Di sini lah para lima pemuda-pemudi penghuni kota Bandung. Di caffee milik Aljundi dengan Adelia yang tengah menatap lurus Nuno dan Daniel yang tersenyum puas melihat pemandangan mereka--termasuk Aljundi dan Aldion yang terdiam setelah semua informasi yang dibagikan Adelia, dengan izin Daniel tentunya, terdengar oleh ketiganya.
Menurut cerita yang diceritakan Adelia, anak Daniel baru menginjak usia setahun bulan lalu. Anaknya lahir di negeri paman Sam, Amerika Serikat saat Daniel tengah menempuh pendidikan tinggi di negara itu. Singkatnya, pergaulan bebas di sana membuat Daniel terbiasa dengan aktivitas intim dengan kekasihnya, Sunny. Satu tahun kuliah, Sunny memberi tahu bahwa dirinya hamil dan memilih untuk tidak menggugurkannya. Walau Daniel hidup dengan bebas di negeri orang, ia tetap mau bertanggung jawab dengan putri satu-satunya.
Seperti kata pepatah, air susu dibalas air tuba. Walau Daniel sudah berusaha menjadi kekasih dan ayah yang bertanggung jawab, hal itu tidak cukup untuk menghentikan Sunny untuk tidak mencampakan dirinya dan putri mereka.
Pandangan Aldion dan Aljundi pada pria di hadapan mereka berubah. Dsri cerita yang mereka baca dari ruang obrolan, image Daniel adalah pria supel yang penuh dengan matahari di hidupnya seolah semua orang bisa jadi temannya. Siapa yang sangka orang yang mereka kira hanya akan hidup dalam kehidupan masa muda bisa menjadi orang seperti ini?
Sepertinya kisah pertemanan mereka tidak cukup, kisah hidup orang lain selalu berhasil membuat mereka terkejut seberapa besar perbedaan yang bisa terjadi dalam lima tahun.
"Udah berubah mukanya?" Adelia masih menatap lurus Nuno tanpa senyum. Wajah Nuno yang ia tak sukai, wajah yang menuntut penjelasan dengan amarah, sudah luntur dari wajah Nuno.
Nuno merasa bersalah. Hanya karena ruang obrolan teman-temannya dan ingatannya yang buruk, ia menduga Adelia dahulu melarikan diri darinya dengan pria yang lebih muda. Ia cukup bodoh, mungkin belum cukup mengenal Adelia untuk mempercayainya.
"Sorry, Kak. Gue yang ngabarin Bang Nuno lo ke sini sama Daniel. Gue ... kaget tadi." Aldion membuka suara, mencoba membela Nuno. Walau pun sebenarnya Aldion juga ciut jika dihadapkan dengan amarah wanita. Daniel hanya tersenyum menepuk bahu Adelia, "Don't be too harsh on him, lah Kak."
Adelia melembut. Nuno yang menunduk membuatnya sedikit—sangat sedikit merasa bersalah. Ia hanya menepuk bahu pria yang memiliki perasaan padanya dua kali sebelum fokusnya kembali pada minuman yang tadi di antar Bagas.
"Terus, kok lo bisa kenal Adel sih, Dan?" Aljundi yang sedari tadi tidak peduli dengan keberadaan sepasang kekasih itu bertanya prihatin. Matanya menatap pada bayi perempuan lucu di sisi Daniel, "Yah, bokap gue sama bokap nya Kak Adel tuh temen kantor, makanya pas SMA pindahnya rada deketan soalnya sama-sama mutasi. Terus satu gereja pas di Jakarta," Daniel mengalihkan pandangannya pada putri semata wayangnya, "Lost contact sih gue sama semua orang di Jakarta kecuali sama temen bandel gue. Eh, pas balik bawa anak yang nerima cuman Kak Adel sama temen-temen gereja. Hidup suka kocak lah."
Nama putrinya Anastasia. Daniel sedikit bercerita bahwa Anastasia sangat mirip dengan ibunya yang lebih muda setahun dibandingkan dengan dirinya. Mata sedang dengan ujung yang melengkung ke atas dan bibir tipis. Anastasia adalah putri yang manis.
"Lo lanjut kuliah di sini?" Daniel menggeleng, "Bokap kecewa sama gue, as expected. Gue kerja jadi mandor pabrik kain sekarang. Ana kadang gue titip ke keluarga Bang Johan atau ke Kak Adel."
Seisi meja hanya terfokus pada Daniel yang kini tengah fokus menenangkan anaknya yang mulai merasa tidak nyaman. Adelia sibuk mengambil tas bayi dan menyiapkan susu formula sesuai permintaan Daniel.
"Dan, sambil jalan aja apa ya? Udah mau jam janjian kita, biar Ana juga bisa langsung pulang. Udah cape kayaknya? Kak Sonia juga udah jalan." Adelia bertanya khawatir. Anak kecil itu sudah mengikuti sang Ayah bepergian sedari pagi. Sudah sangat wajar anak itu merasa lelah, ini sudah lewat setengah hari. Daniel hanya mengangguk dengan raut wajah khawatir, "Boleh deh, Kak. Nanti biar dibantu sama Tante Lusi juga buat nenanginnya. Duluan ya, Bang Abang. Pinjem Kak Adel dulu nih, Bang Nuno." Pamit pemuda itu membawa tas berisi barang-barang bayi dan beranjak dari tempat itu bersama Adelia yang baru saja mengacak rambut Nuno sebelum meninggalkan lokasi.
Keheningan merajai suasana di antara tiga orang yang tersisa. Pertemuan yang tidak mereka duga membuat mereka tenggelam dalam pikiran.
"Jelek banget udah bubar."
Suara yang mengudara setelah lonceng pintu caffee milik Aljundi berbunyi. Itu Abim yang memasuki bangunan itu sepuluh menit setelah dua pemuda itu meninggalkan lokasi. Ia menarik kursi tadi digunakan oleh Daniel untuk duduk. Ia tidak menuntut cerita, tidak juga menuntut obrolan. Ia saja sudah berusaha agar tidak canggung dengan Nuno.
"Udah ketemu anaknya Daniel?" Pertanyaan itu berhasil menarik perhatian ketiganya.
"Lo tahu, Bang?" Abim mengangguk.
"Lo tahu itu anaknya Daniel?" Lagi, Abim mengangguk.
"Tahu juga ceritanya?"
"Iya." Jawaban Abim sambil mengangguk lagi.
Aljundi mengangkat alisnya bingung dengan jawaban Abim, "Kok lo ga bilang di group chat?" Abim hanya tergelak, "Ga ada yang nanya gue juga?"
Abim hanya terdiam hingga senyumnya sirna, tidak menanggapi cibiran Aljundi. Ia tenggelam dalam pikirannya, memikirkan adik kelas yang dahulu cukup dekat dengannya. Ketiganya menyadari keheningan Abim. Abimanyu yang mereka kenal tidak sehening ini, begitu juga dengan Abimanyu yang Aldion tahu.
"Lo kenapa?" Nuno bertanya dengan hati-hati. Mata Abim masih tidak berpaling, melihat jalanan sore Bandung dalam diam.
"Kaget aja kalau dipikir-pikir sama jalan hidup orang," Abim membuka suaranya, "Gue selalu mikir Daniel bakal jadi salah satu model atau desainer baju terkenal. Anaknya stylish banget dulu waktu ambil job model ecek-ecek," ia tertawa sedikit mengingat-ingat masa lalu, "Yah, sama aja sih. Gue ga pernah mikir gue sama Bang Satria jadi saudara beneran. Pas jadi beneran malah gue ga jelas." Abim kembali melihat tiga temannya, "Gue udah ngelupain pikiran gue bakal kenal kalian lagi lima tahun lalu, and here we are now."
Perkataan Abim membuat Nuno tenggelam dalam pikirannya. Benar, kata Abim. Dalam lima tahun ada begitu banyak perubahan. Mungkin jika ia ceritakan apa yang terjadi sekarang pada dirinya lima tahun lalu, dirinya lima tahun yang lalu akan menertawakan dan berpikir semua yang ia ceritakan ialah omong kosong belaka.
Namun inilah faktanya. Lima tahun merubah begitu banyak hal. Ia sedikit penasaran, apa lagi yang akan berubah kedepannya. Sedikit rasa penasaran dan banyak rasa takut tercampur di sana. Di relung hatinya, tentang masa depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHARETEEN
FanfictionChareteen adalah sekelompok pemuda paling bahagia di Bandung. Tapi, itu adalah kisah lima tahun yang lalu. Lalu, bagaimana jika sekarang? CHARETEEN : (n) ketika SEVENTEEN melokal dan menjadi tiga belas pemuda yang pernah merajai SMAN 2 Bandung.