Chapter 22

571 118 2
                                    

tw // harsh words

"Bang Abim, anjing!" Dino memaki setelah tangannya membuka pintu kamar Abim. Yang lebih muda membuka gorden jendela kamar Abim, membiarkan ruangan yang sebelumnya gelap gelita menjadi terang benderang. Abim merengut, tangannya bergerak menutupi matanya karena jumlah cahaya besar yang masuk secara mendadak.

Dino menarik selimut tebal dari atas tubuh besar Abim. Wajah Dino yang manis sudah tidak menyembunyikan rasa kesal pada pada ekspresinya. Ia jengkel dibuat panik semalaman. Rasanya mengurusi adik lelakinya versi lebih brutal.

"Bang, bangun!" Suara yang lebih muda masih tinggi. Ia tidak bisa menyembunyikan kekesalannya semenjak kejadian tadi malam. Tangannya beristirahak dipinggangnya, ekspresinya jelas tidak menunjukkan keramahan. Kening Abim berkerut, berusaha menyesuaikan matanya dengan jumlah cahaya yang masuk.

             "Duuuh! Apaan sih, No!? Abang masih ngantuk! Pala gue sakit!" Abim menggerutu sebal, menarik lagi selimutnya untuk menutupi matanya. Dino hanya melemparkan tubuhnya pada bangku di kamar yang lebih tua.

Dino memperhatikan yang lebih tua tertidur, lalu menghela napasnya, "Yang nganter abang ke sini siapa?" Dino bertanya setelah meredam emosinya untuk beberapa saat. "Ada, orang." Abim menjawab singkat, tidak mengakui apa yang baru saja terjadi semalam dan siapa saja yang ditemui olehnya. Dino bisa tahu bahwa yang lebih tua berbohong.

"Abang tuh kalau udah nyusahin Dino semaleman, seenggaknya bisa jujur 'kan?" Dino memancing yang lebih tua untuk bicara. Abim menepis selimutnya sebal sambil berdecak, "Bang Satria. Puas lo?" Jawab Abim mengacak rambutnya. Dino terdiam di posisinya.

Keduanya hanya berdiam dalam keheningan yang tercipta entah oleh siapa. Abim hanya memandangi langit-langit dan Dino hanya memperhatikan gerak-gerik yang lebih tua.

"Dino." Abim memanggil pelan. "Apa?" Abim menghela napasnya berat mendengar respon yang lebih muda, "Lo ngerasa gue kekanakan ga?" Tanya Abim pada yang lebih muda. Matanya mengarah menatap Dino, namun lawan bicaranya memilih menbuang pandangannya ke arah lain.

"Kalau boleh jujur sih, Bang. Banget." Dino menjawab singkat. Dino hanya menatap lembar foto kelulusannya bersama Abim saat SMA. Abim yang menyayanginya padahal sibuk di tahun pertama kuliah. "Dino ngerti Abang marah sama keadaan, Abang waktu itu masih engga ngerti dan mikir semua orang pembohong dan ngga ngebela Abang, 'kan?" Dino bertanya dengan matanya yang masih melekat menatap foto yang ada di bawah foto kelulusannya bersama Abim.

Foto tiga belas anak yang sedang berpose seperti orang bodoh dengan seragam putih abu mereka.

Dino mencuri pandangan pada Abim yang menunduk, rambut berantakan dan ekspresi yang tidak tahu menunjukkan perasaan seperti apa. "Tapi Abang ngga adil, Abang nyalahin keadaan tapi ngelampiasinnya ke Bang Satria. Dan di saat yang sama, Abang juga ngelampiasin ke yang lain. Yang hari itu mungkin aja engga tahu apa-apa sama keadaan kalian." Lanjut yang lebih muda.

Abim paham betul maksud Dino. Si bocah ingusan yang sekarang sudah tumbuh dewasa dalam aspek pikirannya juga. Abim sadar bahwa dia bersikap tidak adil selama ini. Konfliknya bukanlah dengan Satria, tapi dengan dirinya sendiri yang tidak bisa menerima kenyataan dan tidak mau menurunkan egonya untuk meminta maaf atau memulai kembali.

Di saat dia berpikir semua orang bersikap tidak adil padanya, Abim tidak sadar bahwa dia juga tidak bersikap adil pada teman-temannya terutama Satria yang notabene nya sudah lebih dari teman.

"Abang ga ngerasa bersalah? Atau engga kangen gitu?" suara Dino mengalihkan pikiran Abim. Mata anak itu menatap langsung pada mata Abim, mencari sesuatu yang mungkin tak terucapkan oleh yang lebih tua.

"Ga tahu lah dek. Pusing bekas minum aja masih berasa, Abang ga mau mikir banyak-banyak." Abim menjawab asal lalu meraih ponselnya untuk meminta salah satu teman sekelasnya menitip absen untuknya. Toh Abim juga jarang membolos. Membolos sesekali, rasanya tidak masalah?

             Dino lagi-lagi hanya bisa menghela napasnya dan bangkit dari bangku milik Abim. Ia mengambil handuk dan melemparkannya keatas tubuh Abim, "Kalau bolos, terserah deh. Terserah Abang mau gimana juga. Pusing." Ketusnya sebal membuka pintu kamar Abim, "Nanti Dino kirimin sup asparagus, katanya bagus buat hangover. Abang nanti turun ambil, jangan biadab dikirimin dicuekin juga." Lanjut yang lebih muda sebelum meninggalkan ruangan Abim. Abim mendengar suara Dino yang pamit pergi pada bibi pengurus rumahnya. Ia mendengus, namun terkekeh pelan setelahnya, "Tuh anak sejak kapan jadi begitu? Sok tsundere." Abim bergumam pada dirinya sendiri.

             Hampir setengah dekade semuanya berubah dan bergerak. Tapi, hanya wakru miliknya saja yang membeku dan berjalan di tempat.

             Mungkin memang hidupnya butuh perubahan agar waktunya bisa bergerak kembali.

CHARETEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang