Bersama Giovin Abimanyu, masa kini.
Abim merasa otaknya akan meledak karena cerita Ayah tirinya. Pasalnya, ini adalah hal lain dari yang Abim ketahui sejak awal.
"Jadi, bener kata Bang Satria kalau Abim atau Bang Satria salah satunya aja engga setuju sama pernikahan kalian, kalian engga akan ngelanjutin pernikahan?" Abim masih bertanya dengan ekspresi wajah yang tidak bisa dikenadalikan olehnya. Ayah tirinya hanya tersenyum, mengangguk dan mengusap kepala anak mud itu, "Dibandingkan dengan kebahagiaan kami, kalian berdua itu lebih penting. Sebelum Papa ketemu Mama— sebelum Om ketemu Gea, pusat dunia Gea itu Abim. Dan pusat dunia Om itu ya Satria," Abim hanya menatap pria tua yang selama ini tidak pernah dipanggil sebagai Papa olehnya itu menatapnya hangat.
Mungkin lebih hangat jika dibandingkan dengan bagaimana Ayah kandung Abim menatapnya. Bahkan Abim tidak ingat kapan Ayah kandungnya memandangnya dengan penuh kasih.
"Terus, kalau gitu pusat dunianya Om masih Bang Satria doang?" Sisi kekanakan Abim keluar, ia hanya berusaha mencari kesalahan. Mungkin, ini yang disebut orang-orang sebagai fase denial? Entahlah, Abim juga tidak paham.
Yang lebih tua menggeleng, "Semenjak menikahi Gea, semenjak kamu jadi anak Papa, kalian bertiga jadi pusat dunia Papa," jawabnya, "Papa tahu apa yang Papa kandung kamu bilang ke kamu Abim, Papa ngerti kamu marah sama Mama dan Papa karena kamu masih sayang sama beliau. Tapi seandainya Abim kasih kesempatan buat Mama dan Papa lurusin faktanya, mungkin Abim bisa nerima Papa sebagai Papa nya Abim." Sambungnya. Abim sungguh dibuat takluk oleh kata-katanya. Semenjak hari di mana sang Ayah kandung menemuinya untuk terakhir kali, Abim menutup mata pada realita dan menutup telinganya pada penjelasan.
Abim hanya berpura-pura menjadi biasa saja ketika keduanya berpisah dahulu, tapi bohong jika dirinya masih tidak mengharapkan cinta dari seseorang yang memiliki darah yang sama dengannya. Abim pada dasarnya hanya anak biasa yang mengharapkan sang Ayah mencintainya. Abim tidak masalah jika harus menyalahkan Ayah Satria—yang kini juga adalah Ayahnya—jika itu untuk mempercayai bahwa sang Ayah dahulu sungguh menyayanginya.
"Papa ngerti. Papa ngerti kenapa kamu nutup telinga kamu sama semua penjelasan kami. Kamu masih sayang sama Papa kandung kamu, dan Papa ga masalah kalau kamu masih sayang. Bagaiman pun itu Ayah kamu, hal wajar kalau kamu masih mau kasih sayangnya, Papa ga masalah," Abim menoleh, memperhatikan Ayah tirinya yang kini menatapnya dengan senyum yang terlihat sendu di matanya, "Cuman mungkin Papa sedikit iri, seandainya kalau boleh Papa minta, Papa pengen banget Abim bagi sayangnya Abim ke Papa walau sedikit."
Oh.
Ternyata Abim kelewatan.
Ada sedikit rasa nyeri yang muncul di hati nurani Abim. Papa dan Mamanya sudah menyerah untuk menjelaskan semua kronologi yang dipalsukan oleh Ayah kandung Abim. Selama satu tahun lebih mereka berusaha meraih anak itu, tapi tidak berhasil. Tante Gea sangat merasa bersalah pada suaminya dan Satria, tapi sang suami hanya memaklumi dan memilih untuk mengalah. Satria juga tidak bisa berbuat apa-apa, persahabatannya dengan Abim retak di sekolah tepat sebelum ia lulus, dan di rumah pun, ia gagal menjadi kakak yang menyentuh hati Abim.
Abim sudah melewatkan terlalu banyak hal. Papa baru yang menghujaninya dengan kasih sayang, sahabat yang kini menjadi Kakaknya yang sebenarnya, Ibu yang ia lukai selama tahunan. Pada satu masa itu, Abim merasa menjadi orang paling egois dan bodoh di saat yang sama. Ia merasa egois karena ia tidak mau memahami sisi siapa pun, ia tidak mempedulikan luka siapa pun kecuali lukanya sendiri. Ia terlalu bodoh sehingga ia menelan mentah-mentah tuduhan sang Ayah kandung yang berkata keduanya dahulu bercerai karena sang Ibu ingin menikahi Ayah sabatanya sendiri, ia terlalu bodoh. Terlalu bodoh untuk menyadari selama ini Ayah kandungnya hanya orang brengsek dengan mental korban yang menyalahkan istrinya sendiri karena mengajak berpisah. Ia terlalu bodoh untuk sadar bahwa perpisahan keduanya terjadi karena sang Ayah kandung gagal mengisi peran sebagai suami dan Ayah.
"Kalau Abim juga masih ga percaya Papa, Papa engga masalah. Abim bilang aja nanti ke Papa; Abim maunya gimana. Tapi tolong jangan marah sama Satria ya, nak? Satria masih sayang sama Abim sebagai sahabat dan adik. Satria mungkin engga ngerti luka lamanya Abim, tapi kalau Abim mau, Satria selalu bilang kalau tangannya terbuka buat Abim." Pria itu menepuk bahu putra sambungnya dengan lembut, "Papa turun dulu ya, Abim jangan lupa turun makan. Mama katanya mau masak makanan kesukaan Abim. Masakan Mama kan enak, kalau Papa habisin, Abim ga boleh marah." Tawa pria tua itu menggelegar, sebuah usaha kecil yang diberikannya agar anak bungsunya tidak berada di posisi canggung sebelum ia meninggalkan ruangan.
Tangannya sudah memegang gagang pintu untuk menutup pintu anak muda itu, namun suara anak muda itu berhasil membuat dirinya terhenti sebentar.
"Iya nak?" Pria itu bertanya lagi, berusaha memastikan apakah pendengarannya yang termakan usia itu yang salah atau memang ia mendengar sesuatu dari putra bungsunya. Abim mendengus lalu membuang mukanya, "Aku bilang, makasih Pa. Nanti aku turun makan." Abim mengulang ucapannya. Namun ia hanya bisa merasakan bahwa sang Ayah tiri menatapnya dengan mata berkaca dan terdiam. Abim sendiri salah tingkah, bingung harus berbicara apa dan berbuat apa.
"Udah ah, Abim tidur dulu, sepuluh menit lagi Abim turun." Abim menyembunyikan tubuhnya dibalik selimut, membiarkan pikiran bahwa orang tua mudah emosional menutupi rasa bersalahnya. Abim bisa mendengar suara tawa pelan dari luar selimutnya.
"Ya udah, Papa dan Mama tunggu di bawah ya, nak." Suara terakhir yang didengar Abim sebelum mendengar suara pintu kamarnya menutup. Abim mengintip dari balik selimut, melihat bahwa sang Ayah kini sungguh sudah meninggalkan kamarnya. Abim mengacak rambutnya dan memukul kepalanya beberapa kali. Mungkin jika tidak mengingat bahwa sang Ayah baru saja meninggalkan kamarnya, ia sudah merutuki dirinya sendiri dengan keras. Nafas Abim terhela berat, semuanya berbalik menikam dirinya. Dan semua terjadi karena Abim yang tidak dewasa. Ia bisa mendengar suara Ibunya mengucapkan syukur di lantai bawah sambil berbicara pada Ayahnya. Mungkin benar, mereka sedang membicarakan Abim karena lima menit kemudian sebuah pesan dari Satria masuk ke ponselnya.
Mungkin, memang sudah saatnya waktu Abim yang membeku di masa lalu mulai bergerak maju kembali.

KAMU SEDANG MEMBACA
CHARETEEN
FanfictionChareteen adalah sekelompok pemuda paling bahagia di Bandung. Tapi, itu adalah kisah lima tahun yang lalu. Lalu, bagaimana jika sekarang? CHARETEEN : (n) ketika SEVENTEEN melokal dan menjadi tiga belas pemuda yang pernah merajai SMAN 2 Bandung.