Chapter 28

491 91 4
                                    

W/N : Sorry for such a long hiatus!

Giovin Abimanyu, kelas dua SMA.

Abim hanya menurut saat Sang Ibunda meminta putra untuk mandi. Sedangkah Devan dan Aldion yang sedari tadi main memilih untuk pulang untuk mengerjakan tugas mereka masing-masing.

Kalau boleh jujur, Abim sudah memiliki perasaan kalau ini adalah orang yang ia takuti. Ia takut akan kemunculan orang tua baru.

Iya, Abim bukan bodoh jika tidak dapat menangkap maksud dari ucapan sang Ibu. Abim paham.

Namun pemandangan saat ia tiba ke meja makan adalah pemandangan yang sangat tak pernah ia duga.

Satria. Ada Satria sobatnya.

Abim membeku sebentar, namun hanya menurut ketika sang Ibu memanggilnya untuk duduk. Satria tersenyum ketika melihat Abim, tanpa mengetahui apa yang ada di pikiran anak yang lebih muda darinya itu.

"Bang Satria? Bokap lo?" Abim bertanya pada yang lebih tua. Satria belum sempat menjawab, sang Ibu sudah masuk ke dalam obrolan mereka, "Loh? Abim kenal Nak Satria? Saling kenal?" Tanya wanita itu. Satria hanya mengangguk dengan sopan, "Iya tante, Abim adik kelas sama temen deketnya Satria."

"Wah? Bagus dong, udah akrab buat jadi saudara."

Saudara.

Abim lebih banyak diam sepanjang acara makan malam itu. Hal itu mungkin tidak terlalu terlihat karena Abim yang tetap memberi tanggapan walau hanya seadanya.

Namun berbeda di mata Satria. Satria yang menghabiskan sebagian besar hari-harinya bersama Abim menyadarinya.

Mungkin menyadari sesuatu yang ingin ia tolak. Fakta bahwa Abim tidak menyukai ide pernikahan orang tua mereka.

Namun kali ini Satria ingin menjadi egois. Satria ingin merasakan memiliki Ibu. Semenjak kecil, sang Ayah selalu berusaha sendirian untuk mengisi posisi sang Ibu yang sudah berpulang semenjak dia kecil.

Berbeda dengan Abim yang kehilangan Ayah karena keputusan orang dewasa, Satria kehilangan Ibu karena keputusan Yang Maha Esa.

Acara makan malam selesai dengan baik, di mata kedua orang tua dari Satria dan Abim. Ayah Satria dan Ibu Abim hanya membiarkan kedua anak muda itu untuk mengobrol sambil membereskan meja. Satria basa-basi mengatakan agar kedua orang tua itu mengobrol saja.

Di tempat cuci piring, suasana hening. Abim yang biasanya akan mengoceh dan bermisuh pada Satria kini menjadi bungkam. Satria tidak bisa menyalahkan Abim. Abim yang mungkin terkejut dengan informasi mendadak ini.

"Lo ga suka?" Satria membuka obrolan. Abim masih diam, wajahnya menunjukkan jelas ada begitu banyak pikiran yang tengah memenuhi pikirannya.

"Ga tahu." Hanya itu jawaban yang bisa diberikan Abim. Di satu sisi, ia melihat bagaimana sang Ibu begitu bahagia dan bersinar ketika berbicara dengan Ayah dari Satria. Namun ... di satu sisi yang lain, Abim masih menginginkan Ayahnya. Ia paham, diprioritas Ayahnya tak ada dirinya atau pun sang Ibu. Tapi tetap saja, Abim masih menginginkan Ayah kandungnya.

"Kalau dari sikap lo, gue tahu kok lo ga suka sama ide pernikahan nyokap lo sama bokap gue, Bim," Satria mencoba tenang, ia paham lukanya dan luka Abim adalah dua luka yang berbeda, "Biasanya gue bakal bela elo, tapi kali ini, gue mau dukung bokap dulu ya, Bim."

Mata Satria tidak berplaing dari pekerjaan yang ada di tangannya, tapi ia tahu bahwa Abim kini tengah melihat ke arah dirinya. "Gue mau dukung bokap karena gue lihat, bokap bahagia sama Tante. Tante juga bukan cewe-cewe ga jelas yang ngedeketin bokap karena duit bokap doang, Tante orang baik." Satria memberi jawaban pada pertanyaan yang tidak disampaikan Abim padanya.

"Sorry ya, Bim. Bokap udah lama berjuang sendirian buat gedein gue tanpa bantuan nyokap, mba, suster, atau apapun itu. Makanya kalau bokap udah nemu seseorang yang bisa gantiin mendiang nyokap dan bikin dia bahagia, gue engga mau jadi penghalang buat bahagianya dia." Sambung Satria, meminta maaf lagi.

"Maksud lo kalau lo engga support bokap lo di pernikahan ini, lo jadi penghalang? Kalau gitu, gue juga penghalang bahagia nyokap gue gitu?" Abim bertanya, jelas sedikit tersindir dengan ucapan Satria.

"Hm.... Ga tahu sih, Bim. Lo mau ngambil ucapan gue gimana. Tapi gue tahu mau nyokap lo atau pun bokap gue akan mentingin persetujuan gue dan elo dalam pernikahan mereka." Satria tersenyum pada Abim, "Karena lo udah tahu keputusan ada di tangan siapa, jadi ya sekarang tinggal dari elo nya aja gimana, karena ya as I said barusan, Bim. Asal bokap gue bahagia dengan orang yang baik, gue akan setuju-setuju aja." Satria mengelap tangannya pada kain yang menggantung sebelum menepuk-nepuk punggung Abim yang masih tenggelam dalam perasaan dan kebingungannya.

Jadi saat ini, ia tidak boleh egois?

CHARETEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang