Chapter 20

633 114 3
                                        

             Malam semakin larut. Pekerjaan Chiko masih cukup ramai. Entahlah, kenapa juga hari ini begitu banyak pengunjung? Entah karena Sabtu adalah hari pelarian dari pekerjaan dan keseharian atau memang ... ingin minum saja.

             Pemilik tempatnya bekerja memberi Chiko waktu untuk jeda sesaat. Lima belas menit setidaknya untuk meneguk air dan beberapa cemilan manis di pantry.

             Dirinya hanya meminum air sesaat dan melihat jam. Pukul tiga lewat dua puluh tujuh menit dini hari. Shift nya akan selesai dalam satu jam lebih. Pesanan minum sudah tidak terlalu banyak. Lebih banyak orang yang sudah terhuyung di mejanya dan berbicara sembarangan atau menangis dengan teman mereka. Pemandangan biasa.

             Ponselnya bergetar, menunjukkan foto profil dan nama yang paling muda di layarnya. Chiko menggeser layarnya, "Kena-" "Bang! Bang Abim di barnya Bang Chiko ngga?" Suara lelaki itu terdengar terengah-engah diujung telepon.

             Abim. Nama yang sudah jarang didengarnya.

             "Ngga, Di. Daritadi gue ga ngelihat Abim. Atau nanti mau gue periksain dulu?" Chiko menawarkan. "Tolong ya, Bang. Kalau udah kabarin Dino! Udah-" ucapan Dino dipotong oleh Chiko kali ini. "Abim kenapa?" Chiko bertanya penasaran. Dino bukan yang akan menghabiskan jam tidurnya keluyuran tengah malam. Apalagi dengan nafas terengah dan mencari Abim dengan nada penuh khawatir.

             "Duh, ngga tahu. Pokoknya dari sore Bang Abim ga kelihatan baik. Terus tadi jam satu-an, Bunda nya Bang Abim nelpon nanyain Bang Abim ada sama Dino atau engga. Berantem lagi, Bang Chiko. Abang-abang yang lain juga lagi nyari. Nanya ke kating juga nihil, lagi ga ada yang sama Bang Abim." Dino bercerita panjang lebar. Chiko memijat keningnya. Abim dan keluarganya lagi.

             "Udah nelpon siapa aja?" Chiko bertanya tenang. "Bang Johan, Bang Josh, Bang Jun, Bang Dares, sama Bang Devan." Dino menjawab. "Nanti gue coba keliling bar dulu. Lo bahas di group dulu sana. Satria juga kudu lo kasih tahu." Chiko memutuskan panggilan telpon dan memijat keningnya—lagi.

             Entah ini konflik lama Abim dan Satria lagi, atau permasalahan lain? Chiko juga tidak tahu. Abim menutup diri setelah berpikir bahwa CHARETEEN hanya berpihak pada Satria. Teriakan Abim beberapa tahun silam kembali menggerogoti pikirannya. Setelah hari itu, Abim hanya bicara pada yang paling muda, Dino dan juga Devan.

             Sepertinya Chiko harus mengambil izin pulang lebih awal hari ini. Tapi jika pengunjung masih belum sepi, akan sulit untuk menerima izinnya. Chiko mengganti ponselnya dari mode getar ke mode sunyi. Ia bisa melihat ponselnya kebanjiran pesan dari group CHARETEEN.

             Chiko sedang menghela napasnya saat sebuah tepukan mendarat di tengkuk lehernya. Rekan kerjanya yang sering mengisi live music, Chandra.

             "Stress, bro?" Chandra bertanya tanpa menatap Chiko. Chiko hanya mengangguk. "Betewe, minjem handphone lu coba." Tangan Chandra sudah terulur meminta ponsel milik Chiko. Chiko hanya menatapnya dengan ekspresi heran dan jengkel. Namun tetap saja memberikan ponselnya pada rekannya itu.

             Chandra melepas tangannya dari Chiko, matanya fokus pada layar kunci milik Chiko. Kalau boleh jujur, Chiko juga heran apa yang ada di pikiran Chandra dan apa yang mau diperbuat olehnya.

             "Nah bener yang ini nih." Chandra menunjuk layar ponsel Chiko. Chiko hanya menatap layarnya, "Apaan?" Chandra berdecak, "Noh, temen lu. Ada aja kelakuan. Udah mabok noh di depan." Chandra menjawab. Kening Chiko berkerut, ia mengehela napasnya namun ia menatap sosok yang ditunjuk oleh Chandra.

Abim?

             "Di meja mana?" Chiko bertanya tenang. Chandra menunjuk dengan dagunya, "Tuh, meja yang deket panggung live music." Chiko berdecak, "Ga ada hostess yang deketin 'kan?" Chandra menggeleng, "Kaga. Hampir dibungkus sama Om-om aja diributin. Mba-mba yang deketin juga diamu— NGAPAIN NYERET GUE!?" Suara Chandra meninggi karena Chiko yang menarik lengannya semaunya, "Tuh anak segede bagong, berat. Gue mampus nahan orang mabok macem dia sendirian." Chiko menjawab tenang.

             Chandra terdiam melihat respon yang diberikan teman seumurannya itu. Chiko memang cuek, tapi jawaban darinya tidak pernah dingin. Chiko hanya memberikan informasi pada teman bartendernya yang lain akan mengambil waktu istirahat lebih.

             "Yang mana?" Chiko melihat sekeliling. Chandra gantian menarik tangan Chiko, menariknya pada sebuah pemandangan yang cukup menyedihkan.

             Menyedihkan. Ternyata Abim. Sobat semasa dirinya masih remaja dahulu. Beberapa botol minuman yang sudah diteguk habis olehnya. Wajah yang merah dan bau alkohol yang familiar. Bagi Chiko pemandangan Abim yang dilihat olehnya saat ini sangat menyedihkan.

             Chiko dan Chandra meraih lengan Abim, meletakan lengan yang lebih besar. Abim melempar pandangannya yang sayu pada Chiko. Abim hanya mendengus, "Oh? Antek-antek nya Bang Satria lagi?"

CHARETEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang