Aljun. Nuno sendiri heran. Jun bukan tipe orang yang akan meneguk minuman keras untuk melepas lelah atau apapun. Ada apa sampai Jun seperti itu?
"Dateng aja udah." Jawab Nuno mudah lalu mematikan telpon. Nuno mengambil jaketnya dan memilih duduk di teras menunggu Johan dan Jun.
Dua puluh menit kurang lebih. Nuno sudah melihat sosok Jun yang dipapah oleh yang lebih tua. Nuno memasang sendal jepit hijaunya lalu berlari untuk membantu Johan membawa Jun yang sempoyongan.
"Anjir Jun, ngapa lo?" Tanya Nuno dengan nada sedikit dinaikkan sambil meletakkan lengan Jun di pundaknya. Jun hanya tertawa bodoh. Wajahnya memerah, napasnya bau alkohol. "Ngga tuh~? Hehe, gue kan juga biasa hik- gini No?" Balas Jun tidak karuan. Johan hanya bisa menggeleng. "Bawa kamar kamu dulu ya No? Kasih tidur aja nih anak, kacau." Johan berucap hangat dengan wajah khawatir pada Jun.
Nuno hanya menghela napas kasar, lalu memopoh Jun ke kamarnya agar cepat membiarkan anak itu istirahat.
Nuno mengambil segelas air setelah berhasil meletakkan-atau mungkin lebih tepatnya melemparkan-tubuh Jun ke atas kasur milik Nuno. Johan dengan telaten melepas sepatu dan kaos kaki milik temannya dan meletakkannya di luar, lalu memposisikan tubuh yang lebih muda agar tidak tidur dengan kaki menggantung.
"No, Abang minjem kamar mandi ya." Izin Johan sedikit berteriak karena Nuno sedang berada di dapur. "Pake aja, Bang!" Jawab Nuno agak keras. Setelah mendapat izin, Johan menyalakan keran wastafel di kamar mandi Nuno untuk mencuci tangannya dan wajahnya juga setelahnya.
Nuno kembali membawa sebotol besar air dan tiga buah gelas. Tidak lama, Johan juga keluar dari kamar mandi dengan rambut depan yang sedikit basah, lalu duduk di atas kasur Nuno.
"Lu juga kenapa bisa di sana, Bang?" Nuno melirik dari ekor matanya. Semua terjadi begitu cepat. Padahal Nuno belum sempat bicara banyak dengan Johan.
Johan hanya terkekeh pelan, "Coba tebak dong?" Tanyanya mengusili yang lebih muda. Nuno menatap heran, "Heeh, yang jelas ga mungkin Abang minum. Abang ga demen minum, ditambah, mana ada orang ke bar pake sendal selop, kaos, jaket, sama jeans ngaco doang." Ketus Nuno.
"Itu Nuno tahu," respon Johan tenang, matanya yang sendu terlihat lebih sedih dari biasanya, "Tadi Jun nelpon Abang, No." Johan berbicara dengan tenang. "Gue engga tahu ada apa. Waktu kalian pada sering ke cafe nya Jovian, Abang kadang main ke cafe nya Jun waktu Abang belom lulus," mata Johan menatap jauh, memberi jeda pada ceritanya, "Yah, kamu tahu kan No. Gimana keluarganya Aljun? Apalagi waktu tahu Aljun engga lanjut jadi paskibraka nasional ataupun lanjut kuliah." Johan mengacak rambut pemuda bernama Aljundi yang sedang tertidur itu.
Nuno kebingungan. Ia tidak tahu bagaimana harus merespon. Johan adalah orang yang cukup tenang dan pengertian, jadi baginya, tidak menjawab atau memberi respon pun, Johan akan mengerti posisinya.
"Yah, apalagi kamu bayangin aja, No. Aljun juga anak seumur kamu, harusnya lebih gampang buat kamu bayangin." Johan menatap Nuno dengan senyum tipis terukir di bibirnya. "Maksud Abang apaan?" Nuno bertanya, tidak menyembunyikan kebingungannya.
"No, mau nikah ga?" Johan tersenyum cerah, membuat Nuno menatap horror yang lebih tua itu. "Bang.... Gue boleh jomblo, tapi syukur masih demen cewe gue bang." Nuno menjawab, memeluk dirinya sendiri menjauh. Johan tertawa, "Ngaco ah," tepis Johan bercanda, "Nikah biasa lah, No. Bukan sama Abang." Nuno melonggarkan perlindungannya, "Yah.... Ngga lah, Bang. Kerja aja belum. Masih muda banget gue. Pacar aja kaga ada."
Johan tersenyum sedih, "Nuno juga begitu 'kan...."

KAMU SEDANG MEMBACA
CHARETEEN
FanfictionChareteen adalah sekelompok pemuda paling bahagia di Bandung. Tapi, itu adalah kisah lima tahun yang lalu. Lalu, bagaimana jika sekarang? CHARETEEN : (n) ketika SEVENTEEN melokal dan menjadi tiga belas pemuda yang pernah merajai SMAN 2 Bandung.