Chapter 31

522 75 7
                                    

Orang-orang mungkin akan menatap Satria seperti orang gila. Tidak, mereka memang menatapnya seperti orang gila. Bahkan teman-temannya sendiri. Orang gila mana yang akan terlihat sumringah hanya karena membaca pesan Ayahnya? Baru beberapa menit yang lalu saat Satria masih menekuk wajahnya kebawah seperti orang merana.

Jovian hanya menatap aneh teman sebayanya itu. Nampaknya, karena tiadanya kehadiran Nuno dan Chiko membuat anak itu jadi sedikit gila. Satria menatap balik ke arah Jovian yang tengah menatapnya iba dengan tatapan heran.

"Napa lo liatin gue begitu?"

"Kasian aja sih, ga ada Nuno, Chiko, sama Abim kayaknya lo mulai gila deh."

Dan yap, kata-kata Jovian berhasil membuat Satria melempar satu bungkus kecil camilan yang ada di mejanya itu kearah Jovian. Jovian sendiri hanya tertawa, menangkap cemilan yang dilempar Satria dan memakannya, toh, salah Satria melemparkan makanan padanya. Tapi sepertinya memang mood Satria pada hari itu sangat bagus. Ia tidak mengomel sebanyak biasanya. Walau dia adalah yang paling tua di kelompok, Satria tetap kekanakan dan paling sering mengomel, hal wajar jika Jovian merasa aneh.

Lonceng di pintu kafe milik Jovian berbunyi, menampakan Johan yang muncul dari balik pintu dengan wajah ramahnya. Jovian dengan cepat memberi tanda agar Johan kesebelahnya yang membuat pria yang terpaut dua bulan lebih muda itu bingung, namum tetap menurutinya.

"Lo lihat Satria," perintah Jovian, "Aneh ga?" Johan terdiam sebentar. Johan maklum jika teman-temannya aneh, Satria juga salah satunya. Johan hanya menggeleng sebagai respon yang membuat Jovian berdecak, "Kok bisa lo bilang itu ga aneh sih?" Johan mengangkat bahunya, "Kalian kan memang pada dasarnya aneh? Ya palingan sumringah masalah kelulusannya atau gebetannya? Who knows gitu?" Jovian hanya menggeleng pasrah, Johan terlalu positif.

Jovian meninggalkan anak itu dari bagian bar kafenya untuk kembali ke dapur. Johan bingung apa yang salah dari jawabannya, tapi ya siapa peduli? Ia memilih duduk di sebelah sobat SMA nya itu. Satria hanya tersenyum lalu menyapanya dan kembali pada ponselnya. Mengetik, menghapus, mengetik, lalu menghapus lagi. Entah pesan apa yang diterimanya hingga ia terus melakukan itu. Namun, setelah melihat nama yang terpampang di layar, sepertinya Johan mengerti kenapa. Nama Abimanyu kini terpampang di layar ponsel Satria.

"Baikan sama Abim?" Johan bertanya dengan ekspresi wajah yang sama dengan Satria. Satria menggeleng, "Belum. Tapi tadi bokap chat gue katanya Abim manggil bokap gue 'Papa' di rumah."

"Hah? Terus selama ini dia manggil bokap lo apa?"

Jovian sudah bergabung dengan meja mereka dengan dua gelas minuman yang baru dibawanya. Satria dan Johan menengok pada bersamaan, lalu mata Johan kembali pada Satria, "Om." Jawaban Satria sedikit menyayat hati Johan. Pasalnya, selama ini, Johan bisa melihat dengan jelas bagaimana tatapan dari Ayah Satria pada Abim sama persis dengan cara beliau melihat Satria - sama-sama mata yang melihat dengan penuh kasih.

"Udah mau gabung ke Chareteen lagi belom? Tuh anak kan masih terjebak di group kita yang satu lagi, berbedu." Tanya Jovian langsung, Johan menghela nafasnya, "Ya ga bisa langsung 'kan, Jov? Anaknya aja berdamai sama kenyataan baru sekarang. Lo tahu sendiri gengsinya Abim setinggi apa. Sama Devan aja belum ngomong, apalagi sama kita?"

Benar. Selain Dion, satu-satunya yang bisa menjadi tolak ukur kedekatan Abim adalah Devan. Devan tidak berbeda dengan teman-temannya yang lain yang juga dijauhi oleh Abim. Namun Devan adalah satu-satunya orang yang sering Abim bicarakan masalah masa depan. Abim membicarakan masalahnya pada kedua belas temannya, tapi jika itu visi misi, mimpi, dan cita-citanya, maka seluruh anggota Chareteen bisa dengan mudah berkata bahwa Devan mengetahui segalanya.

"Kalau dipikir-pikir iya juga, kok si Abim jauhin Devan ya? Kayak, dulu mau dia berantem sama siapapun, Devan tuh satu-satunya yang ga akan kena imbas ga sih?" Johan bertanya heran.

"Devan itu ga bisa tahan sama perubahan. Lo pada lupa pas kejadian Nuno mau kuliah ke UI? Dia ngambek 'kan pas itu. Tapi entah kenapa pas bokap lo nikah sama nyokapnya Abim, si Devan nih kayak ngebug dulu dan ga lama sehabis hubungan itu baru dah Abim ribut sama lo nyeret se-Chareteen." Jovian mencoba mengingat kejadian yang terjadi semasa mereka baru melepas baju putih abu mereka. Dahi Johan berkerut mencoba mengingat hal yang sama, "Engga deh, Jov. Sehabis Abim ribut sama Chiko juga dia masih sama Devan."

"Ini lo berdua ngomongnya ngapa kayak Abim itu pacarnya Devan dah?" Satria menengahi kedua orang itu. Jovian menatap aneh, "Dih? Lo lupa dulu mereka emang digosipin pacaran walau adek lo buaya?", "Ya emang, tapi 'kan itu gara-gara si Abim PHP mulu kerjaannya."

"Udah-udah, jadi ributin gosip SMA. Gue sampe lupa gue kesini bawa kabar," Johan merogoh tasnya, lalu mengeluarkan sebuah amplop, "Nih. Sama satu lagi, itu si Nuno kan sidang udah kelar, dia udah daftar kelulusan. Lo pada mau nyusul apa engga?" Kedua pria itu hanya mengangguk, lalu tangan Satria mengambil lembaran itu dengan cepat.

Mata keduanya terbelalak setelah membuka amplop itu. Amplop yang diberikan oleh Johan ternyata adalah undangan acara pertunangan, dan lagi, namanya adalah nama milik Johan dan Sonia.

"Lo? Sama Sonia? Sonia Juniar Pratama?" Johan hanya mengangguk, tangannya mengusap tengkuknya, kikuk, "Yah ... iya."

"Loh? Mantan gue? Yang kakaknya Adel gebetan Nuno dulu, 'kan?" Jovian bersuara yang diresponi dengan anggukan oleh Johan. "Maaf ya, Jov." Johan sontak bersuara. Jovian terdiam lama setelah Johan membenarkan pertanyaannya, namun Jovian hanya tertawa dan mengibaskan tangannya, "Apaan sih, lo? Gue sama Sonia udah kisah kapan tahu. Gue sama doi juga udah fine jadi temen kok, kenapa lo minta maaf?", "Yah.... Karena dia mantan lo?" Johan bertanya ragu. Jovian hanya menggeleng, "Udah. Kita udah temenan lama, ga pernah kita pasang aturan klise dilarang macarin mantan temen, 'kan? Sans."

Johan tersenyum lega, Jovian benar-benar santai dengan fakta bahwa yang akan segera meminang gadis yang pernah dipujanya adalah sahabatnya sendiri. "Nanti gue kabarin anak-anak ya biar dateng ke acaranya. Masih bulan depan, 'kan?" Johan hanya mengangguk pada pertanyaan Jovian. "Congrats, Jo. Beneran aja bau-bau nikah duluan nih anak." Satria merangkul Johan dengan kuat sambil tertawa. Siapa sangka mereka sudah mencapai usia untuk pembicaraan pasangan hidup?

Jovian masih di sana, menatapi undangan yang diberikan oleh Johan lalu meletakannya kembali di meja, "Gue ke belakang dulu ya. Mau ngawasin ada problem atau engga." Jovian pamit tanpa menoleh. Beberapa langkah, dan Jovian sudah oleng menabrak meja lain.

Johan jadi bingung dibuatnya. Jovian sungguh tidak apa-apa, 'kan?

CHARETEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang