Chapter 5

1.2K 217 4
                                    

Bandung, 2020.

"Lo kenapa sih?" Nuno masih saja membolak-balik kertasnya. Bukannya Jovian tidak tahu, tapi kertas-kertas itu hanya pengalih fokus Nuno dari rasa gugup bertemu dengan kawan lamanya. Nuno mengacak rambutnya asal, "Ngga tahu, Bang. Gue harus ngomong apa sama Devan nanti?" Nuno bertanya diikuti dengan helaan nafas berat darinya. Jovian mengangkat sebelah alisnya heran, "Kenapa juga lo mikirin itu? Ya ngobrol aja kayak biasanya. Kan lo juga yang pingin kita bertiga belas ngumpul lagi, masa ketemu Devan aja kayak ketemu HRD?"

Nuno mendengus kesal, "Ya bukan HRD juga lah, Bang. Ya emang sih gue yang pingin tapi ... gue ga ngira bakalan secanggung ini rasanya." Jawab Nuno. Jovian menggeleng heran dengan jawaban yang lebih muda, "Ini lima tahun, No. Lu aja balik karena lagi tugas akhir, canggung atau engga ya nikmatin aja dulu." Jovian menenangkan.

Lonceng di atas pintu tempat milik Jovian berbunyi, menandakan masuknya seseorang. "Dev-" Nuno yang sebelumnya ingin memanggil Devan terpotong karena sosok yang ada di hadapannya itu. Pasalnya, yang masuk bukanlah Devan, namun Satya.

"Loh? Satya?" Jovian tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dirinya juga berekspektasi Devan lah yang akan ia lihat. Namun hanya Satya dengan senyumnya. "Hayo, kaget ya?" Goda Satya pada yang lebih tua. Satya hanya tertawa lalu membuka pintu, mengucapkan beberapa kata bujukan dan keluhan. Kedua orang yang berada di hadapannya pun dibuat bingung.

"Satya? Kenapa, Ya?" Nuno bangkit dari bangkunya, berjalan menuju pintu. Satya menoleh dengan wajah kesal memelas, "Nih, Bang! Bang Devan ga mau masuk!" Keluh Satya pada Nuno. Nuno hanya membuka pintu yang ditahan oleh tubuh Satya lebih lebar, menunjukkan sosok Devan yang sedang ditarik-tarik oleh Satya.

Mata Nuno dan Devan bertemu, membawa kecanggungan untuk merajai suasana diantara keduanya. Devan menarik paksa legannya dari yang lebih kecil dan berusaha untuk bersikap tenang.

"Hai, Dev. Hai, Satya." Nuno menyapa canggung. Satya tentu saja menyambut senang. Secanggung apapun, selama apapun, Satya tetap Satya yang ceria. Tapi berbeda dengan Devan.

"Dev," panggil Jovian. Devan hanya tersenyum kikuk, "Lama ga ketemu, No." Devan menyapa balik. Keheningan masih berdiam sampai keluhan Satya mengudara.

"Elah, Bang. Mau diem-dieman sampe kapan? Udah gue yang nyetir, masa kaga dikasih duduk juga?" Keluhnya membuat sebuah pukulan pelan mendarat di bahunya. Jovian hanya geleng-geleng dan tertawa melihat kelakuan dua anak yang lebih muda darinya itu. "Lo juga kalau duduk ga pernah izin, duduk tinggal duduk." Jovian menyahut seadanya sembari menunjuk bangku di hadapannya dengan matanya. Satya mendahului Devan untuk mengambil tempat duduk di hadapan Jovian. Masih Satya yang sama yang seenaknya meneguk minuman milik Nuno. Nuno yang seharusnya kesal justru bersyukur karena Satya masih sama tanpa rasa canggung.

"Gabung sini, Dev." Jovian membuka suara memanggil yang lebih muda untuk bergabung. Devan hanya mengangguk dan berjalan dengan kedua tangannya yang bersembunyi dalam saku jaketnya, lalu duduk di hadapan Nuno. "Lo berdua gimana kuliahnya?" Jovian mencoba untuk memulai topik pembicaraan. Satya menggelengkan kepalanya bersamaan dengan suara helaan napas yang terdengar darinya, "Gila, Bang. Tugasnya minta disembah, sujud gue, Bang saking pening ngurusnya." Satya mengeluh dengan dramatis. Devan yang duduk di sebelahnya hanya melempar pandangan aneh, "Lebay lo. Tugas aja begitu amat." Timpal Devan dengan nada tidak menyenangkan. "Tahu lo, Ya. Yang disembah tugas, otak lu makin ngaco abis kuliah." Nuno turut menimpali, mencoba mengikuti arus pembicaraan."

Satya mendesis kesal, "Ya iyalah ngaco. Jangan kan kuliah atau otak, gue nafas juga ngaco bagi lo, Bang." Ketusnya memancing gelak tiga orang lainnya. "Ya iya, gue aja santuy walau nugas banyak. Ga sampe sujud karena tugas, univ kita sama loh." Ucap Devan. "Iniv kiti simi lih." Ulang Satya mengikutiㅡlebih tepatnya mencibirㅡperkataan Devan tadi.

Jovian hanya menggeleng dengan tawa pasrah, "Nikmatin aja, udah angkatan tua. Noh lu lihat dua abang-abang lu lagi masa skripsi. Lo lihat aja lembarannya si Nuno." Celetuk Jovian menunjuk kertas-kertas penuh istilah psikologi milik Nuno. "Gimana kuliah, No?" Devan membuka suara setelah menatap kertas-kertas itu lama. Nuno mengangkat alisnya spontan, "Eh? Yah ... gitu Dev. Buku lagi buku lagi, sama beberapa aktivitas kampus. Syukur udah di acc judul skripsi." Terang Nuno. "Lo sendiri? Gimana Dev?" Nuno bertanya balik. "Begitu aja sih, ya gue memang masih banyakan praktek daripada ngurusin skripsi. Cicil-cicil biar nanti jadi bukit aja."

"Lo sibuk, tapi ngumpulin anak Cahreteen sendiri, Bang?" Celetuk Satya dengan penasaran yang jelas. Nuno hanya menggeleng, "Gila lo ngumpulin dua belas orang lain sendirian. Kan sama Bang Jovi, Bang Satria, sama Chiko. Sekarang nambah elo sama Devan." Balasnya santai. Ekspresi Satya memasam, "Pede banget kalau gue mau bantu," sahut Satya, "Bayarannya apa?" Tanya Satya pada Nuno. Nuno memutar bola matanya malas, "All you can eat kapan-kapan. Mau kagak?" Tawar Nuno yang disetujui cepat oleh Satya, membua tiga orang selain dirinya menggeleng. Ternyata, lima tahun tidak seburuk itu, pikir Devan bersama dengan obrolan yang masih mengudara hingga waktu lelap.

CHARETEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang