Chapter 7

1.1K 204 5
                                    

Jovian masih berurusan dengan pembukuan cafe miliknya, mengabaikan yang lebih muda yang ada di sebelahnya. Tangannya masih berkutat dengan kalkulator dan pena di atas buku besarnya. Chiko hanya sibuk bermain ponsel dan segelas teh dingin selagi jam kerjanya belum tiba. Toh, masih pukul tiga. Chiko masih memiliki tiga jam sebelum jam kerjanya dimulai.

Lonceng di atas pintu masuk cafe milik Jovia berbunyi, mengundang ucapan selamat datang dari pekerja di cafe milik Jovian itu. Walau cafe nya tidak terlalu besar, Jovian tetap tidak bisa mengatur cafe itu sendirian. Bagaimanapun, orang tuanya sudah terlalu tua untuk mengurus usaha keluarganya itu.

"Bang!" Satya melemparkan tasnya dengan pelan ke atas meja Chiko dan Jovian, memancing keterkejutan dan kata sumpah serapah yang hampir terucap dari Chiko. Jika tidak mengingat ini tempat publik, mungkin Chiko sudah mengutuki yang lebih muda. Namun tatapan membunuh tidak bisa disembunyikannya kepada yang paling muda. "Ga ada akhlak lo, Ya! Syukur gue kagak ngulang hitungan, gendeng!" Jovian mengomel dengan mata melotot. "Gi idi ikhlik li, Yi." Satya mencibir, atau lebih tepatnya meledek sang pemilik. "Ya lagian, Bang Chiko sama Bang Jovi berduaan tapi diem-dieman. Udah kayak sama mantan aja. Gue sama mantan aja akur." Satya mengoceh sembari menarik kursi di hadapan Chiko, dan seperti biasa, meneguk minuman orang lain tanpa seizin sang pemilik.

"Oh, udah ngerasain punya mantan lo?" Chiko bertanya dengan nada menjengkelkan. Namun Satya hanya menyengir bodoh, "Engga sih, Bang. Hehehe." Responnya, lalu meletakkan gelas teh dingin milik Chiko kembali ketempatnya, "Makasih ya, Bang. Gue minta." Izinnya setelah meminum teh dingin itu. Chiko hanya mendecak kesal karena dirinya pun tahu bahwa marah juga akan menjadi percuma.

"Teteh! Tolong es coklat nya satu ya, Teh!" Panggil Satya pada seorang wanita yang berusia di awal tigah puluhan itu. Hal itu berhasil membuat Jovian menggeleng. "Kalau Teh Mira ga ngeliat lo sama gue, yakin gue udah ditegur lo, Ya." Ucap Jovian. Satya sudah memasang wajah sombong sambil mengibas-ngibaskan kemeja luarannya, "Ini namanya privilege temen boss." Jawabnya santai berhasil mengundang sentilan keras di dahinya. "Pala mu privilat privilege. Ga ada aturan emang si tengil." Ketus Jovian.

Keheningan mengudara beberapa saat setelah minuman milik Satya datang ke meja. "Ada apa? Tumbenan ke sini?" Jovian bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari buku dan kalkulatornya. Chiko mengalihkan pandangannya dari ponsel menatap heran pada yang paling muda. "Iya juga, tumbenan lo ke sini?" Satya hanya mengangkat bahunya, "Nebeng minum sama ngadem soalnya ga ada kelas lagi habis ini." Responnya santai. Chiko menggeleng tidak percaya. "Elah Bang, gue bercanda kali." Satya mengibaskan tangannya di hadapan yang lebih tua. "Mau ketemu Dino ga?" Tanya Satya santai. Jovian mengalihkan perhatiannya dari pembukuan cafe nya. "Si cilik maksud lo?" Jovian bertanya memastikan. Satya hanya meresponi dengan anggukan singkat, "Ha'ah. Si cilik. Satu-satunya rakyat aksel yang kita kenal." Satya mengkonfirmasi.

"Lu tahu dia di mana?" Tanya Chiko ragu. Sedikit menarik bagi Satya bahwa wajah Chiko bisa menunjukkan gurat wajah seperti itu jika membicarakan teman-temannya. Satya hanya mengangguk, "Tadi gue mikir kalau kita selama ini tahu satu sama lain ada di mana, tapi emang alami nya manusia aja bakal hilang fokus kalau tempat baru." Jelas Satya membuat Jovian terheran. "Udah lo kontak?" Tanya Jovian. "Kalau belum gue kontak ya ga akan gue tawarin."

"Reaksi dia gimana?" Chiko membuka suara. Satya hanya memutar bola matanya, "Ya elah, Bang. Lu pikir si cilik nih serese kalian? Kaga. Dia mah sans. Cuman yah ... inget aja, siapa yang ada di kampus yang sama," ujar Satya ambigu. "Maksud lo apaan sih? Ga usah ga jelas lah, Ya." Chiko mengomel sebal. Satya tertawa, "Beliin cilok perempatan dulu baru gue kasih tahu, hehehe." Satya menjawab dengan cara yang menyebalkan bagi yang lebih tua. Chiko mengambil buku milik Jovian dan memukulnya telak pada kepala Satya, membuat yang lebih muda mengaduh kesakitan. "Sableng, gue serius!" Chiko sudah sebal membuat Jovian merebut bukunya, "Ga usah pake buku gue juga kali! Ini duit semua!" Jovian mengomel pada Chiko.

"Iya iya iya! Dih, ga bisa santai amat berdua-dua," potong Satya sambil mengelus kepalanya yang kesakitan. Chiko boleh lebih kecil untuk masalah ukuran tubuh, tapi kalau tenaga tangannya diarahkan pada kepala Satya, tetap saja akan terasa sakit. "Ada Bang Abim di sana. Yah, kalau kita yang nengokin sih mungkin b aja. Si Cilik masih main sama Bang Abim, tapi kalau sama Bang Satria, menurut kalian bakal gimana?"

Dengan itu, suasana di antara mereka kembali pada kecanggungan, membiarkan keheningan kembali meduduki suasana.

CHARETEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang